Boy Under The Rain [TERBIT]

By ztywi29palestina

159K 9.3K 944

Jika kebanyakkan orang memilih badboy atau cowok famous di sekolah sebagai tokoh utama dalam ceritanya. Maka... More

PROLOG
TRAILER & CAST
1 : : HELLO!
2 : : HERO
3 : : PLAN
4 : : HATE
5 : : CARE
6 : : DECISION
7 : : HONESTLY
8 : : FAKE
9 : : WHEN I MEET THEM
10 : : SERIOUSLY
11 : : YOUR PROBLEM, MY PROBLEM
12 : : BAND
13 : : CHOOSE
14 : : IF
15 : : TRUTH OR DARE!
16 : : SIDE
17 : : PRINCE
18 : : LIKE RAIN
19 : : SILENT
20 : : WHY
21 : : SHE'S CRY?
22 : : COMEBACK
23 : : SHY
24 : : LIKE NOT LOVE (?)
25 : : MUSIC
26 : : REJECT
27 : : YOUR LIE
28 : : HOPE
29 : : SADNESS
30 : : MISS
31 : : I DONT CARE
EXCUSE ME
32 : : RAIN
33 : : TALK
34 : : DREAM
36 : : WHAT DO YOU FEEL?
37 : : SAY!
38 : : ONE TIME
39 : : LAST CLASS
40 : : LITTLE THINGS...
41 : : CALLED LOVE (?)
42 : : HEAR
43 : : SUNDAY
44 : : BOY UNDER THE RAIN
45 : : LEAVE
46 : : FAREWELL
47 : : GONE
48 : : FALSE
EPILOG
EXPART#1 : RA(D)IN WITHOUT REIN
INFO! ^^
PART 1# | WE ARE BESTFRIENDS
PART 2# | INTRO
INFO TERBIT?!
INFO TERBIT! | NB : DHEI DISURUH EMAK
HAPPY 150K : KAPAN OPEN PO?
OPEN PO!!!

35 : : ABOUT LOVE

1.4K 96 8
By ztywi29palestina

Memang menyebalkan, terkadang ketika seseorang sudah merasa nyaman, maka seseorang sulit untuk mengungkapkan arti yang sesungguhnya. Sulit untuk meruntuhkan rasa gengsi dan malah memutarbalikkan fakta yang ada.

-Boy Under the Rain

...

Terkadang untuk meraih suatu impian, tujuan, maupun cita-cita memang begitu banyak hambatannya. Terkadang memang tidak sesuai dengan khayalan yang tampaknya serba instan.  Mimpi untuk berhasil saja tidak cukup. Butuh tenaga, butuh mental yang kuat, jatuh lalu bangkit, ditolak serta dihempas lagi bukanlah suatu proses yang asing.

Karena yang menarik di dalam harapan adalah proses. Memang alangkah indah bila kita sudah mencapai tujuan, tapi jika mencapai tujuan tanpa menjalani proses yang panjang bukankah itu menyedihkan?

Tak ada pelajaran yang didapatkan, tak ada hal yang dapat dibanggakan. Karena yang kita tahu hanyalah menerima, menerima, dan menerima. Tanpa mau usaha keras, lalu sekali dihadapkan dengan sebuah persoalan ia menyerah, membiarkan mimpi serta harapan itu kandas.

Kedua sudut bibir Radin terangkat. Anak laki-laki itu mengangkat kepala, duduk di ambang jendela kamar seraya memerhatikan langit gelap yang berada di atas sana. Tampak begitu indah, belum lagi dengan titik-titik kecil kilaunya.

"Radin! Main yok!"

Suara panggilan ini... Radin mencondongkan tubuh, memerhatikan tiga orang yang tengah berdiri di halaman rumahnya. Dhei, Rein, dan Dimas.  Sudah Radin duga bunyi bel memalukan itu hanya milik Dhei seorang saja.

"Main masak-masak yok!"

"Haishh..." Radin mendesis, secepat mungkin anak laki-laki itu membenarkan jaket hitam dan kaos di tubuhnya sejenak begitu juga dengan celana jeans-nya.

"Den Radin..."

Suara panggilan Bibi kini mulai terdengar, lengkap sudah rumah yang biasa selalu sepi kini seakan ramai, meskipun hanya dipenuhi dengan suara Dhei dan Bibi.

"Iya Bi iya! Radin turun ke bawah!" jawab Radin, secepat mungkin meraih gitar barunya di atas meja belajar lalu menuju lantai bawah.

Radin menuruni anak tangga. Dari lantai bawah, tampak Dhei, Dimas, Rein tengah duduk di atas sofa. Ketiga anak itu sesekali tertawa dan jangan lupa kebiasaan Dimas yang selalu menjitak kepala Dhei dengan kuat.

Dhei menyengir, lagi-lagi memejamkan mata seraya membuat kedua tanganya seperti lingkaran lalu di dekatkan ke hadapan mulut. Setengah berteriak. "Radin! Main lompat tali yok! Enggak apa, Dhei jadi talinya terus Radin yang lompat, biar kita saling melengkapi."

"Jijik," desis Radin diam-diam. Di langkahkannya kaki, berdiri di belakang sofa. "Sini lo biar gue ikat pakai tali."

Dhei tersentak, nyaris jantungan begitu memerhatikan mata bundar Radin yang membulat seram. Bibir bawah Dhei terangkat manja, belum lagi dengan sorot mata yang berbinar, tampak memohon. Cowok itu menarik sebelah lengan Radin. "Ayo main, ayo..."

