17 ^ 9 : 17 ^ 8

168K 29.4K 12K
                                    

.

"Jujur saja, Ibu kecewa."

Seolah hantaman Ale belum cukup menyakitkan, Kenan masih harus mendengarkan wejangan Bu Nadia, selaku Kepala Sekolah Bina Indonesia. Wanita paruh baya itu menghela napas panjang dan menatap Kenan sedikit heran. Seolah tidak percaya murid kebanggaannya itu kini terpuruk di peringkat paralel 59.

"Ada apa, Kenan?" tanya Bu Nadia sambil lalu, punggungnya disandarkan ke kursi putar, lengannya yang berseragam cokelat dan dilingkari arloji keemasan ditautkan di atas meja. "Ada masalah?"

Kenan mengangkat wajah dari tundukannya. Menatap sosok Bu Nadia dengan penuh rasa bersalah. Dia tidak lupa bagaimana kepala sekolahnya itu selalu memberikan dukungan penuh. Selalu mengizinkannya ikut kompetisi, membebaskannya ambil dispensasi, bahkan proses tanda tangan proposal kegiatan OSIS juga tidak pernah terhambat jika Kenan yang meminta.

Kalau bisa memilih, tentu Kenan tidak ingin mengecewakan Bu Nadia.

"Maaf, Bu."

Laki-laki memberikan tundukan dalam, menunjukkan rasa bersalahnya. Bu Nadia menghela napas lagi.

"Kalau kamu cerita, saya mungkin bisa membantu." Wanita itu berkata lembut. "UN tinggal beberapa bulan lagi, Kenan. Kamu termasuk salah satu harapan besar saya."

Kenan menggeleng pelan. "Nggak ada masalah, Bu. Saya cuma kurang konsentrasi kemarin."

Bu Nadia terdiam sebentar, sebelum akhirnya mengangguk. "Ya sudah. Saya harap ada pelajaran yang bisa kamu ambil dari kegagalan kali ini. Bulan depan, saya mau nama kamu kembali ke peringkat atas. Bisa kan, Kenan?"

Kenan balas mengangguk. "Bisa, Bu."

Bu Nadia tersenyum simpul. "Kalau begitu kamu boleh pulang ke rumah."

Kenan mengangguk sekali lagi, bergegas menyalami Bu Nadia, kemudian keluar ruangan dan menutup pintu. Laki-laki itu memejamkan mata begitu sampai di koridor yang kosong melompong. Murid-murid tentu sudah pulang ke rumah masing-masing.

Kenan menumpu tubuhnya pada pilar terdekat. Menarik dan mengembuskan napas.

Jemarinya meraih ponsel yang ada di dalam saku. Menekan sederet nomor yang dihafalnya di luar kepala. Kemudian laki-laki itu menempelkan ponselnya ke telinga.

"Halo?"

Setelah deringan ketiga, suara bariton seorang pria menyahut dari seberang telepon. Genggaman Kenan tiba-tiba mengerat. Napasnya sedikit memberat.

"Ayah?"

Orang di ujung telepon terdiam sebentar. "Ya. Ada apa, Ken?"

Kenan meneguk ludahnya. "Yah, maaf.." ucapnya tersekat. "Bulan ini SPP Kenan nggak gratis."

Ayahnya lagi-lagi terdiam. "Berapa?"

"Kenan nggak tau, nanti tagihannya dikirim ke—"

"Berapa peringkat kamu?"

Kenan tertegun. Dia meneguk ludah sekali lagi sebelum menjawab.

"Lima puluh sembilan."

Kemudian sambungan itu diputus.

Sial.

Jemari Kenan mencengkram kuat ponselnya seolah hendak meremukkan benda itu. Gemetar. Meski dia tidak tahu karena apa.

Kemarin waktu dia memutuskan akan menjalankan rencana ini, dia terdengar sangat percaya diri. Dia tidak merasa takut dengan apa pun konsekuensinya. Apa pun yang harus dikorbankan.

A+Where stories live. Discover now