30 + cos 60 × 2 - 1

160K 26.4K 8.6K
                                    

.

"Aurora."

Langkah Aurora di anak tangga paling atas seketika terhenti. Gadis itu memejamkan mata, sebelum berbalik dengan hati-hati. Papanya berdiri di ujung tangga, tatapannya tajam. Tatapan yang selalu diberikan setiap kali Aurora melakukan kesalahan.

"Ke ruangan saya sekarang."

Gadis itu menelan ludah, meski tidak membantah. Dapat dipastikan papanya sudah mendapat laporan dari sekolah. Aurora menguatkan diri, sebelum perlahan mematri langkah mengikuti jejak pria paruh baya itu, memasuki ruangan paling besar di rumah mereka.

Ruang pribadi CEO Wimana Group paling tidak seukuran aula Bina Indonesia, atau mungkin justru lebih besar lagi. Di dalamnya penuh dengan lemari penghargaan, berkas kantor, serta etalase kaca tempat koleksi senjata api berjajar. Handgun pertahanan diri, revolver berburu, sampai laras panjang AK-47 yang mematikan.

Terakhir kali Aurora masuk ke sini adalah dua bulan lalu, waktu dia menyelinap untuk mencuri data dewan sekolah dari komputer papanya. Data khusus tentang Adinda Aletheia.

Dari sanalah Aurora tahu cewek itu punya riwayat kunjungan psikiater, yang pada awalnya dia pikir hanyalah kunjungan biasa, sampai akhirnya matanya menangkap laporan kesehatan Ale yang dilampirkan.

Jujur saja, pada saat itu, Aurora kelewat terkejut.

Dia sudah tahu ada dua respons paling fatal yang bisa terjadi kalau seseorang merasa disakiti. Antara balik menyakiti orang lain, atau justru menyakiti diri sendiri.

Tapi Aurora tidak pernah menduga seseorang dengan paras berandal seperti Ale akan memilih respons yang kedua. Dia tidak pernah menduga cewek yang mampu menonjok murid mana pun itu justru menyalurkan rasa sakit dengan mengiris venanya sendiri.

Jelas ada banyak perbedaan di antara mereka.

"Keluarkan dompet kamu."

Aurora sedikit tersentak waktu papanya akhirnya bicara. Jemari gadis itu perlahan bergerak meraih dompet merah marun dari dalam tas sekolah, sebelum meletakkannya di atas meja. Antonio mengeluarkan seluruh kartu kredit dari slotnya.

"Saya akan blokir semua akses keuangan kamu dari bank mulai malam ini."

Aurora menatap tidak percaya waktu papanya mulai mematahkan kartu-kartu itu satu per satu.

"Tapi dia yang mulai duluan, Pa," adu gadis itu seketika, "Aurora nggak sengaja!"

Antonio tidak terlihat peduli dengan apa yang berusaha putrinya katakan. Aurora makin frustasi ketika jemari papanya sudah mencapai kartu ketiga.

"Dia yang provokasi Aurora duluan! Aurora juga nggak berniat ngebocorin itu semua tapi—"

"Memangnya pernah saya mengajari kamu untuk lepas kontrol?!"

Bentakan Antonio langsung membungkam Aurora.

"Pernah saya mengajari kamu untuk mencuri data pribadi orang lain?!"

Balerina itu menggeleng, bibirnya digigit kasar.

"Dengar, Ra." Antonio meletakkan kedua telapak tangannya di atas meja, kemudian mencondongkan tubuh ke arah putri tunggalnya. "Tugas kamu itu masuk tiga besar. Bukan lancang membuka komputer saya, bukan menyabotase soal, bukan membongkar privasi lawan kamu! KAMU SADAR TINDAKANMU ITU BODOH?"

Aurora berjengit. Jemarinya terkepal erat sampai terasa sakit. "Tapi Aurora ngelakuin ini semua juga untuk masuk tiga besar, Pa!"

"Kamu mau tanggung jawab kalau nanti Aletheia semakin depresi?! Mau nama kamu dibawa-bawa kalau nanti dia bunuh diri?!"

A+Where stories live. Discover now