Boy Under The Rain [TERBIT]

By ztywi29palestina

159K 9.3K 945

Jika kebanyakkan orang memilih badboy atau cowok famous di sekolah sebagai tokoh utama dalam ceritanya. Maka... More

PROLOG
TRAILER & CAST
1 : : HELLO!
2 : : HERO
3 : : PLAN
4 : : HATE
5 : : CARE
6 : : DECISION
7 : : HONESTLY
8 : : FAKE
9 : : WHEN I MEET THEM
10 : : SERIOUSLY
11 : : YOUR PROBLEM, MY PROBLEM
12 : : BAND
13 : : CHOOSE
14 : : IF
15 : : TRUTH OR DARE!
16 : : SIDE
17 : : PRINCE
18 : : LIKE RAIN
19 : : SILENT
20 : : WHY
21 : : SHE'S CRY?
22 : : COMEBACK
23 : : SHY
24 : : LIKE NOT LOVE (?)
25 : : MUSIC
26 : : REJECT
27 : : YOUR LIE
28 : : HOPE
29 : : SADNESS
30 : : MISS
31 : : I DONT CARE
EXCUSE ME
32 : : RAIN
33 : : TALK
34 : : DREAM
35 : : ABOUT LOVE
36 : : WHAT DO YOU FEEL?
37 : : SAY!
38 : : ONE TIME
39 : : LAST CLASS
40 : : LITTLE THINGS...
41 : : CALLED LOVE (?)
42 : : HEAR
43 : : SUNDAY
44 : : BOY UNDER THE RAIN
45 : : LEAVE
46 : : FAREWELL
47 : : GONE
EPILOG
EXPART#1 : RA(D)IN WITHOUT REIN
INFO! ^^
PART 1# | WE ARE BESTFRIENDS
PART 2# | INTRO
INFO TERBIT?!
INFO TERBIT! | NB : DHEI DISURUH EMAK
HAPPY 150K : KAPAN OPEN PO?
OPEN PO!!!

48 : : FALSE

2.6K 120 7
By ztywi29palestina

Kupikir ia adalah hujan dan aku adalah payung yang meneduhkannya. Namun aku salah, aku memanglah payung, yang berusaha untuk meneduhkan.

Namun pada akhirnya aku tetap akan menghindari hujan, dan meneduhkan diriku sendiri.

-Boy Under the Rain

...

Terima kasih telah mencintaiku, mulai sekarang tertawalah dengan baik

Makanya sedikit pun aku tidak melupakannya

Suara gitar mengalun, terdengar lembut, lagi-lagi berhasil membuat siapapun yang melihatnya seakan termakan suasana. Rasa sakit, sedih, seolah-olah berhasil tersalurkan oleh siapapun yang mendengarnya.

Rein tersenyum samar, gadis yang tengah berada di jalan pulang itu menyumbatkan headset di kedua telinga seraya memerhatikan rekaman panggung tadi dari handphone-nya.

Motor berjalan kencang, membuat jaket Radin yang tidak tertutup rapat itu sedikit menyibak ke arahnya. Radin...

Petlahan Rein memerhatikan ekspresi anak laki-laki itu dari kaca spion. Entah mulai srjak kapan Radin yang Rein lihat sekarang bukanlah seperti Radin.

Berubah, anak itu sungguh benar-benar berubah. Mungkin masih dengan hemat bicaranya, tapi entah kenapa jika sudah bersuara selalu kalimat yang tidak mengenakkan, selalu dengan nada tinggi, dan ayolah benar-benar Radin yang berbeda.

Pandangan tegas nan tajam, meskipun terkadang sering tertangkap oleh Rein anak itu tengah menerawang kosong. Mungkin bagi Radin yang sekarang, marah, berbicara dengan nada tinggi, dan sorot pandang yang tidak enak itu dapat membuat orang lain melihatnya sebagai kekuatan. Tapi sebenarnya?

Rein menggeleng pelan. Radin salah. Anak itu semakin terlihat sisi lemahnya. Dan bodohnya, dengan sikap itu malah membuat orang lain semakin ingin menjauhinya, sudah lelah untuk bersabar, dan ingin menyelamatkan diri masing-masing.

Bahkan di saat situasi seperti ini saja Rein tidak berani berbicara sedikitpun dengan anak laki-laki itu.

Tanpa sepengetahuan, Radin melirik diam-diam, memerhatikan penumpang belakang dari kaca spion. "Lo mau bicara apa?" tanya Radin, menurunkan bahu yang tadi terangkat kaku, berusaha mungkin terlihat tenang.

Rein menggeleng. Mencengkram belakang jaket Radin. "Nanti aja setelah sampai rumah aku."

