3 : 3 × 3 - 0

245K 36.5K 5K
                                    

.

"Sialan!"

Sepuluh.

"Dasar goblok, nggak tahu diri!"

Sebelas. Dua belas.

"Klien nggak ada otak!"

Tiga belas.

"Brengsek!"

Oke, cukup. Gadis itu menghentikan hitungannya dan membanting cover buku latihan soal sampai menutup, tidak bisa sedikit pun berkonsentrasi. Rumah ini sudah cukup toxic tanpa perlu dibumbui tiga belas sumpah serapah setiap harinya. Dia benar-benar muak kali ini.

Untuk kesekian kalinya hari itu, Ale berharap tidak dilahirkan dari rahim seorang ibu.

"MAMA DIEM DULU, BISA NGGAK?"

Teriakannya meluncur keluar dari pintu kamar yang selalu terkunci, menuruni tangga, dan menyusuri lorong lantai satu sampai ke ruang kerja Mama. Tidak ada respons.

Jelas Mama merasa teriakan Ale begitu tidak sopan. Jelas wanita itu lupa kalau kata-kata kotornya juga tidak ada sopan-sopannya sama sekali.

Betapa ironis.

Sudah sejak lama Ale mengira mamanya sakit jiwa, atau kalau tidak, berarti dia yang sakit jiwa. Tidak ada sepatah kata pun yang sama-sama mereka setujui. Apapun yang diperbincangkan, selalu ada yang salah. Seolah mereka memang tidak ditakdirkan untuk berkomunikasi.

Orang-orang mungkin berpikiran bahwa Ale anak durhaka, dan dia tidak akan membantahnya karena memang benar dia durhaka. Tapi ada peribahasa yang bilang kalau air cucuran atap jatuhnya ke pelimbahan juga. Ale pasti akan jadi anak yang baik kalau mamanya juga seorang ibu yang baik.

Sayangnya, dua-duanya bukan anggota keluarga yang baik- itu pun kalau masih bisa disebut keluarga.

"Jangan kurang ajar kamu teriak-teriak!"

Hanya dengusan yang bisa Ale keluarkan mendengar gertakan yang satu itu. Padahal jarak ruang kerja dan kamarnya lumayan jauh, tapi suara Mama terdengar begitu jelas dan keras. Seolah ingin memastikan Ale mendengar setiap suku kata dari makiannya.

"Anak nggak tahu diuntung! Mama kerja ini kamu pikir buat siapa?!"

Ale mendecih, melempar setumpuk kertas ulangan ke lantai dalam usahanya mencari headphone yang terselip di laci kedua nakas.

"Turun kamu, Al!"

Brengsek. Dimana sih headphone gue?

"ALETHEIA!"

Ale menemukannya. Secepat kilat ditancapkannya kabel ke ponsel, diputarnya lagu apa saja yang ada di playlist-nya. Dentum musik dalam volume maksimal akhirnya menerobos timpani Ale, mengirim dopamin ke sel-sel sarafnya.

Sucker For Pain mengalun dilatarbelakangi caci-maki seorang wanita paruh baya yang mengaku sebagai ibu.

Ale memejamkan mata. Berusaha bernapas lewat mulut.

Tarik, embuskan. Tarik, embuskan. Tenang. Tenang..

Gadis itu mengepalkan kedua tangannya dengan erat. Mendadak goresan-goresan di pergelangan tangan kirinya terasa gatal. Beruntung Ale sudah menyingkirkan semua benda tajam dari kamarnya.

Dia harus menahan diri. Dia sudah bersumpah akan bertahan sampai Ujian Nasional. Hanya dengan masuk tiga besar Ujian Nasional, Ale bisa mengikuti program beasiswa tahunan yang diadakan SMA Bina Indonesia. Beasiswa yang mencakup seluruh biaya perkuliahan di salah satu universitas luar negeri yang sudah lama diimpikannya.

A+Donde viven las historias. Descúbrelo ahora