31 + 50% × 12 - 6

171K 27.9K 18.2K
                                    

.

"Ini dompet kamu."

Aurora mengangkat wajah begitu Mama melempar dompet yang kemarin disita Papa ke atas tempat tidur. Wanita muda itu sudah mengenakan simple dress berwarna kuning keemasan, lengkap dengan tas tangan. Siap berangkat ke pesta perusahaan.

"Kenapa belum siap-siap?"

Aurora beringsut duduk, matanya beralih pada gaun peach yang digantung di sudut kamar. Gaun yang sudah dipesan dan dijahit dari seminggu lalu hanya untuk acara tahun baru ini. Gadis itu memilih meraih dompetnya terlebih dahulu.

"Papa berubah pikiran?" tanyanya begitu melihat ada satu kartu kredit di dalam sana.

"Kamu pikir orang keras kepala seperti Papa kamu bisa berubah pikiran?"

Dengusan mamanya membuat Aurora mengangkat alis. "Jadi ini kartu dari Mama?" Gadis itu menoleh bingung. "Kenapa?"

"Kenapa apa?"

"Kenapa Mama belain Aurora?"

Ada jeda yang aneh di kamar itu.

Mungkin karena seumur hidup Aurora, ibunya selalu ada di satu pihak yang sama dengan Papa. Apa pun yang didikte suaminya, pasti Mama setujui. Sehancur apa pun perasaan putrinya, Mama tidak akan peduli.

Jadi kenapa tiba-tiba berubah?

"Mama sama Papa nggak ribut, kan?"

"Kamu anak Mama satu-satunya."

Wanita itu justru menandas.

"Kamu nggak perlu minta maaf kalau bukan kamu yang salah."

Baru kali ini Aurora sama sekali tidak menangkap apa yang berusaha ibunya katakan.

Tapi ketika wanita yang melahirkannya itu justru melangkah mendekat dan meletakkan jemari di puncak kepalanya, baru Aurora tertegun.

Mama membelai rambut panjangnya dengan lembut.

Sentuhannya terasa asing, karena mungkin ini adalah kali pertama setelah bertahun-tahun. Aurora tidak mengenali jemari-jemari dingin itu karena dia tidak pernah menghabiskan banyak waktu bersama ibunya. Jauh lebih banyak waktu yang dia habiskan bersama guru les dan maki-makian Papa.

"Pakai gaun kamu."

Mama menarik tangannya. Aurora mengeratkan genggaman pada kartu kredit ketika wanita itu beranjak mundur menuju pintu. Ada yang tidak beres. Gadis itu menjatuhkan pandang pada dompetnya sekali lagi, dan saat itulah dia melihat ujung tiket yang terselip di salah satu slot.

Swan Lake. December 31st.

"Kalau Aurora nggak ikut gimana?"

Gadis itu tiba-tiba bertanya.

"Aurora.. agak nggak enak badan."

Mama menatapnya dalam-dalam, dan sekilas, Aurora yakin wanita itu bisa mencium kebohongan dalam nada bicaranya. Tapi Mama hanya memberikan satu anggukan.

"Istirahat."

Ketika pintu kamarnya akhirnya ditutup, Aurora makin yakin ada sesuatu yang salah.

Gadis itu menarik lembar tiket Swan Lake keluar dari dompet. Ini mungkin adalah keputusan tergila yang pernah dia buat, tapi toh Aurora sudah tidak bisa membedakan mana yang wajar dan tidak sekarang. Batas antara benar dan salah sudah lama melebur dalam dunianya.

Aurora meraih ponsel dan mengetik sederet nomor telepon yang tertulis di balik tiket itu.

Mungkin Papa akan membunuhnya nanti, tapi gadis itu sudah tidak peduli lagi.

A+Where stories live. Discover now