19 + (19 - √361)

162K 30.6K 6.2K
                                    

.

Mungkin Re sudah terlalu sering berada dalam kondisi seperti ini sampai-sampai laki-laki itu tidak merasakan apa-apa lagi.

Tidak merasakan apa-apa meski bunyi elektrokardiograf menusuk-nusuk telinganya di tengah malam sepi, tidak merasakan apa-apa meski gerimis membayang sejak sore, rintik air dingin susul-menyusul jatuh ke bumi, berlomba seolah takut tidak akan jadi yang pertama sampai tujuan.

Tapi setidaknya rintik itu punya tujuan, sementara Re tidak.

Laki-laki itu menjatuhkan pandangannya pada gadis yang terbaring di ranjang. Mata Jo sepenuhnya terpejam, dadanya naik-turun dengan teratur, dan kabel infus mengalirkan nutrisi cair melalui punggung tangannya. Dia kelihatan begitu damai, tenang, dan seperti yang selalu Re pertanyakan dalam benaknya diam-diam, bahagia.

Karena Jo selalu terlihat lebih bahagia dalam tidurnya ketimbang saat dia sadar dan berhadapan dengan kenyataan bahwa otaknya digerogoti sel parasit. Ketimbang saat dia mual dan kesakitan, ketimbang saat dia meminta Re memotong rambutnya sebelum terapi, ketimbang saat dia memandangi buku-buku pelajaran kakaknya dengan mata berkaca-kaca.

Karena Jo selalu terlihat lebih bahagia saat dia bermimpi, saat dia mengunjungi dunia lain yang tidak sejahat dunianya sendiri, saat dia bebas memiliki harapan yang lebih berarti dibanding sekadar menanti jadwal operasi.

Tapi meski semua itu terdengar begitu menyedihkan, Re tidak merasakan apa-apa. Lagi.

Laki-laki itu sudah sampai pada tahap di mana perasaannya menolak berfungsi. Dia sudah memutuskan hanya akan berusaha membuat Jo menjalani hidup senormal mungkin, sembari menunggu sisa waktu habis. Ibarat try out, Re bisa dibilang sudah selesai menggarap seluruh nomor soal— tinggal menunggu durasi pengerjaan selesai. Dia tidak tahu jawabannya salah atau benar, tapi dia juga tidak terlalu peduli. Dia juga tidak terlalu berharap.

Gerimis akhirnya berhenti tepat pukul tujuh malam. Saat Re menutup gorden jendela dan baru sadar dia belum makan sejak tadi pagi. Bibirnya mendesah tanpa sadar. Dia butuh udara segar.

Re perlahan melangkah keluar kamar. Matanya berkeliling untuk mendapati koridor lantai 2 sudah lumayan kosong. Mungkin karena gerimis, atau karena jam besuk sudah hampir berakhir.

Laki-laki itu berjalan menuju lift utama, menunggu sembari mengetuk-ngetukkan ujung sneakers-nya ke lantai.

Lift berdenting beberapa detik kemudian.

Pintunya perlahan terbuka, dan saat itu juga mata Re bersitatap dengan mata cantik yang sudah tidak asing lagi baginya. Langkahnya seketika terhenti.

Gadis itu juga kelihatan terkejut.

.

bab 19

ekspektasi, mimpi, dan harapan

.

"Re?"

Kai tidak bisa menahan nada suaranya yang meloncat satu oktaf.

Gadis itu otomatis menelan ludah. Sepertinya ini memang hari sialnya, mengingat dia sudah berdoa di perjalanan tadi supaya tidak bertemu seseorang, tapi waktu pintu lift terbuka, Re, berandal favorit Bina Indonesia, seketika muncul dalam balutan kaos hitam polos dan celana pendek warna kulit. Hal pertama yang muncul di kepala Kai adalah cowok ini keren banget kalo nggak pake seragam acak-acakan.

Dan maksud Kai, serius keren banget.

"Lo.." Gadis itu berdeham, membersihkan tenggorokannya. "..ngapain di sini?"

A+Where stories live. Discover now