47 + 32 × 2 - 64

156K 29.8K 23.9K
                                    

Kalah.

Di mata seseorang yang selalu jadi juara, kalah adalah kosa kata baru untuk Re Dirgantara.

Ada begitu banyak pertanyaan yang memenuhi kepala, emosi yang menyesaki dada, dan perasaan tidak berdaya yang menguasai seluruh jiwa persis ketika video press conference itu berakhir. Ketika jemari Re yang tadinya menggenggam ponsel perlahan jatuh ke sisi tubuh.

Hening mungkin memang diciptakan untuk momen-momen seperti ini.

"Kenapa?"

Pelan, dia bertanya.

"Kenapa sistem peringkat jauh lebih berharga untuk Ibu?"

Dan karena Re benci kalah, dia memutuskan untuk menyerang—

"Kenapa dulu Ibu nggak mempertahankan keluarga kita sehebat ini?"

Serangan itu tepat sasaran dan melunturkan sebagian senyum Nadia. Hanya untuk sepersekian detik, Re merasa akhirnya dia berdiri di hadapan seorang wanita yang melahirkannya, bukan sosok kepala sekolah yang berbahaya.

"Kamu nggak akan ngerti."

Seluruh tatapan intimidatif Nadia mendadak hilang. Digantikan kaca di dua bola matanya.

"Kamu nggak akan ngerti kalau Ibu melakukan ini untuk melindungi kamu."

Yang satu itu di luar dugaan Re.

"Bohong." Laki-laki itu mengepalkan jemari. "Bohong, bohong. Ibu cuma bohong." Dia berusaha bernapas. Sekarang rasanya jauh lebih mengerikan karena Re tidak bisa mempercayai otaknya sendiri. Tidak boleh.

"Re—"

"Nggak, Bu." Laki-laki itu menggeram. Langkahnya bergerak menuju pintu. Dia harus pergi, dia harus menjernihkan pikirannya, dia harus mengisap setidaknya satu kotak tembakau—

"Direktur."

Langkah Re terhenti seketika di ambang pintu.

"Ibu melakukan semua ini untuk melindungi kamu dan teman-teman kamu dari Direktur."

Dan seolah kalimat itu belum cukup mengejutkan,

"Tolong berhenti menentang sistem, Mas."

Re berbalik dan terperanjat menyaksikan ibunya meneteskan air mata pertama dalam berbulan-bulan—

"Sebelum Direktur memutuskan untuk menghabisi kita semua."

.

bab 47

quatervois

.

Nina mematikan televisi ruang tengah.

Wanita itu meletakkan kembali tas dan payung yang tadinya sudah siap dibawa, kemudian bergegas menuju gudang ke lantai dua. Hujan masih bergemuruh di luar, sementara dia mengelilingkan pandang, mencari sesuatu di antara tumpukan barang yang belum sempat dibongkar sejak kepindahan.

Setelah tiga menit tidak kunjung menemukannya, wanita itu menghela napas dan memutuskan untuk mengirim pesan singkat. Meminta jatah cuti harian. Pekerjaannya bisa menunggu.

Mungkin hampir satu jam Nina berakhir membereskan gudang itu, sampai akhirnya dia mendengar suara langkah kaki di anak tangga. Wanita itu refleks berhenti bekerja, menanti seseorang muncul di ambang pintu.

Hujan meninggalkan jejak pada rambut, seragam, dan sepatu Kai yang basah kuyup.

Seolah gadis itu berjalan pulang dengan menerobos badai di luar, tapi mungkin memang itu yang dilakukannya.

A+Where stories live. Discover now