Tak ada jawaban dari Radin, angin malam berhembus kencang, langit malam yang biasanya yang dipenuhi bintang sekarang seolah tidak bersahabat, mendung, tanpa kerlap kerlip di atas sana.

Ya mendung, perlahan Rein tersenyum samar. Sama seperti hubungan persahabatannya sekarang. Tak ada yang menyangka dulu yang dipenuhi gelak tawa dan pertengkaran kecil kini malah berakhir seperti ini.

Semuanya sirna, hilang satu persatu, entah itu mrnuju impian masing-masing, maupun seseorang dengan sikap yang berubah terlalu drastis.

Kendaraan beroda terhenti, tepat di rumah krim bertingkat dua milik Rein. Rein turun dari motor sejenak, lalu menyerahkan tas gitar Radin yang sedari tadi di sandangnya.

"Bicara apa?" tanya Radin, kedua alis tebal itu terangkat tampak penasaran. Seraya menyandang tas gitar di punggungnya.

"Aku..." Berusaha mungkin Rein tersenyum, memerhatikan mata cokelat tegas itu dengan lembut. "Aku mau ngejar impian aku juga Radin. Mulai dari besok."

Radin mengangguk, menunduk sejenak lalu memerhatikan Rein. "Lo bisa ngejar impian lo sama gue. Dengan sama-sama lo enggak bakal merasa kesendirian. Lo bakal kuat hadapin apapun. Sekarang cuma tinggal kita berdua, dan gue cuma mertahanin apa yang tersisa buat gue sekarang."

Rein menggeleng pelan. "Tanpa kamu Radin," ucap Rein menegaskan, menahan napas. "Aku cuma mau realistis. Aku lelah cuma hidup di imajinasi, aku takut enggak bisa hadapin dunia yang sesungguhnya kalau aku cuma berimajinasi."

"Gue?" Sebelah susut bibir Radin terangkat, sinis. "Jadi gue cuma imajinasi lo selama ini? Apa yang pernah terjadi selama tiga tahun kemarin lo anggap cuma imajinasi?"

"Jangan posesif Radin," suruh Rein. "Dunia ini isinya bukan cuma kamu aja. Banyak hal yang harus aku kenal, banyak lagi orang-orang lainnya yang harus kita temui. Lingkunganku bukan cuma tentang aku sama kamu."

"Tapi..." Radin menggeleng tidak percaya, memerhatikan Rein seolah emnuntut jawaban yang ada di pikirannya. "Tapi lo bisa jalanin sama gue Rein. Cuma lo sahabat yang gue punya. Bokap nyokap pisah, Dhei lost contact, Dimas pergi, Bibi juga ikutan pergi, dan sekarang..."

"Tinggal lo Rein. Habis ini gue sendirian. Gue sama siapa? Sama siapa lagi gue bicara kalau bukan sama lo! Sama siapa lagi gue hadapin semuanya?" tanya Radin.

"Cari teman baru Radin. Hidup segampang itu," ucap Rein, tak kama gadis itu membalikkan badan, lalu menutup pagar dengan cepat.

Cepat sebelum Radin semakin sakit dengan keputusannya, ceoat sebekum anak itu kembali kalut dan takut dalam kesendiriannya.

"Cari teman, cari sahabat kayak lo semua enggak segampang yang lo kira!" teriak Radin dari depan pintu pagar.

"Kamu harusnya bisa kendalikan diri kamu sendiri, Radin!" teriak Rein, dari balik pagar, beruntunglah tinggi dan terbuat dari besi. "Berhenti buat egois! Berhenti jadi posesif! Semua orang bakal ninggalin kamu!"

"Gue posesif juga karena apa!" tanya Radin tak tahan lagi. "Bukan mau gue jadi kayak gini! Sepi! Lalu gue punya sahabat! Terus ninggalin gue, biarin dalam sepi lagi!"

"Terus kamu mau nyalahin siapa Din!" Rein menggigit bibir bawah dengan erat, bersandar, mengepal kedua tangan dengan erat, berharap dapat menguatkan tubuhnya. "Kamu enggak mungkin nyalahin orang sekitar kamu! Semua orang bakal datang untuk pergi! Kamu pintar! Kamu tahu kenyataan yang sebenarnya, kamu awalnya berkenalan dengan aku, Dhei,dan Dimas dengan resiko kalau kamu bakal ditingggal seperti ini!"

"Cuma kamu lupa! Kamu terlalu nyaman dengan waktu yang pernah kita cipta, kamu lupa sama resiko yang bakal di hadapkan dan lebih memiluh memegang kenyamanan itu dalam-dalam!"

"Sekarang siapa yang harus disalahkan?" tanya Rein kembali, seolah mengajak anak itu kembali berpikir. Rein tahu apa yang di hadapkan Radin mulai dari akhir kelas tiga kemarin.

