√(40 ÷ cos 60° × (13 + 7))

167K 29K 14.4K
                                    

Sepi.

Hanya ada angin malam yang menabrak palang besi jembatan penyeberangan, membekukan permukaannya. Angin malam yang sama, yang menyibak helai-helai kecokelatan milik Aurora ke belakang punggung. Gadis itu memandang jalanan kosong di bawah, sebidang area tidak terawat di pinggiran kota Jakarta.

Mungkin kalau ditanya alasannya, kenapa dia tidak pulang saja ke rumahnya yang megah, berendam air panas, kemudian merangkum materi USBN- gadis itu tidak pernah tahu. Dia juga tidak pernah tahu kenapa setelah setengah jam menikmati angin sendirian, seseorang yang memenuhi pikirannya justru muncul seperti yang selalu terjadi, kebetulan.

"Ra?"

Kebetulan, yang membuat mereka hampir bertabrakan di koridor sekolah seperti adegan film remaja, bertemu di satu kafe yang sama padahal ada ratusan kafe di pusat kota, dan kebetulan-kebetulan lain yang sama klisenya.

"Gue nggak liat mobil lo di bawah. Lo ke sini sama supir lo, kan?"

Vokal Io selalu terdengar familiar, meski mungkin dia sedang menyembunyikan kebingungan tentang kenapa tuan putrinya ada di sini. Jauh dari istana, jauh dari kesibukan Jakarta, jauh dari meja belajarnya.

"Taksi."

Aurora berbalik, tersenyum sekilas. Mata cantiknya kemudian dialihkan pada lampu-lampu jalan yang sedikit basah oleh sisa air hujan. Sementara Io meneruskan langkahnya, dalam tempo yang sedikit terlalu lambat, sebelum akhirnya berhenti tepat di sisi gadis itu.

"Is everything okay?"

Aurora memberi anggukan singkat. Tidak ingin berpanjang-panjang kata. Keduanya tenggelam dalam diam untuk beberapa saat, sementara yang mencuri perhatian hanya cahaya lampu yang berkedip tiga detik sekali, kekurangan energi.

"Hari ini gue minta maaf ke Kai."

Aurora akhirnya memecah hening. Kukunya yang dicat abu-abu berkilau diketukkan ke palang besi.

"Anak-anak minta gue cerita gimana cara sabotase soal TO waktu itu, jadi gue jelasin. Termasuk soal surat dokter palsu yang lo temuin. Dan setelah gue pikir-pikir.. baru sekarang gue ngerti," tuturnya pelan. "Kalo waktu itu lo ngomong ke Kai, dia tetep nggak bisa ngelakuin apa-apa karena ada bukti CCTV, sedangkan gue bakal kehilangan kepercayaan ke lo. Dan mungkin lo bukan sepenuhnya takut gue ngejauh, tapi lo lebih takut gue nggak punya tempat cerita lagi. Lo lebih takut gue ngerasa sendiri."

Hening.

"Jadi maaf kalo waktu itu gue marah, karena gue nggak pernah kepikiran bakal ada orang sebaik lo di dunia ini."

Aurora menarik napas panjang dan mengembuskannya.

"Gue juga mau bilang makasih," sambungnya. "Makasih buat dengerin semua cerita gue. Makasih buat bikin gue sadar, kalo gue masih bisa berubah dengan ngelakuin hal-hal baik. Kai, dan temen-temen lain yang gue punya sekarang, itu semua karena lo."

Io tidak bisa menahan senyumnya melengkung mendengar semua perkataan Aurora. Gadis itu sudah jauh lebih hangat daripada terakhir kali mereka bertemu. Aurora yang dulu pasti tidak akan semudah itu mengucapkan maaf dan terima kasih.

"Lo.. berubah banyak ya?"

Laki-laki itu akhirnya tertawa kecil.

"Kalo gini, bisa-bisa makin banyak yang suka sama lo. Makin banyak deh saingan gue."

Aurora tidak menanggapi candaan itu. Dia hanya mendongak dan menatap Io. "Kai bilang.. lo pulang besok?"

Io tidak balas menatap gadis itu. Dia mengangguk, mungkin sedikit dihantam penyesalan. "Tadinya gue mau ngabarin lo, tapi gue pikir-" Ada jeda di sana, seolah dia sedang menahan satu kalimat lolos dari tenggorokannya, tapi akhirnya hanya tersenyum meledek, "Gue pikir lo nggak mau ngomong sama gue lagi."

A+Unde poveștirile trăiesc. Descoperă acum