Boy Under The Rain [TERBIT]

By ztywi29palestina

159K 9.3K 944

Jika kebanyakkan orang memilih badboy atau cowok famous di sekolah sebagai tokoh utama dalam ceritanya. Maka... More

PROLOG
TRAILER & CAST
1 : : HELLO!
2 : : HERO
3 : : PLAN
4 : : HATE
5 : : CARE
6 : : DECISION
7 : : HONESTLY
8 : : FAKE
9 : : WHEN I MEET THEM
10 : : SERIOUSLY
11 : : YOUR PROBLEM, MY PROBLEM
12 : : BAND
13 : : CHOOSE
14 : : IF
15 : : TRUTH OR DARE!
16 : : SIDE
17 : : PRINCE
18 : : LIKE RAIN
19 : : SILENT
20 : : WHY
21 : : SHE'S CRY?
22 : : COMEBACK
23 : : SHY
24 : : LIKE NOT LOVE (?)
25 : : MUSIC
26 : : REJECT
27 : : YOUR LIE
28 : : HOPE
29 : : SADNESS
30 : : MISS
31 : : I DONT CARE
EXCUSE ME
32 : : RAIN
33 : : TALK
34 : : DREAM
35 : : ABOUT LOVE
36 : : WHAT DO YOU FEEL?
37 : : SAY!
38 : : ONE TIME
39 : : LAST CLASS
40 : : LITTLE THINGS...
41 : : CALLED LOVE (?)
42 : : HEAR
43 : : SUNDAY
44 : : BOY UNDER THE RAIN
45 : : LEAVE
46 : : FAREWELL
48 : : FALSE
EPILOG
EXPART#1 : RA(D)IN WITHOUT REIN
INFO! ^^
PART 1# | WE ARE BESTFRIENDS
PART 2# | INTRO
INFO TERBIT?!
INFO TERBIT! | NB : DHEI DISURUH EMAK
HAPPY 150K : KAPAN OPEN PO?
OPEN PO!!!

47 : : GONE

1.7K 130 16
By ztywi29palestina

Kamu boleh meraih sesuatu, kamu boleh mendapatkan sesuatu yang berharga bagimu. Tapi ada satu hal yang enggak boleh kamu lupa...

Terkadang hal yang berharga itu bukanlah seutuhnya milikmu. Adakalanya kamu harus belajar melepaskan, merelakan, dan berlapang dada untuk menerima kenyataan bahwa kamu akan  kembali lagi dalam kesendirian.

-Boy Under the Rain

...

Seumur hidupnya, Radin tidak akan lagi pernah percaya jika ada kata yang paling indah di dunia adalah kata yang diucapkan dari seorang sahabat. Ya, indah, memang menenangkan, membuat dirinya terasa hidup seketika.

Namun siapa sangka semuanya seperti ini? Siapa yang menyangka, jika pada akhirnya kata perpisahan itu benar-benar ada. Menyakitinya, menghempaskannya, dan percayalah ini rasanya jauh lebih buruk dibandingkan perceraian antara Papa Mama.

Brakk!!

Pintu rumah dibanting dengan kuat, tampak Radin dengan kaos hitam dan celana pendek hitam selututnya melangkah dengan lebar, baru saja dari luar, meniti anak tangga dengan tak sabar.

Sudah lima hari. Ya tepat lima hari setelah perpisahan sekolah begitu juga dengan perceraian kedua orangtuanya ia seperti ini. Tak ada sorot mata tenang lagi sendu, tak ada suara bass lembut, bahkan senyum manis milik anak laki-laki itu lagi.

Bibi. Perempuan paruh baya itu tersentak, mendengar suara bantingan barang di sekitar rumah. Jelas sudah berasal dari Radin, apapun yang ada di hadapan anak itu, entah pintu, buku, maupun perabotan lainnya, maka kini tidak dapat berakhir dengan baik.

"Den, tutup pintunya baik-baik."