Pisah dengan keluarga berhasil membuat akal sehat anak itu seolah tertutup seketika. Belum sempat untuk mengistirahatkan pikiran dari masalah, anak itu malah sudah terlebih dahulu di hadapkan dengan keputusan Dhei yang terdengar tiba-tiba, lalu banyak lagi hal yang bernama krgagalan yang di hadapkan anak laki-laki itu tanpa jeda.

Rein tahu berat rasanya, tapi bagaimana pun juga, apapun situasinya, anak itu harus tetap hidup dengan baik, bukan malah termakan oleh rasa gagal tersebut.

"Kamu enggak mungkin bisa salahkan masa lalu kamu, semua udah terjadi Din! Kamu enggak bisa nyalahin orang-orang, karena enggak semua orang sepemikiran dengan kamu! Kalau ada hal yabg mau kamu salahin, itu cuma diri kamu sendiri Din."

"Gue enggak salah," ucap Radin datar, sama seperti Rein, menyandarkan tubuh di sisi pagar, memerhatikan jalan perumahan yang benar-benar tampak sepi sekarang.

Rein tertunduk, secepat mungkin anak itu tertawa pelan mengusap kedua sudut matanya dengan cepat. Heran, Radin yang tengah berada di dalam situasi seperti ini, kenapa dirinya seolah yang merasa sakit? Kenapa seperti dirinya juga ikut merasakan beban dari anak itu.

Bodoh sekali.

"Berhenti sikap egois, berhenti nyakitin diri kamu Radin. Kamu yang salah, diri kamu yang salah terlalu berharap dengan orang-orang. Kamu yang salah karena menaruh harapan itu dengan gampang ke orang-orang. Ketika orang yang kamu anggap terbaik itu pergi, harapan kamu juga ikut lari. Dan orang itu..."

"Dhei..." gumam Radin pelan, perlahan merosot, terduduk, memerhatikan langit malam yang membentangi kota. Tersenyum samar.

"Radin..."

"Hm," gumam Radin, menjawab panggilan dari Rein.

Dari perkarangan rumah sana, Rein tersenyum samar. Berusaha mungkin mengumpulkan kekuatan untuk berbicara, ya berbicara untuk terakhir kalinya kepada anak laki-laki itu.

"Hidup dengan baik. Aku enggak bakal lupakan kamu."

Tak ada jawaban dari Radin, hening, sehening kota ini. Rein memejamkan mata sejenak, mengembus napas panjang, memasuki rumah.

Suara deritan pintu terdengar pelan. Perlahan gadis itu melepaskan kenop pintu dari genngamannya dengan lemah. Seharusnya bukan itu kalimat yang ia ucapkan. Ada kalimat yang lebih penting, penting diucapkan untuk anak laki-laki itu, sudah lama dirinya memendam, sudah kama dirinya ingin mengungkapkan, namun tidak kunjung bisa.


Ya, ia mencintai anak laki-laki itu.

Dan sayang, baik dirinya maupun Radin tak ada yang mampu mengucapkan kalimat indah itu.

☔☔☔

T

hank's for reading. I hope you enjoy it!

Belum bisa ngedit banyak, soalnya ku lagi ngebut mumpung sinyal bagus, ku lagi pulkam gaess wkwkwk.

Selamat hari terakhir puasa bagi yang menjalankan 😆. Mohon maaf lahir batin ya...

Kasih tanggapan dong apa kesannya ketika baca dari awal sampai bab ini?

Antara tunggu aku pulang lagi ke tempat asalku atau nemu sinyal bagus bakal aku update epilog sama expart nya.

Makasih semuanyaa



Continue Reading

You'll Also Like

6.9K 4.2K 58
[𝐌𝐲 𝐃𝐫𝐞𝐚𝐦 𝐒𝐞𝐫𝐢𝐞𝐬 #𝟏] Genre : Fantasy - Teenfiction Tema : Dream World ⚠ [𝗖𝗢𝗠𝗣𝗟𝗘𝗧𝗘𝗗] ⚠ Follow dulu dong! Hargai penulis dengan...
31.4K 1.4K 57
Kehidupan Sandra berubah semenjak bertemu kembali dengan rivalnya sejak kecil, yakni Kevin. Hari-harinya terasa begitu menyebalkan karena cowok itu...
ELANG By salvanianr

Teen Fiction

2.1K 372 15
Suatu penyesalan yang tertinggal pada masa lalu, membuat Fannie Andira Hadley harus kembali dengan beribu rasa bersalah. Terpaksa meninggalkan seseor...
298K 14K 23
"Kalau saya mau ngumpat atau nyumpahin Mas, ngapain di depan? Mending nanti aja pas salat malam. Bayarannya kontan. Orang nyebelin kayak Mas gini bia...