(43 + 2) ÷ 15 + 40

151K 28.3K 18.7K
                                    

Ada lebih dari dua puluh kemungkinan berbeda yang muncul di benak Re Dirgantara sepersekian sekon setelah jemarinya mengangkat mikrofon sialan itu ke udara.

Sepersekian sekon yang sama, yang digunakan teman-temannya untuk menahan napas dan mundur satu langkah.

Tidak ada yang berani bersuara, tapi baik Re, Kai, Ale, Kenan, maupun Aurora sama-sama menegakkan tubuh waspada. Seluruh mata tertuju pada benda kecil di tangan Re, dan begitu saja, sel-sel otak mereka seolah terkoneksi, menyadari apa yang sedang terjadi. Menyadari bahwa lebih dari apa pun, lebih dari lima jam yang mereka habiskan dengan berkeliaran diam-diam di area sekolah, detik itu adalah puncaknya— spasi antara hidup dan mati. Jeda singkat persis ketika pion Putih sudah setengah melangkah dari posisi dan menyadari bahwa di ujung papan, Hitam sedang mengatur strategi.

Biar Re jelaskan.

Pertama, tidak ada yang tahu sejak kapan mikrofon itu ada di sana. Mereka berlima memang membersihkan gudang ini, tapi siapa juga psikopat yang akan mengecek ke bawah permukaan meja karena curiga disadap oleh Bina Indonesia?

Kedua, anggap saja mikrofon itu ada di sana sejak awal, maka artinya seluruh jejak kriminalitas mereka terekam—artinya percuma mengingat detil rencana hanya sebatas di luar kepala, percuma meninggalkan ponsel di rumah, percuma melakukan segala cara untuk meminimalisasi bukti— karena luar biasa bodohnya, sekarang ada seseorang yang memegang rekaman audio berisi rencana sabotase dalam vokal mereka berlima.

Ketiga, seseorang itu hampir pasti Bu Nadia, dan hanya Tuhan yang tahu apa yang akan dilakukan wanita itu, karena bahkan Re tidak bisa menebak ke arah mana pikiran ibunya melaju.

Kesimpulan akhir: mereka kacau, KECUALI apa yang Kai rencanakan beberapa menit lalu benar-benar terjadi.

Jujur saja, ada sebagian dari diri Re yang menyetujui pemikiran gadis itu. Faktanya, keberadaan mikrofon di bawah permukaan meja memang membuktikan Bu Nadia mengetahui keseluruhan rencana mereka, termasuk metode presensi. Itu sebabnya ada penjaga di depan lab. komputer untuk menghalangi aksi. Satu-satunya yang belum bocor ke telinga Bu Nadia adalah mereka berhasil membobol ruangannya dan merangkai kunci jawaban sendiri, yang saat ini sudah tersusun rapi di lembar-lembar presensi. Kalau kelimanya menyusun sandiwara dan berpura-pura rencana mereka gagal total di depan mikrofon bodoh itu, Bu Nadia akan merasa dirinya sudah menang dan tidak perlu memeriksa presensi sebelum TO Mandiri 7 dimulai.

Kedengarannya memang sempurna, tapi sebagian dari diri Re yang lain terpaksa membunyikan alarm keras-keras, karena rencana itu masih punya celah, dan jelas, celah adalah masalah.

"Ada jeda nyaris empat jam dari waktu kita nemuin penjaga di depan lab. komputer sampe balik ke gudang."

Lorong depan gudang itu hening. Lantainya yang dingin dijejak lima remaja yang sama-sama tidak ingin membahas lebih lanjut argumen apapun yang Re lontarkan. Tapi "Re" mungkin kependekan dari "Realis", karena laki-laki itu memutuskan bahwa teman-temannya harus menelan mentah-mentah skenario paling buruk yang bisa terjadi.

"Kalo kita beneran gagal, harusnya nggak butuh waktu selama itu buat balik ke gudang. Bisa jadi Bu Nadia sadar dan curiga kita ngelakuin sesuatu di luar rencana awal. Bisa jadi dia tetep ngecek presensinya sebelum TO dimulai. Dan kalo sampe itu terjadi, Bu Nadia bakal nemuin kunci jawaban di presensi dan gue yakin dia bakal nge-cancel TO ini. Ditambah lagi soal audio—"

"Re."

Kai menyela. Tatap keduanya bertemu dan gadis itu menggelengkan kepala.

"Kita nggak punya pilihan."

A+Where stories live. Discover now