41 × 3 ÷ √9 × 1

159K 30.5K 16.2K
                                    

tips:

halo semuaa!

sebelum baca, aku mau ngingetin nih, adegan-adegan dalam bab ini bukan untuk ditiru yaaa (kecuali sekolah kalian kaya Bina Indonesia sih.. HAHAH) tapi nyontek/sabotase itu tetep gabaik!! awas aja ada yang nyontek/sabotase terus bilang terinspirasi dari A+!! *menangis*

pokoknya seperti biasa, ambil yang terang-terang dari A+, jangan yang gelap-gelap! selamat membacaaa <3

.

Minggu, 14 Februari, 7 menit sebelum aksi.

Aurora rasa supir taksi mana pun juga akan mengira dia bukan manusia.

Kalau dilihat dari tubuh ramping tinggi, rambut cokelat panjang terurai, dan waktu yang menunjuk pukul dua belas malam kurang.. supir taksi mana pun juga akan mengira dia hantu, bukan penumpang.

Tapi gadis dengan seragam Bina Indonesia itu tidak ingin ambil pusing. Alih-alih memberi klarifikasi, dia lebih memilih menutup pintu mobil, melirik Rolex yang melingkari pergelangan tangan, kemudian membuka restleting tas dan mengecek barang bawaan. Senter, sarung tangan, vitamin—

Alis Aurora tertekuk ketika jemarinya meraba sesuatu yang tidak dikenali.

Ah, dia selalu lupa mengeluarkan yang satu ini.

Sebuah buku tebal bersampul merah, dengan huruf-huruf putih kapital yang dicetak timbul. Mengenal Hukum.

Buku itu mau tidak mau mengembalikan pikiran Aurora pada satu bulan lalu.

"Ra, ini nyokap gue." Ale memperkenalkan dua orang di kanan-kirinya. Satu di meja makan, dan satu lagi di anak tangga. "Mama udah tau Aurora, kan?"

Tante Nada mengerjap dua kali seolah tidak percaya yang berdiri di anak tangga benar-benar Aurora.

"Tante, maaf ya nggak bilang-bilang mau nginep."

Aurora tersenyum canggung dan bergegas menyalami Tante Nada. Wanita itu terdiam dua detik, sebelum akhirnya membalas dengan kurva lembut di bibirnya. Jemari Tante Nada menyentuh pundak Aurora.

"Gapapa, Ra. Yuk sarapan dulu."

Ada dua hal yang Aurora sadari dari sarapan pagi itu. Cara makan Ale dan ibunya yang mirip, serta kehangatan yang melingkupi seluruh meja makan. Kehangatan yang nyaris tidak pernah dia rasakan setiap kali makan bersama orang tuanya.

"Berangkat sama Mama, Al?"

"Kayanya nggak, Ma. Ale sama Kenan aja."

"Aurora gimana?"

"Sama supirnya. Ya kan, Ra?"

"Iya, Tante, disuruh Papa. Lo bareng gue aja kali, Al?"

"Nggak mau anjir, bisa digibahin sesekolah."

"Kaya lo nggak pernah digibahin aja."

"Ya justru karena gue udah bosen digibahin."

Tante Nada spontan tertawa.

Sarapan itu selesai persis lima belas menit kemudian. Ale segera kembali ke kamarnya untuk mencari buku pelajaran yang masih tertimbun entah di mana. Aurora tidak heran mengingat kamar cewek itu lebih cocok disebut toko buku obral daripada kamar.

Setelah menumpuk piring kotor di dekat wastafel, Tante Nada mengajak Aurora melihat-lihat isi rumah sembari menunggu supirnya menjemput. Wanita itu juga menunjukkan beberapa foto yang dipajang di sepanjang ruang tamu. Pigura-pigura itu masih tampak baru, seolah rumah ini baru saja didekorasi ulang.

A+Where stories live. Discover now