Tangan Clare ditarik dengan kuat bersamaan dengan pintu yang ditutup. Clare nyaris memekik, tapi tertahan. Dia berbalik. Sepasang iris biru memandangnya seperti akan membekukannya. Pria yang tampan, tapi menyeramkan.
"...." Lidah Clare tercekat dan tidak dapat bicara. Wajahnya menjadi konyol. Matanya curi-curi pandang ke arah Louis—yang sama terlihat konyol.
Bahkan Louis terkejut. Bagaimana dengan Clare? Jantungnya nyaris melompat keluar.
"Bagaimana kau bisa membukanya?" Luke bertanya dengan datar, masih menggenggam lengan Clare dengan erat.
"Aku tidak tahu."
"Kuperingatkan kau, jangan ke sini lagi. Jika mereka melihat, kau akan kena masalah."
Terdengar seperti memberi nasihat atau mengkhawatirkan sesuatu, tapi nadanya sangat dingin. Clare menggigil. Dia mengangguk cepat sebelum Luke melepas tangannya dan melirik Louis.
"Kau tahu apa yang kau lakukan?"
"Dia sendiri setuju, aku tidak terlalu memaksanya," sahut Louis.
Bohong ... Clare ingin berteriak dan menunjukknya sambil memberinya julukan pembohong ulung!
"Sekali lagi kau melakukannya, akan kupastikan kau menanggungnya," ancam Luke.
"Lakukanlah."
Louis mendengus. Dibandingkan Luke yang dingin, Louis jauh lebih santai. Orang yang melihat dapat langsung menebak, bahwa mereka saling mengenal dan memiliki hubungan yang sangat buruk.
Dan Clare, ada di tengah-tengah keduanya. Wajah paniknya berubah menjadi malas. Dia menarik Louis seperti menarik seekor sapi, menjauhi Luke yang seperti antartika.
Sebenarnya, Clare malas membawa Louis. Dia ingin lari sendirian. Tapi dia tidak bisa membiarkan seseorang bertengkar. Penyakit ini tidak sembuh sama sekali.
"Senior tadi—"
"Kenapa?"
"Tampan ...."
Louis berdecak. "Memangnya aku tidak tampan?"
"Setidaknya kau tidak cantik."
"Kau juga tidak menarik."
"Setidaknya aku memiliki harga diri."
"Kau berdiri di sini, apa masih disebut memiliki harga diri?"
Clare mengerutkan kening. "Kenapa bicara seperti itu?
"Ini tempat para senior, kau masih berani—"
"Itu adalah keberanian, tidak ada hubungannya dengan harga diri. Setidaknya aku memiliki keberanian menentang aturan sekolah."
"Oh, ya? Tapi kau terlihat panik tadi."
"Panik bukan berarti takut."
Louis mendengus. Mereka tidak melanjutkan debat yang panjangnya seperti debat presiden. Clare mulai mengingat-ingat siapa senior tadi.
Dan benar saja, ia ingat kalau senior tadi adalah seseorang yang ditemui Gavin saat keluar dari kereta. Senior itu adalah seorang Orlane.
"Apa dia Orlane?" tanya Clare.
"Tidak penting."
"Yasudah kalau tidak memberitahu." Clare mendengus dan lari ke pintu lift. Dia memeletkan lidah pada Louis sambil menekan tombol tutup berkali-kali. Louis berlari ke arahnya, tapi pintu lift terlanjut tertutup.
Clare menghela nafas. Hari semakin gelap, tapi benang kusut di kepala Clare sama sekali tidak membaik. Ada banyak sekali pertanyaan.
Pertama, kenapa dia bisa masuk ke asrama kelas 1? kedua, kenapa Blaire mengatakan kalau Clare spesial? Ketiga, kenapa ruangan gelap dan kosong itu disebut ruangan terlarang?
Meski pertanyaan terakhir tidak ada hubungannya dengannya, Clare tetap penasaran. Biasanya, rasa penasaran membuat seseorang melakukan tindakan implusif.
Thumbelina datang ke asrama dan menghampiri Clare yang tengah merenung di depan tv. Thumbelina mendarat di meja membaca catatan berisi pertanyaan yang membuat kepala Clare pusing.
"Pria siapa yang kau maksud?" tanya Thumbelina.
Kedatangan tiba-tiba senior itu membangun rasa penasaran Clare. Setahunya, Orlane tidak peduli dengan urusan orang lain. Tapi dia tertarik pada ruang terlarang dan menghentikan Clare membuat masalah bersama Louis.
"Sepertinya dia satu angkatan dengan Louis dan musuh Louis. Mereka nyaris saja bertengkar."
"Seperti apa dia?" tanya Thumbelina penasaran.
"Tingginya sepadan dengan Louis, matanya biru dan rambutnya terlihat sedikit acak acakan, dia juga pria yang dingin," jelas Clare mengingat rupa menawannya tadi.
"Pria dingin dan musuh tuannya Lotus," gumam Thumbelina berpikir. "Lotus pernah mengatakan kalau tuannya memiliki satu musuh sejak lama, namanya Luke Orlane. Dia ada di asrama kelas 1."
"Asrama kelas 1? Aku tidak pernah melihatnya."
"Entahlah."
"Apa dia juga punya peri?"
"Tidak. Tapi, aku bisa membantumu untuk meberi pesan padanya."