Tak ada jawaban dari Radin. Anak laki-laki itu kini tidak lagi menghiraukan apa yang ada di sekeliling. Sudah cukup, keputusan Papa secara sepihak benar-benar membuatnya kesal, hak asuh anak kini berada di tangan Mama. Dan itu tandanya pula Radin harus tinggal di rumah ini, bersama perempuan paruh baya itu.

Terserah Radin tak peduli.

"Radin!" panggil Mama, perempuan yang baru saja melihat kepergian mantan suaminya itu kini masuk ke dalam rumah, mengangkat kepala memerhatikan Radin dari ruang tengah dengan kesal.

"Jangan kayak anak enggak tahu sopan santun kamu! Banting sana banting sini, kamu pikir Mama mudah urus rumah ini?"

"Susah!" jawab Radin dari lantai atas. Ditolehkannya kepala ke lantai bawah memerhatikan Mama. "Barang-barang ini mahal! Jauh lebih berharga dari apapun! Sama berharganya dengan uang Mama! Pekerjaan Mama!"

"Radin!" Belum sempat perempuan itu meneriakinya lagi, secepat mungkin Radin membanting pintu kamar, masuk dalam tempat bernuansa klasik itu dengan cepat.

Suara hembusan napas terdengar memburu, begitu sesak, dimana mulai sekarang dirinya seperti kehabisan oksigen di sekelilingnya. Radin memejamkan mata, menelan ludah, tampak bulir keringat dingin mengalir dari dahinya begitu banyak.

Sakit. Sungguh dirinya terasa sakit sekarang. Mulai dari Papa, Mama, lalu Dhei. Tiga orang berharga yang selalu ia genggam, selalu teringat di pikiran dan tiga orang yang pernah membuat dirinya hidup lalu membuangnya begitu saja.

"Sial," umpat Radin pelan, sekali lagi digepalkan tangan dengan erat lalu memukul dinding kamar berkali-kali tanpa ampun, membiarkan setiap buku jari itu memerah, dan bodoh, semerah apapun warnanya dirinya tidak dapat merasakan sakit sama sekali.

Ada rasa yang jauh lebih sakit dibandingkan buku jari ini, dan parahnya ia sama sekali tidak tahu bagaimana cara mengobatinya kembali, tak ada yang membantunya, tak ada sama sekali yang berada di sampingnya.

Hilang, perlahan-lahan semuanya hilang begitu cepat, dan seakan menyakitinya secara perlahan.

☔☔☔

"Ini hari terakhir gue band sama kalian, ini hari terakhir gue injak kaki di sekolah dan mungkin..." Dhei tersenyum samar, menoleh belakang. "Ini hari terakhir gue kumpul sama kalian. Hari perpisahan sekolah, begitu juga hidup gue sama kalian."

Brugghh!!

Sontak Dhei termundur ke belakang, meringis, memegang bagian tulang pipi kanannya. Sakit? Ya, mungkin ini lah yang dirasakan si pemukul sekarang. Bukan Dimas, anak itu tetap duduk di bangku koridor. Rein terlebih lagi, tidak mungkin cewek itu memukulnya seperti ini. Tapi...

Baik Dhei, Dimas, maupun Rein menoleh seketika. Tampak Radin berdiri tegap, menggertak gigi dengan geram seraya mengepalkan tangan dengan erat. "Jangan pergi, Bego!"

Dhei tertawa pelan, menggeleng. "Maaf Din, gue enggak bisa."

"Bohong lo!" Belum sempat Radin mengangkat sebelah tangan kembali, secepat mungkin ditahan oleh Dimas, disilangkannya kedua lengan anak laki-laki itu lalu mendorong ke belakang, menjauh ke arah Dhei yang tampak berdiri tenang dari kejauhan.

"Dim, lepasin gue," gertak Radin, berusaha mungkin meloloskan cengkraman tangannya dari Dimas.

"Tahan emosi lo Din," suruh Dimas. Susah payah menahan kedua tangan Radin dengan erat. Begitu juga menyandarkan tubuh anak itu ke sisi tiang koridor. "Enggak ada gunanya lo marah kayak gini."

"Enggak ada gunanya gimana!" Mendadak saja kedua mata Radin membulat. Memerhatikan Dimas sejenak lalu Dhei dari kejauhan. Rein menggigit bibir bawah dengan erat. "Lo datang! Lo pergi! Lo bilang kita bakal sama-sama semuanya! Tepatin janji lo woi!"

Dhei tersenyum samar, menunduk.

"Din, udah," Setengah berdecak Dimas menenangkan. Sungguh tidak disangka, cukup susah menahan Radin, anak itu seakan mengeluarkan seluruh tenaga yang selama ini disimpannya dalam bentuk diam.

Tak peduli dengan ucapan Dimas, kedua mata Radin masih saja membulat, menuntut, meminta semua pertanggungjawaban, dirinya bisa tenang karena ada ketiga orang ini terutama Dhei. Jika anak itu pergi bagaimana bisa dirinya nanti...

Ingin saja Radin mengumpat, bodoh, ia lupa, ia terlalu berharap, dan menggantungkan hidup serta harapannya kepada anak itu.

"Lo sahabat gue! Sahabat terbaik gue! Enggak bakal pernah ninggalin gue! Enggak ada alasan buat lo ninggalin gue! Gue udah percaya penuh sama lo!" bentak Radin.

"Realistis Din!" Kini suara Dimas terdengar kuat, berteriak di depn Radin dengan kencang, berharap dapat membuyarkan imajinasi gila anak itu. "Dia Dhei! Manusia Din! Dia bakal pergi! Kita semua bakal pergi! Raih impian masing-masing! Enggak mungkin kita semua bakal ada di sisi lo! Jangan egois Din!"

"Gue enggak egois!" bentak Radin jauh lebih kuat lagi. Baik Dimas maupun Rein melihat sorot mata anak itu seolah seperti hancur seketika, hancur dengan harapan yang dibuat, serta takut kembali dalam nuansa yang bernama kesepian.

"Gue enggak mau keluarga gue sibuk! Gue enggak mau keluarga gue pisah! Gue enggak mau lihat lo semua sedih! Berantem! Apalagi ribut sama kalian! Berusaha mungkin gue jaga hubungan sama kalian dengan baik! Apa itu yang dibilang egois!" tanya Radin mengangkat dagu, menuntut jawaban dari ketiga orang di hadapannya.

"Gue mau jaga apa yang seharusnya milik gue! Kebahagiaan! Persahabatan! Keluarga! Enggak banyak yang gue mau! Gue cuma mau ketiga hal itu! Gue enggak nuntut materi! Masa depan! Prestasi! Gue enggak peduli! Gue cuma mau kalian! Kenapa enggak bisa hah?" tanya Radin parau, tampak dada itu naik turun dengan cepat menahan rasa sesak yang begitu hebat.

"Jawab!" bentak Radin sekali lagi, sungguh anak itu seolah kehilangan kendali. Siapapun berani bertaruh, ini bukan seperti Radin yang biasa, berubah, sungguh drastis dan tak ada  yang pernah mengira Radin akan seperti ini.

Ah, bukan seperti ini. Tapi sehancur ini. "Kenapa enggak bisa!"

Plakk!

Radin memejamkan mata, begitu juga dengan Dimas dan Dhei yang melihat kedua anak itu tidak percaya. Rein, cewek itu barusan menampar...

"Berhenti Radin," ucap Rein, memerhatikan mata bundar itu dengan tegas. "Cukup, aku enggak mau kamu kayak gini."

Sebelah alis Radin terangkat, begitu juga dengan sebelah sudut bibir. Menggeleng tidak menyangka. "Tampar kalau itu buat lo senang Rein, tampar kalau itu bisa kabulin keinginan gue."

"Kamu..." Tenggorokkan Rein seakan tercekat seketika, secepat mungkin dirinya memukul badan Radin berulang kali, berharap semoga Radin yang di hadapannya dapat kembali seperti semula, berpikir secara dewasa. "Kamu kenapa kayak gini Din?!"

Nihil, tak ada jawaban dari Radin, mata bundar  itu tampak lurus memerhatikan Dhei dari kejauhan.
Kecewa? Sangat.

"Radin!"

Tak ingin larut dalam pikiran gilanya, secepat mungkin Radin membalikkan badan, menepis tangan Dimas yang menahannya begitu juga tangan Rein dengan kasar, lalu berjalan, meninggalkan acara.

Meninggalkan sahabatnya itu untuk yang pertama dan terakhir kalinya.

☔☔☔

Saat aku tahu sulitnya untuk mengabulkan permohonan itu.
Adalah malam disaat aku tumbuh dewasa.
Tapi aku ingin memalingkan mataku...

Suara musik terdengar begitu kuat dari dalam kamar. Langit yang tadinya berwarna jingga kini perlahan gelap, mengembuskan angin malam berhasil membuat gorden kamar berterbangan.

Mata bundar Radin tampak terbuka, entahlah sepertinya anak itu tidak berkedip sedari tadi. Kamar terlihat berantakkan, tak ada lagi buku yang tersusun di rak dengan rapi, semuanya jatuh ke bawah, memenuhi lantai kamar.

Mati rasa? Entahlah, Radin tidak tahu, yang pasti diri hanya ingin diam sekarang, diam berusaha menikmati dan larut dalam sakitnya. Mungkin saja dengan seperti itu dirinya bisa menemukan titik rasa sakit dan mengobatinya secepat mungkin.

Papa, Mama, Dhei, dan barusan Dimas...

Anak itu berhenti untuk melakukan band bersamanya, apalagi kalau bukan dengan alasan sibuk. Ya, mulai mencari pekerjaan di luar sana.

Tinggal Rein dan Bibi sekarang yang ia punya. Jujur saja Radin tak berani berharap terlalu banyak sekarang. Karena yang ia tahu, jika ia berharap, luka itu akan semakin besar, dan bisa-bisa itu akan menyakiti tubuhnya, teramat sangat.

Kriiettt...

Pintu kamar Radin terbuka, tampak Bibi melangkah masuk, perempuan itu menghidupkan lampu putih kamar, berhasil membuat kamar terang dan jelas seketika.

"Ya ampun Den..." Bibi menggeleng kuat, terkejut melihat isi kamar, di tolehkan kepala sejenak, memerhatikan anak majikannya itu.

Sedang merebahkan tubuh di atas tenpat tidur, memerhatikan langit-langit kamar tanpa berkedip, bahkan tanpa sepatah kata yang terucap dari mulut itu.

"Ini kamar kenapa berantakkan kayak gini Den? Kasihan Den buku-bukunya kalau dibiarin jatuh kayak gini. Foto-fotonya juga, lihat ada kacanya yang pecah, kan kasihan Den."

Hening, tak ada jawaban dari Radin, anak itu masih saja berada di posisi, membiarkan sebulir air mengalir dari sudut matanya, memerhatikan langit-langit kamar tanpa berkedip.

"Den?" Bibi mengernyit, merasa ada yang tidak enak secepat mungkin perempuan paruh baya utu memghampiri, duduk di samping Radin seraya menepuk pipi kanan Radin dengan kuat, berulang kali. "Den, kedip Den, jangan kayak gini haduh..."

Perlahan perempuan paruh baya itu menggenggam tangan Radin dengan erat, terasa begitu dingin, sangat dingin, tak lupa pula dengan bekas luka yang tertera pada setiap buku jarinya. "Den, Bibi ke bawah dulu, ambilin antiseptik ya?"

"Aku bisa sendiri," gumam Radin pelan, lalu melirik perempuan paruh baya itu dengan tidak senang. "Ada yang aneh juga sama Bibi berapa hari ini, Bibi mau bicara apa?"

Kedua alis perempuan paruh baya itu terangkat, tampak ragu sekaligus cemas. Ragu untuk mengatakan yang sebenarnya. Terlebih lagi kondisi batin Radin tengah seperti ini. "Bibi, mau berhenti Den, masa Bibi kerja disini udah habis. Tuan udah pindah juga, Bibi enggak enak sama Nyonya."

"Kalau gitu pergi sekarang," ucap Radin langsung, menepis tangan perempuan itu dari tangannya dengan kasar. "Aku enggak butuh Bibi. Jangan pernah ketemu aku lagi."

"Den," Perempuan itu menelan ludah, melihat Radin seperti ini sebenarnya juga tidak tega, tapi mau bagaimana lagi? Bagaimana juga perempuan itu juga harus menyelamatkan diri sendiri, tidak bisa lagi berlama-lama di rumah ini. "Bukannya Bibi mau ninggalin Den Radin, bukannya Bibi enggak sayang lagi sama Den Radin, tapi Bibi juga susah Den, Den Radin tolong ngerti kondisi Bibi ya?"

Diam-diam Radin tersenyum sinis,  tanpa niat sedikit pun memerhatikan wajah Bibi. "Aku bilang pergi! Aku enggak butuh siapapun sekarang! Pergi! Semua pergi!"

"Den..."

"Pergi!" ucap Radin kuat, lagi-lagi napas itu kembali tak terkendali, bangkit dari tempat tidurnya dengan kesal.

Perempuan paruh baya itu mengangguk, berdiri takut-takut berusaha mungkin memerhatikan Radin dengan tulus. "Nanti kalau Bibi pergi, Den Radin jangan kayak gini lagi ya? Den Radin harus jadi kayak dulu lagi."

"Jangan ikut campur!" jawab Radin, kesal. Pintu kamar dibanting dengan kuat, dapat Radin dengar isakan perempuan itu terdengar dari depan.

Diam-diam Radin memejamkan mata, bersandar di belakang pintu, ditariknya ujung-ujung rambut dengan erat, berusaha berteriak, melepaskan semua emosinya. Nihil, bukannya dari dulu ia tidak bisa meluapkan emosinya? Dirinya tidak boleh berteriak atau menangis dimana saja. 

Jika ia melakukannya maka siap-siaplah Mama akan menghukumnya. Dan alhasil? Ya seperti ini, kacau, dimana ia berada di ambang keduanya tak dapat memendam maupun meluapkan.

Drttt... drrrttt...

Getaran hp terdengar dari atas meja belajar. Dengan setengah hati, Radin melangkah lebar, mengangkat telepon dari seberang. Rein. Gadis itu menelponnya.

"Radin..."

"Hm," jawab Radin singkat.

"Kamu baik-baik aja?"

Radin memejamkan mata, menelan ludah, sesekali memukul dinding kamar dengan kuat, berharap seluruh emosinya hilang disaat ini juga. "Hm," jawab Radin kembali.

Terdengar suara tawa datar dari seberang. "Kamu yakin mau band malam ini?"

"Bukan band, tapi gue manggung sendiri. Dimas udah keluar."

Suara gadis itu seolah menggumam tidak percaya. Tak ada penegasan lagi dari Radin. Secepat mungkin anak laki-laki itu meraih jaket dari lemari, mengenakan jeans panjang, begitu juga memyambar gitar cokelatnya di sudut dinding.

"Gue jemput lo, matiin telponnya."

"I-iya."

___

Thank's for reading. I hope you enjoy it.
Satu part terakhir lagi. Kalau ini rame aku update lagi hari sabtu okee???

Yang mau tau lagu apa yang Radin putar. Bisa klik disini 👇

Bantu share cerita ini ke teman-trman kamu yaa... makasih 😙




Continue Reading

You'll Also Like

3.4M 279K 47
AGASKAR-ZEYA AFTER MARRIED [[teen romance rate 18+] ASKARAZEY •••••••••••• "Walaupun status kita nggak diungkap secara terang-terangan, tetep aja gue...
31.4K 1.2K 9
"Ada teman yang memelukmu lebih erat supaya pisaunya menancap lebih dalam" -entah siapa PRIVATE STORY # 119 dalam action # 707 dalam action # 867 dal...
7.5K 718 68
Araya hanya ingin melewati masa SMA dengan tenang, tapi tampaknya hal itu tidak akan ia dapat dengan mudah setelah terlibat dengan 5 cowok yang diseb...
31.8K 3.6K 41
Ariellea Mahardika yang memiliki gangguan Dissociative Identity Disorder atau kepribadian ganda hanya ingin menjalani kehidupannya dengan normal sepe...