26 ÷ 2 + 13 × 1

155K 28.3K 12.1K
                                    

.

Namanya Karin. Yang paling peka di antara teman-temannya.

Dia punya bakat menebak perasaan orang lain hanya lewat gerak-gerik saja. Makanya, meski tidak pernah dicurhati, Karin selalu jadi yang paling mengerti.

Selain itu, Karin juga ramah dan easy-going. Pokoknya tipe-tipe yang bakal bikin nyaman walaupun barusan kenal. Dia memang tidak terlalu populer di luar, tapi kalau di kelas, biasanya Karin tiba-tiba berubah jadi lawak, bikin suasana ramai.

Nah, kalau sudah bicara soal Karin, tidak bisa tidak menyebutkan Thalia.

Pasalnya, Thalia sudah jadi sahabat Karin sejak pertama kali mereka sebangku dua tahun lalu. Karin sendiri sudah hafal segala aspek dalam kehidupan cewek itu.

Thalia tidak pernah suka belajar. Dia lebih mengutamakan lingkup pergaulan sosial. Baginya, punya teman pintar sama saja dengan ikut kecipratan pintar. Punya teman cantik sama saja dengan ikut cantik. Punya teman populer sama saja dengan ikut populer.

Tapi Thalia sendiri cukup berbakat, makanya dia bisa jadi salah satu bintang cheers, ekskul yang tingkat kesulitannya bisa dibilang tinggi. Circle-nya cewek-cewek cantik, kaya, dan sombong selangit.

Namanya Thalia. Yang paling keren di antara teman-temannya.

Dua tahun ini, mungkin sudah ada enam cowok atau lebih yang menyatakan cinta dan berakhir patah hati. Karin cuma bisa geleng-geleng kepala. Thalia, dengan segala kekerenannya, masih saja setia pada crush pertamanya sejak kelas 10.

Kata orang memang susah sih kalau sudah telanjur suka.

Dari dulu, tim cheerleading itu paling sering bersinggungan dengan tim basket. Di sana lah Thalia pertama kali bertemu Kenan.

Pertemuan yang menjadi awal muncul rasa sukanya— selama bertahun-tahun.

Tapi dari dulu Thalia tidak pernah benar-benar berusaha mendekati Kenan. Dia selalu bilang, baginya, begini saja sudah cukup. Kalau pun sampai akhir Kenan tidak tahu, Thalia baik-baik saja.

Dia sudah telanjur nyaman dengan menyukai Kenan apa adanya, diam-diam, hanya berbagi perasaan pada teman-teman terdekat.

Baginya, cukup dari jauh, juga tidak apa-apa.

Karena itulah, waktu layar komputer sekolah menampilkan foto asing itu— Karin kehilangan kata-kata.

Ada tiga orang yang terpotret jelas di sana.

Kai, sahabat barunya; seorang wanita paruh baya yang sekilas mirip Kai, sehingga Karin bisa dengan mudah menyimpulkan itu mamanya; dan satu laki-laki berseragam Bina Indonesia yang sedang tidak menatap ke kamera.

Tapi siapa juga yang tidak langsung mengenali punggung bidang dan potongan rambut rapi itu?

Seisi lab sudah ramai duluan waktu Karin akhirnya menoleh ke arah Kai di sebelahnya, setengah mati khawatir, ingin melempar tanya soal siapa laki-laki yang ada di foto itu— tapi dia tersadar Kai justru sedang menatap ke belakang punggungnya.

Dan Karin sadar betul siapa yang duduk lima meja di sampingnya.

Lagipula.. sejak awal siluet cowok misterius itu sudah terlihat sangat familiar.

Bisik-bisik merambat seperti api yang menyebar di ruang penuh oksigen, cepat dan nyaring, dari satu meja ke meja lain. Beberapa murid bahkan berdiri dari bangku mereka, berusaha melongok ke barisan komputer Karin.

Dan di sana lah Kenan, terpaku menatap layar monitornya, sebelum ikut menoleh.

Lurus, tepat ke arah Kai.

A+Där berättelser lever. Upptäck nu