"Tidak perlu, sekarang aku hanya ingin fokus pada Blaire."
"Apa aku harus memberitahunya kalau kau ingin bertemu? Aku bisa meyakinkannya, Blaire juga memiliki peri," ujar Thumbelina memberi solusi.
"Benarkah? Kalau begitu coba saja."
"Kapan kau ingin bicara padanya?"
"Malam ini."
Thumbelina pergi memberi pesan. Setelah menunggu beberapa saat sambil melanjutkan menulis novel, secara tak terduga Blaire setuju melakukan pertemuan. Clare agak terkejut. Ia pikir rencana pendeknya ini akan gagal.
Clare yang sudah mengenakan piyama, segera mengambil jaket dan pergi ke perpustakaan. Perpustakaan sudah sepi, tapi masih dibuka selama 24 jam. Blaire duduk di tempat yang sama seperti sebelumnya, membaca buku. Clare menghampiri.
"Kau bisa menjelaskan padaku bagaimana cerita ini berlangsung, juga merekomendasikan beberapa novel dan film vampir untukku .... Termasuk memberitahuku tempat dimana aku bisa bertemu dengan vampir." Dia bicara begitu Clare mendekat.
"Akan kuberitahu semuanya," sahut Clare tersenyum, lalu duduk di sebelahnya seraya berkata, "Pertama aku ingin tahu maksud dari perkataanmu sebelumnya."
"Aku harap kau hidup lebih lama dari yang kau kira."
Clare tertegun, lalu bertanya, "Kenapa bicara seperti itu?"
"Kau tidak akan percaya."
"Aku percaya keajaiban ... apapun itu, pasti aku percaya."
Blare menghela nafas, "Bahkan inilah alasan mengapa aku dimasukan ke asrama kelas 2."
"Mengapa?"
"Orang biasa tidak boleh tahu."
Ini pasti karena kebiasaan Louis. Murid baru manapun tidak memiliki keberanian membantahnya. Bahkan Clare tidak bisa.
"Kalau seharusnya kau di asrama kelas 1, aku ada teman. Kau tahu? Aku bahkan juga tidak bisa menjawab pertanyaan Louis."
"Kau tidak bisa? Kenapa?"
"Entahlah. Kau sendiri?"
"Mereka tidak akan mempercayaiku."
"Kadang seseorang lebih mempercayai kebohongan dibandingkan kenyataan. Tapi aku bukan orang seperti itu. Kamu tahu sesuatu dariku, tidak seharusnya aku tidak tahu sesuatu tentangmu. Itu tidak adil."
Blare melihatnya untuk beberapa waktu, mempertimbangkan. Ia menyipitkan mata, lalu berkata, "Aku bisa melihat kematian seseorang dan tahu kapan orang tersebut akan mati."
"...."
Luar biasa! Clare justru merasa bersemangat.
"Apa kau melihat caraku mati?" Clare penasaran.
"Aku hanya melihat caramu mati, bukan kapan kau akan mati. Kau adalah orang pertama yang hanya membuatku melihat caramu mati, bukan waktunya."
"Semoga saja masih lama."
"Kau percaya?"
"Kau tidak akan berbohong, kan? Kemampuanmu itu ... memang pantas dicurigai sebagai kebohongan. Tapi tidak ada alasan bagimu untuk berbohong." Seperti yang diketahui, Keluarga Osborne adalah keluarga peramal. Memiliki kemampuan seperti itu sudah sangat masuk akal.
"Kau pasti takut orang orang akan memanfaatkanmu untuk mengetahui kapan mereka akan mati dan menghindarinya." Atau bisa saja tertekan karena harus melihat ratusan kematian setiap harinya.
"Kau benar, tapi mereka tidak bisa menghindari takdir."
"Itu berarti kau tidak akan pernah memberitahu mereka."
"Pernah. Tapi sekarang tidak akan."
"Aku penasaran. Kapan kekuatanmu muncul?"
"Aku mendapatkan kekuatanku sehari setelah menerima kotak hitam yang kupilih. Kau pasti menerima sesuatu dari kotak yang kau pilih," jawab Blaire.
"Kau benar, hanya saja itu tiba-tiba menghilang." Clare berhenti sejenak sambil mengingat ingat. "Aku tidak ingat apa pun lagi ...."
"Kau pasti akan segera mengetahuinya."
Clare mengangguk lemah sambil menopang dagu dengan kedua tangan. Ia galau. Sudah dianggap tidak berguna, selalu membuat masalah pula. Dia bisa sihir—meski kacau—tapi tidak memiliki kemampuan khusus.
"Well, siapa namanya?" tanya Clare, melihat ke arah peri kecil bersayap ungu yang duduk di sebelah Thumbelina.
"Jessabele. Kau sendiri?"
"Thumbelina, bukankah cantik?"
"Sangat cantik."
"Kau boleh ganti asrama, kenapa aku tidak?" Clare mencari topik lain.
"Sebenarnya hanya perlu kerjasama dari wakil dekan. Aku menjelaskan situasiku, dan mereka mengerti—meski sulit."
Clare berdecak. "Andai saja tidak ada aturan aneh seperti itu. Louis ... kapan dia mati?"
Blare menahan senyumannya. "Masih lama."
"Sayang sekali ...."
To be continue
01/14/2021
Revisi