36 ÷ 6² × 3² + 3³

157K 29.6K 6.9K
                                    

"200 poin pelanggaran yang akan diakumulasikan ke nilai akhir ujian sekolah, sanksi tipe B, dan—"

"Atas dasar apa? Speak up soal busuknya sekolah ini?"

Pak Gum menggebrak meja keras-keras. Kelima siswa di ruangan itu berjengit, jemari terkepal, adrenalin berkumpul di ujung neuron masing-masing. Kenan perlu menahan lengan Ale yang sudah sangat tegang agar tidak menghajar guru Kimia mereka itu sekarang juga.

"Atas dasar mengadakan kericuhan—"

"Kericuhan?"

"ALETHEIA!"

"PAK, SEKOLAH BARU AJA BUNUH SATU MURID!"

"KALIAN TIDAK PUNYA BUKTI APA PUN SOAL ITU!" bentak Pak Gum. "INI NAMANYA MENYEBARKAN BERITA BOHONG!"

Ale menggertakkan gigi, setengah mati menahan diri. Pak Gum menghela napas keras. Penanggung jawab nol satu itu tiba-tiba merendahkan volumenya.

"Saya tau kalian marah."

Jeda.

"Saya juga tau sistem ini bukan sistem pendidikan yang baik."

Ale mendengus keras. "YA KALO GITU KENAPA—"

"Tapi sistem ini sudah berjalan selama bertahun-tahun dan membawa sekolah kita ke puncak!" lanjut guru itu tegas. "Ini dua bulan terakhir sebelum Ujian Nasional, Aletheia. Kalau sampai apa yang terjadi pada Thalia diketahui media, masa depan ratusan murid dipertaruhkan. Sekolah hanya berusaha melakukan yang terbaik—"

"Yang terbaik?" sela Kai. "Pura-pura semua baik-baik aja dan bilang apa yang terjadi sama Thalia bukan salah sekolah, itu yang terbaik?" Gadis itu berdiri. "Kalau nggak ada yang ngungkap semuanya, sampai kapan pun sistem ini bakal berjalan terus, Pak. Setiap ada murid yang kewalahan dan jatuh, sekolah bakal cuma nutupin hal itu. Lagi.. dan lagi. Kasus kaya gini bakal terus terjadi dan bakal ada Thalia-Thalia lain."

Pak Gum menghela napas panjang. "Kai—"

"Kalau Bina Indonesia memang sekolah terbaik, seharusnya Bina Indonesia nggak menelan korban."

Hening.

Tidak ada yang berbicara lagi karena semua tahu apa yang Kai katakan adalah kebenaran.

"Baik," desah Pak Gum akhirnya. "Saya mengerti."

Ruangan itu lengang selama beberapa saat.

Di luar, hujan menggempur koridor Bina Indonesia seperti tidak akan ada hari esok. Hawa dingin menyelusup ke balik seragam, membekukan pori-pori tubuh. Rombongan guru dan murid-murid kelas 12 sudah berangkat ke pemakaman Thalia sejak tadi. Meninggalkan gedung utama tanpa penghuni. Sepi.

Kai kembali menarik kursinya dan duduk, wajahnya dibenamkan ke tangkupan telapak tangan. Gadis itu justru merasa lebih kacau dari sebelumnya. Keberadaan Ale, Kenan, Re, dan Aurora di sini tidak membuat Kai merasa lebih baik. Dia justru cemas dengan hukuman yang baru saja dijatuhkan pada mereka. Kai tidak butuh orang lain untuk dikorbankan. Dia tidak butuh orang lain untuk ikut merasakan rasa sakitnya.

Decit laci kayu yang kemudian ditarik sampai ke telinga gadis itu, membuatnya mengangkat wajah. Pak Gum meraih sebuah file holder dan meletakkannya di tengah-tengah meja. Keempat teman Kai yang berdiri di sekeliling meja refleks mendekat.

"Dua tahun lalu, ada protes yang hampir sama."

Waka Kesiswaan itu bicara, volumenya lebih pelan dari volume normal yang biasa digunakan di kelas. Seolah tidak ingin ada yang mendengarnya.

"Beberapa murid keberatan mengenai variasi biaya SPP kelas 12 yang ditentukan dari hasil try out. Mereka dari jurusan IPS, tapi protes itu berhasil mengumpulkan 50% + 1 suara dari total keseluruhan siswa."

A+Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang