28 ÷ tan 45° × cos 0°

173K 26.6K 10.7K
                                    

.

"Ken?"

Kenan membuka mata. Hal pertama yang dia dengar adalah deburan ombak, bergaung, begitu keras dan memekakkan telinga. Kemudian aroma asin laut samar-samar masuk ke dalam hidungnya, dan cahaya yang semula membutakan pandangan perlahan memudar. Kenan mulai bisa menangkap bayangan langit sewarna jingga nyaris keunguan. Matahari, jauh di ujung, hanya tersisa seperempat jengkal.

"Ken..?"

Suara itu terdengar lagi, tapi seperti datang dari tempat yang lain. Kenan meraba butiran pasir di bawah telapak tangan dan kakinya, butiran yang begitu halus, hampir tidak bertekstur. Laki-laki itu menyapukan pandang ke sekeliling.

Yang tampak hanya hamparan pasir tak berujung. Pasir, pasir, pasir. Kemudian air dingin menyengat ujung jemarinya dan laki-laki itu berjengit— menoleh dan mendapati samudera luas, terlalu biru, terlalu tenang.

Seolah mengejek dirinya karena merasa takut.

Laki-laki itu perlahan mencoba berdiri, melawan arah angin, membiarkan kakinya melesak satu-dua senti ke dalam pasir.

Kemudian dia melihatnya.

Siluet gadis itu.

"...Kia?"

Suara Kenan tidak terdengar seolah keluar dari tenggorokannya. Vokal itu bergetar begitu jauh dan samar. Seakan-akan tidak nyata.

Gadis itu menoleh, dan jantung Kenan seketika berhenti berdetak. Kia tersenyum polos, seperti yang selalu Kenan ingat. Setengah kakinya terbenam dalam air yang bergoyang-goyang, tapi dia tidak terlihat kedinginan.

Kia sama sekali tidak terlihat takut.

Kenan mendekat, mengabaikan sengatan-sengatan air di kakinya yang telanjang, mendekat sampai dia merasa Kia ada, persis di hadapannya.

"Gue mimpi ya, Ki?"

Pertanyaan bodoh Kenan lagi-lagi terdengar bergema dari seluruh penjuru.

Kia tertawa. Tawa yang hangat, yang mampu membuat Kenan lupa tubuhnya basah dan nyaris beku.

"Gimana kabar semuanya?"

Kia balas bertanya, dengan vokal yang setengah mati Kenan rindukan.

"Kalian baik-baik aja kan?"

Tenggorokan Kenan tersekat.

Saat ini, kata-kata seolah menolak diproses oleh otaknya. Kenan ingin menggeleng, dia ingin berteriak. Dia ingin memberitahu Kia bahwa semuanya kacau, bahwa seharusnya Kenan saja yang pergi, bahwa seharusnya Kia tidak ke mana-mana—

"Gue bahagia kok, Ken."

Tapi kemudian Kia tersenyum lagi, dan Kenan akhirnya sadar bahwa justru gadis itu yang membuatnya tidak bisa bicara. Bahwa kali ini, Kia hanya ingin Kenan mendengarkannya.

"Udah waktunya lo bahagia juga."

Hening. Ombak bergulung dari kejauhan.

"Udah waktunya lo damai sama orang-orang yang lo sayang."

Senyum Kia tampak rapuh, sekali itu matanya berkaca-kaca.

"..dan jangan lupa damai sama diri lo sendiri."

Kenan menelan ludah.

Kemudian seperti waktu mereka yang hanya sebentar itu sudah habis, tanpa aba-aba ombak menerjang mereka berdua— keras, cepat, dingin —tidak peduli Kenan belum sempat menarik napas, oksigen direnggut paksa dari paru-parunya, sementara air asin berlomba memasuki tenggorokannya—

A+Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang