Boy Under The Rain [TERBIT]

By ztywi29palestina

159K 9.3K 946

Jika kebanyakkan orang memilih badboy atau cowok famous di sekolah sebagai tokoh utama dalam ceritanya. Maka... More

PROLOG
TRAILER & CAST
1 : : HELLO!
2 : : HERO
3 : : PLAN
4 : : HATE
5 : : CARE
6 : : DECISION
7 : : HONESTLY
8 : : FAKE
9 : : WHEN I MEET THEM
10 : : SERIOUSLY
11 : : YOUR PROBLEM, MY PROBLEM
12 : : BAND
13 : : CHOOSE
14 : : IF
15 : : TRUTH OR DARE!
16 : : SIDE
17 : : PRINCE
18 : : LIKE RAIN
19 : : SILENT
20 : : WHY
21 : : SHE'S CRY?
22 : : COMEBACK
23 : : SHY
24 : : LIKE NOT LOVE (?)
25 : : MUSIC
26 : : REJECT
27 : : YOUR LIE
28 : : HOPE
29 : : SADNESS
30 : : MISS
31 : : I DONT CARE
EXCUSE ME
32 : : RAIN
33 : : TALK
34 : : DREAM
35 : : ABOUT LOVE
36 : : WHAT DO YOU FEEL?
37 : : SAY!
38 : : ONE TIME
39 : : LAST CLASS
40 : : LITTLE THINGS...
41 : : CALLED LOVE (?)
42 : : HEAR
43 : : SUNDAY
45 : : LEAVE
46 : : FAREWELL
47 : : GONE
48 : : FALSE
EPILOG
EXPART#1 : RA(D)IN WITHOUT REIN
INFO! ^^
PART 1# | WE ARE BESTFRIENDS
PART 2# | INTRO
INFO TERBIT?!
INFO TERBIT! | NB : DHEI DISURUH EMAK
HAPPY 150K : KAPAN OPEN PO?
OPEN PO!!!

44 : : BOY UNDER THE RAIN

1.3K 129 11
By ztywi29palestina

Ada rasa sesak ketika melihat dirinya hadir

Dengan mata bundarnya, serta senyum tulusnya, ia menjulurkan tangan. 

Merasakan tetesan hujan, merasakan setiap emosi yang mendarat di telapak tangannya. 

Hilang, setiap emosi terkumpul, dan tumpah. 

Lalu dengan wajah tenangnya ia menoleh ke arahku seraya berkata...

Hujan itu harus dirasakan, bukan untuk dihindarkan. 

-Boy Under the Rain

...

Sedia payung sebelum hujan.

Suatu peribahasa dimana setiap manusia diajarkan untuk menyiapkan segala sesuatu sebelum datangnya tanda bahaya. Manusia seolah-olah diajarkan untuk berfokus ke masa depan dengan begitu keras, seperti apa yang kita lakukan di hari ini maka akan berpengaruh kepada masa yang akan datang. 

Memang benar, namun adakalanya dalam proses perjalanannya kita seperti seorang manusia yang terjebak di dalam derasnya hujan, tanpa payung, di mana kita harus berlari seraya menikmati rintik hujan yang membasahi tubuh lalu barulah kita akan bertemu sebuah tempat untuk berteduh. 

"Berteduh dulu Rein..."

Rein mengangguk, gadis yang tengah menggenggam kantong bukunya itu turun dari kendaraan lalu berlari cepat, berteduh di bawah halte. Dingin, sesekali diusapnya kedua lengan dengan cepat seraya mengangkat kepala memerhatikan setiap butiran air yang turun dari atap halte. 

"Kamu..." ucap Rein setengah berteriak, berharap semoga suara terdengar di derasan hujan seperti ini. "Jangan main hujan!"

"Kenapa?" tanya Radin, anak laki-laki itu mengangkat kepala, bukannya berteduh di halte malah turun di pinggir jalan seraya merentangkan kedua tangan. Setelah mengamankan gitar dan meletakkan barang itu ke bangku halte tentunya.

Bersyukurlah, halte tampak sepi begitu juga dengan jalanan yang tidak begitu dipadati kendaraan. Jika tidak mungkin anak itu akan dilihat oleh orang-orang. Radin yang pendiam, Radin yang tidak banyak tingkah terkadang bisa berubah menjadi seperti anak-anak. Terutama kepada orang terdekatnya.

"Enak, seru!" ucap Radin lagi, dengan baju yang telah basah kuyup begitu juga dengan rambutnya yang tampak lepek.  

"Sebentar lagi mau ujian! Jaga kesehatan kamu!" jawab Rein, memiringkan badan, menoleh ke arah Radin. 

Kedua sudut bibir Radin terangkat, anak itu tersenyum cerah, lalu berjalan menuju halte, berdiri di samping Rein. Masih saja menikmati hujan yang turun di atas sana, Radin menjulurkan tangan, merasakan setiap titik air dingin yang menyentuh di telapak tangannya. "Thank's udah ingatkan." 

Rein mengangguk pelan, memerhatikan jalanan dengan lurus, kini tanpa menoleh ke arah samping sedikit pun. Canggung, ya itu yang dirasakan Rein. Entah berapa lama dirinya tidak mengobrol berdua seperti ini, baik berbicara serius maupun hanya sekedar bercanda bersama Radin. 

Yang pasti...

Rein menunduk, memerhatikan genangan air yang mengalir di hadapannya. Sungguh rasanya tidak enak sekali. 

☔☔☔

"Rein..."

Gadis yang tengah fokus dengan buku soal itu mengangkat kedua alis, masih di tempat makan dengan nuansa taman serta warna putih di setiap perabotannya. Belum dengan langit senja yang tampak begitu sendu, sendu seperti suara orang di hadapannya.

Dhei, entah berapa puluh kali cowok itu memanggil namanya, berbicara sedikit-sedikit, tidak langsung panjang dan jail seperti biasanya.

"Lihat gue sebentar Rein."

Diam-diam Rein berdecak kesal. Mengangkat kepala, menoleh dengan malas. "Apa Dhei, aku lagi belajar."

Dhei tersenyum samar, sorot mata itu kini sudah seperti nuansa di sore hari ini. Dhei aneh? Iya, sangat aneh.

"Gue mau kita putus Rein."

Mata Rein berhasil membulat seketika. Pena yang tadi berada digenggamannya sontak diletakkan ke atas meja. "Putus?" tanya Rein, menggeleng, tidak percaya, tertawa pelan. "Tiba-tiba putus, enggak lucu candaan kamu Dhei."

"Gue lagi enggak bercanda Rein," jawab Dhei.

"Tapi..." Rein mengalihkan pandangan sejenak, tampak bingung. "Tapi karena apa?"

Kedua sudut bibir Dhei terangkat, memerhatikan gadisnya itu dengan tulus. "Karena kita enggak saling nyaman Rein, gue tahu hati lo bukan untuk gue. Rasa lo ada buat seseorang yang jauh lebih penting. Dan sayangnya orang itu bukan gue."

"Mungkin lo berusaha untuk belajar balas perasaan gue, tapi lo tetap  enggak bisa, Rein," ucap Dhei menggeleng. "Harusnya gue ikutin jalan pikiran Radin dalam soal ini."

"Harusnya gue enggak pacaran, mikirin lebih banyak pertimbangan. Karena yah..." Kedua ujung alis tampak menurun, tersenyum samar. "Ujung-ujungnya gue juga bakal nyakitin lo, maaf."

"Kamu kenapa Dhei?" tanya Rein tak sabar lagi. Senyuman samar, kedua ujung alis yang menurun, dan pandangan redup bukanlah milik Dhei seutuhnya.

"Diakhir sekolah ini gue mau kita semua kayak biasa, sahabat. Enggak ada rasa canggung kayak lo sama Radin yang sekarang, lo berdua bahkan udah jarang ngobrol kan? Meskipun lo dulu satu ekskul sama dia, lo masih merasa canggung."

"Hubungan aku sama Radin apa Dhei?" tanya Rein mengernyit, tak mengerti jalan pikiran Dhei. "Kita enggak ada apa-apa."

"Dia sahabat lo Rein," tekan Dhei memerhatikan mata bulat gadis itu. "Jangan pernah lupa. Lo butuh Radin dan Dimas. Radin butuh lo dan Dimas. Lalu Dimas butuh lo berdua, jaga persahabatan lo bertiga."

"Kamu?" tanya Rein. "Tidak?"

"Ah iya..." Dhei tertawa terpaksa seraya menggaruk belakang kepalanya yang tidak gatal. "Gue lupa hitung diri gue sendiri."

"Dhei..." panggil Rein. Kedua bola mata itu terangkat memerhatikan Dhri yang duduk di seberangnya. "Aku lagi berusaha belajar balas perasaan kamu."

Dhri tersenyum samar, menatap bola mata cokelat itu dengan lembut. "Maaf Rein, gue tetap mau putus."

☔☔☔

"Lo pernah bilang hujan itu untuk dirasakan, bukan untuk dihindar, benar 'kan?"

Tak ada jawaban dari sebelah, rintik hujan masih saja turun begitu deras, membuat suasana begitu dingin dan parahnya kedua anak itu tidak ada yang membawa jaket sekarang.

Rein. Sedari tadi, gadis itu masih saja menatap lurus. Setengah menerawang memerhatikan arah jalanan yang licin ditimpa oleh hujan.

"Rein?" panggil Radin.

Rein tersentak. Secepat mungkin anak itu tersenyum, menoleh ke arah Radin. Radin mengernyit, tak lama mengedarkan pandangan ke langit seraya menjulurkan tangannya ke tetesan hujan. "Kita berdua udah berubah ya?" gumam Radin.

Tak ada jawaban dari Rein. Gadis itu nenunduk, seraya mencengkram kantong buku di tangannya dengan erat. Diam-diam menyetujui ucapan Radin. Ya, kini baik dirinya maupun Radin seperti dua orang asing yang baru saja bertemu.

Canggung, tak ada pembicaraan, jika ada pun paling dipenuhi rasa segan dan itu sangat tidak menyenangkan.

Radin tersenyum samar. "Dan gue harap rasa canggung itu cuma sebentar aja, enggak untuk selamanya. Enggak enak hidup kayak gini, dekat tapi terasa asing, apalagi asing dengan sahabat lo sendiri."

"Kamu merasa asing?" tanya Rein, hati-hati.

Radin mengangguk kuat, sekali anggukan. "Kayak perang dingin, padahal kita enggak ada bertengkar. Enggak tahu kenapa tiba-tiba kita jadi kayak gini."

Mungkin karena perasaan. Ya, Rein menyadarinya. Dirinya yang terkadang mengharapkan Radin membalas perasaannya malah menjadi sebaliknya. Tanpa sadar Radin membuatnya terhempas begitu kuat, menamparnya bahwa menunggu terlalu lama tidak ada gunanya dan tanpa disadari oleh Radin pastinya.

Bibir bawah Rein terangkat, mengangkat kepala seraya menjulurkan sebelah tangan, menampung air hujan di telapak tangannya. "Jadi kita harus apa?"

Radin bergumam, ikut berpikir. Tak lama anak itu membungkam mulut dengan sebelah tangan, menahan tawa, dimana lelucon mendadak memenuhi pikirannya. Jadi kita harus apa? Adakah pertanyaan polos seperti itu? Seperti dua orang yang kehilangan dan tersesat dalam suatu perjalanan.

Si kaku bertemu dengan gadis kaku, yah meskipun Radin akui Rein bisa saja berubah menjadi gadis yang begitu aktif dan cerewet di masa-masa tertentu.

Rein mendelik, tersenyum memerhatikan Radin. "Kamu kenapa ketawa ih..."

"Lucu," ucap Radin terbahak, kedua sudut bibir itu terangkat tampak begitu manis bagi siapapun yang melihat. "Kita harus apa? Baru kali ini gue ketemu pertanyaan kayak gitu."

"Ya..." Rein tertawa pelan. Isrng, secepat mungkin Rein melemparkan air hujan yang sudah tertampung di tangannya ke arah Radin. "Aku enggak tahu mau ngapain."

Wajah Radin basah seketika. Radin membalas siram, cewek itu mudur beberapa langkah menghindar, seraya tertawa mengejek. "Coba siram aku kalau kamu bisa."

Radin menggeleng. Kali ini berjalan, berdiri di hadapan Rein. Untuk kedua kalinya anak itu merentangkan tangan berdiri di bawah derasnya hujan, menikmati setiap tetesan hujan yang membasahi tubuhnya.

"Kalau gitu kita cerita, apa yang mau lo cerita ke gue hari ini?" tanya Radin setengah berteriak.

Rein terdiam sejenak, gadis itu menunduk lalu berteriak. "Aku putus sama Dhei!"

"Hah?" Radin tercengang seketika, wajah itu tampak basah, membuat alis tebal begitu juga dengan rambut hitamnya terlihat begitu jelas.

Rein mengangguk. Mencengkram kantong buku dengan kedua tangannya erat kembali berteriak, setengah menunduk agar Radin dapat mendengarnya dengan jelas. "Tapi enggak apa! Kita semua kembali kayak semula! Kita semua masih  sahabat! Kita semua bakal sama-sama! Selamanya!"

Radin tersenyum puas. Mengangguk.

"Kamu?" tanya Rein balik. "Ada yang mau kamu ceritakan?"

Radin mengangguk, berusaha mungkin anak laki-laki itu tertawa, memerlihatkan gigi putihnya. Dipejamkan kedua mata dengan erat sejenak begitu merasa ada buliran air hangat yang bercampur dengan hujan mengalir di pipinya, terasa begitu deras dan tidak dapat dihindarkan.

"Apa?" tanya Rein, penasaran.

Radin tersenyum, menarik napas sedalam-dalam, memasukan oksigen sepuas-puasnya ke dalam rongga dadanya yang terasa begitu sesak. Berharap semoga tidak terdengar menyedihkan.

Dirinya pasti kuat di luar dugaannya,  bagaimanapun ia harus menghadapi kenyataan, kenyataan yang selalu ia anggap sebagai halusinasi semata.

"Sebentar lagi bokap sama nyokap gue bakalan pisah!"

___

Thank's for reading! I hope you enjoy it!

Yang mau tanya, fangirl, dll :

1. Radin Anggana 😶

2. Dhei Pradipta 😎

3. Yashiaka Rein 😊

4. Dimas Rayana 😏

Continue Reading

You'll Also Like

Dunia Aray By Rain

Teen Fiction

237K 17.9K 42
Dibalik ketegaran dari seorang Aray Naufal Alam. Kehilangan orangtuanya membuat hidup Aray berubah drastis, dimana dulu hari-harinya diwarnai dengan...
457K 77.7K 35
Teenfiction/Mistery Jonathan, kakak kembar Joshua itu cukup aneh. Gelagatnya seperti ada maksud lain. Sungguh tidak biasa melihat laki-laki yang kak...
845K 84.2K 47
"Jangan lupa Yunifer, saat ini di dalam perutmu sedang ada anakku, kau tak bisa lari ke mana-mana," ujar Alaric dengan ekspresi datarnya. * * * Pang...
375K 21.7K 37
(FOLLOW DULU SEBELUM BACA!) Retno telah berhasil menyembunyikannya selama bertahun-tahun. Retno pikir, dia sudah baik-baik saja sekarang. Namun, keda...