x < 42.5 < y

111K 25.5K 5.7K
                                    

Hampir enam tahun lalu, jauh sebelum aksi dimulai.

.

bab 42.5

Kenan si Pangeran
(dalam satu adegan)

.

Jalan Samudera di tahun 2015 tidak lah lebih dari perumahan sepi penghuni serta sedikit seram— tapi Kenan dan (apalagi) Ale sudah jadi pemberani sejak dilahirkan.

"KENAANNN! TUNGGUIN!"

"Ck, ah, lama lo! Cepetan dikit jalannya!"

"LO YANG KECEPETAN! Emang ngapain sih buru-buru?"

Dua bocah berseragam putih biru itu saling melempar makian meski akhirnya kembali berjalan bersisian di trotoar perumahan. Pukul setengah tujuh malam berarti jalanan sudah gelap, setidaknya untuk ukuran anak SMP. Tapi hari ini Kenan harus pulang telat karena ada sparing, dan Ale lebih suka berada di mana pun daripada di rumah, jadi lah dia menunggui Kenan bermain basket di pinggir lapangan. Kenan selalu menawari Ale bergabung, tapi Ale bilang dia tidak suka olahraga selain bela diri. Kalau kata Kenan sih, memang pada dasarnya cewek itu suka kekerasan saja (tapi dia tidak bilang, jelas, karena takut dihajar).

Pukul setengah tujuh malam itu mungkin memang sedikit berbeda, karena akhirnya Kenan memperlambat langkah, sebelum meraih selembar kertas ulangan harian dari tas punggung dan menyodorkannya pada yang perempuan. Ale, dengan potongan rambut hitam yang sebetulnya terlalu pendek itu, tersenyum mengejek dan menyenggol bahu sahabatnya.

"Cielah, lo mau buru-buru pamer ke Om Alan sama Tante Laras ya?"

Cengiran polos pun gagal Kenan sembunyikan. "Iya, dong." Dia menyombong. "Dari lahir sampe kelas 1 SMP, baru kali ini nih, ulangan IPA gue dapet 95!"

Terdengar tawa lepas. "Lagian lo kesambet apaan sih pas ngerjain?"

"Enak aja kesambet, gue belajar!"

"Masa?" Ale menautkan alisnya, mengecek lembar kerja Kenan sekali lagi. Siapa tau guru mereka sedang mengantuk waktu memberi nilai. Masalahnya, "Kenan" dan "belajar" adalah dua hal yang jarang sekali bersinggungan.

"Soalnya kemarin gue dipaksa ikut Bunda pas jemput Kia dari les, Leee. Ternyata gurunya belom selesai nerangin, yaudah deh gue perhatiin aja. Eh, taunya keluar di ulangan."

Ale menoleh tertarik dan memerhatikan Kenan dari samping. Mungkin dia sedang membatin bagaimana jadinya kalau anak laki-laki itu memanfaatkan otaknya yang mirip spons cuci piring untuk belajar, bukan menggenjreng gitar dan mengejar bola basket keliling lapangan.

"Ken."

"Hm?"

"Nih." Ale mengembalikan kertas ulangan cowok itu begitu mereka sampai di depan rumahnya, tersenyum menyenangkan. "Selamat. Om Alan sama Tante Laras pasti bangga."

Kenan balik tersenyum. Ada sesuatu yang rasanya kelewat kekanakan untuk laki-laki 13 tahun di balik senyum itu. Setelah Ale berbalik dan masuk ke rumahnya sendiri, baru Kenan bergegas menggeser gerbang dan berlari ke pintu depan. Ruang tamu kosong, tapi mobil sudah terparkir di garasi. Laki-laki itu membawa langkahnya menuju lantai atas dan sudah akan menghambur ke pelukan Bunda ketika sesuatu menghentikannya di anak tangga.

"Pinternya anak Bunda!"

"Ehhh, enak aja anak Bunda, kalau dapet nilai 100 gini biasanya sih anak Ayah..."

"Oh iya, hahaha, calon dokter cantik ini anak Bunda atau anak Ayah, sih?"

"Anak Ayah dan Bunda dong!"

Senyum yang tadinya melekat di bibir Kenan perlahan luntur. Pandangannya jatuh pada kertas ulangan di tangannya. Angka 95 yang tadinya tampak sangat spesial kini tidak terkesan begitu lagi.

"Adek hari Minggu nanti mau jalan-jalan?"

"Mau! Tapi bukannya Ayah Bunda nonton pertandingan basket Kakak, ya?"

"Ah, gampang itu nanti. Kakak kan main basket tiap hari. Adek mau jalan-jalan ke mana, emangnya?"

Jemari Kenan tanpa sadar meremas kertas dalam genggamannya. Pertandingan hari Minggu.. adalah pertandingan basket resmi pertamanya. Semua keluarga anggota tim diundang, dan Ayah-Bunda sudah berjanji untuk datang. Tapi tentu saja janji itu tidak ada apa-apanya dibandingkan permintaan putri kesayangan mereka, kan?

"Eh? Kakak udah pulang?"

Kenan tersadar dari lamunannya. Jemarinya buru-buru menjejalkan kertas tadi ke saku celana sebelum mencium tangan Ayah-Bunda di puncak tangga.

"Ulangan IPA tadi gimana, Kak? Adek dapet 100, lho. Hebat, kan?"

Akan jadi kelewat cengeng kalau Kenan menangis, jadi bocah laki-laki itu hanya menggaruk kepalanya yang tidak gatal sama sekali dan memberikan cengiran polos. "Biasa, Bun.. Kakak dapet jelek, hehe."

"Kamu itu..." Bunda mendecak sambil geleng-geleng. "Gimana mau jadi dokter kaya Ayah sama Bunda nanti?"

"Tenang, tenang," kekeh Ayah sembari menepuk bahu Kenan. "Biar Adek aja yang nerusin Ayah dan Bunda jadi dokter."

Kenan tersenyum tipis, menyaksikan pasangan dokter itu tertawa-tawa sembari menuruni tangga. Mereka pasti sedang minim pasien hari ini, makanya bisa pulang cepat. Kenan mendengus pelan dan menyesali langkah buru-burunya tadi. Ale yang menungguinya latihan basket pasti haus dan akan senang kalau mereka mampir beli es teh dulu.

"Ken!"

Laki-laki itu baru saja akan berbalik ketika seorang anak perempuan dengan tinggi sama persis dengannya muncul.

"Mau lihat jawaban gue, nggak?" Kia terdengar bersemangat. Jemari anak perempuan itu menyodorkan kertas ulangan dengan bangga, yang hanya Kenan lirik sekilas sebelum beranjak ke kamar. Deretan angka satu-nol-nol, nilai sempurna. Matanya seketika panas.

"Lumayan, biar bisa tau salah lo dimanaaa.."

Kenan meneruskan langkahnya sambil pura-pura tidak mendengar celotehan Kia meski telinganya rasanya hampir terbakar. Anak perempuan itu masih setia mengekor bahkan sampai Kenan masuk ke dalam kamar.

"Nanti gue bantuin deh, biar ulangan selanjutnya lo juga bisa dapet nilai seratus. Tadi lo dapet berapa sih? Lulus KKM, kan? Pasti—"

"Ki."

Yang dipanggil refleks berhenti persis di ambang pintu dan mengerjap polos. "Iya?"

"Capernya besok lagi, gue capek hari ini."

Kia terkesiap ketika pintu kamar itu dibanting menutup.

.

bersambung

.

A+Where stories live. Discover now