"Gue tabok lo Dhei," ancam Radin, sesekali membenarkan rambutnya sejenak, seperti biasa selalu terlihat manis dan begitu rapi.

Rein tersenyum, tak hentinya memerhatikan wajah cowok bermata bundar itu.

Dhei menelan ludah, memasang wajah gugup, berbisik ke arah Dimas. "Gue mau ditabok Dim, tolong gue."

"Ogah!" tolak Dimas refleks, lalu tersenyum sinis, menoleh ke arah Radin dengan mantap. "Kan gue yang ngajarin, ya enggak Din?"

Sebelah sudut bibir Radin terangkat, tersenyum percaya diri. Dhei memasang wajah syok, dan jika Rein boleh jujur, wajah itu jauh lebih mirip ibu-ibu yang tengah melihat jemuran keringnya basah tertimpa hujan. "Sahabat Dhei udah enggak polos lagi!"

Radin menunduk, memerhatikan jam tangan. Sudah pukul delapan, sementara dirinya dan ketiga sahabatnya sudah harus berada di tempat acara dengan cepat.

Band?  Ya, pergi untuk band.

"Berangkat?" Kedua alis tebal Radin terangkat, meminta pendapat ketiga orang itu. Dhei mengangguk, begitu juga Dimas dan Rein. Belum sampai berjalan menuju halaman rumah, suara getaran hp terdengar kuat. Secepat mungkin Radin meronggoh saku jaketnya.

Papa. Pria itu menelponnya.

Radin mengernyit. Mengangkat sebelah tangan, memberi tanda tunggu pada ketiga sahabatnya. "Halo Pa?"

"Radin! Kamu dimana?"  tanya dari seberang, terdengar begitu kuat dan kesal. Papa sudah kembali masuk lalu berkutat dengan pekerjaan, dan jika sudah seperti itu Radin yakin sifat Papa pasti akan berubah seperti biasa. Dingin.

"Masih di rumah Pa," jawab Radin. Sebuah jawaban yang lebih cocok terdengar seperti pertanyaan.

Dari seberang seakan pria itu mendesis. "Cepatlah! Kamu lihat ini jam berapa! Papa udah tunggu kamu daritadi!"

Tunggu? Radin mengernyit heran, alis tebal itu kini nyaris menyatu. Seingat Radin, dirinya tidak ada janji kemana-mana dengan Papa. Mustahil bagi dirinya memiliki jadwal bersama Papa. Apa mungkin...

Kedua mata Radin membulat seketika. Di hadapan Radin, tampak ketiga orang itu penasaran, cemas, sekaligus takut. Ya, takut seperti apa yang direncanakan dibatalkan kembali seperti beberapa hari sebelumnya.

"Mobil Papa rusak? Radin jemput ke kantor?"

Sontak kedua mata Dimas membulat, anak itu tampak tidak terima, maju beberapa langkah dengan kesal. Buru-buru Dhei menahan pemilik tubuh tegap itu dengan susah payah. Dibawanya ke halaman rumah agak jauh dari Radin yang berdiri di ambang pintu.

Kini suara bass pria itu terdengar semakin kuat. "Papa ada di tempat acara band kamu! Papa mau lihat anak Papa sekarang! Mengerti! Papa tak terima bantahan! Cepat berangkat sekarang!"

Kedua sudut bibir Radin mengembang seketika. Memerhatikan Rein di hadapannya yang tengah menatapnya dengan heran, cewek itu tampak begitu imut.

Radin mengganguk kuat. "Perintah siap dijalankan!"

Pembicaraan usai, Radin melangkah tenang, mendekati Dimas dengan aura gelapnnya begitu juga Dhei yang tengah berusaha menahan tubuh tegap itu dari belakang.

"Tenang," ucap Radin, tersenyum kaku, tampak begitu senang. "Papa udah ada di tempat acara. Katanya udah mau mulai."

Dhei mengembus napas lega. Begitu juga yang dilakukan Dimas secara diam-diam. Tak ingin memperlambat waktu secepat mungkin Dimas menepis tangan Dhei dari kedua lengannya, lalu membenarkan sandangan tas gitar dari bahunya.

"Bagus. Sekarang..." Dimas menatap sahabatnya satu persatu, tegas. "Supaya enggak ada yang nyasar atau terlambat sampai sana, kita susun formasi. Lo berangkat sama gue Din dan Dhei berangkat sama Rein."

"Yes!" ucap Dhei mengepal sebelah tangan dengan erat. Tersenyum kemenangan seraya memberikan helm merah muda milik Rein yang bergantung di handle motornya. "Gue bisa bonceng cewek cantik."

Rein tertawa, gadis itu menggeleng pelan seraya meraih helm yang disodorkan Dhei. Dinaikinya kendaraan beroda dua itu, seraya menggenggam sisi tas gitar Dhei dengan erat. Gas dihidupkan. Motor Dhei berlalu terlebih dahulu.

Dimas bersiap-siap. Tanpa mengerjapkan mata, Radin memerhatikan kedua anak itu sudah menjauh. Ingin rasanya Radin bertanya, ada yang aneh dengan dirinya, ada rasa mengganjal di dadanya lagi, seperti sesak dan kesulitan untuk bernapas.

Dimas menoleh, heran. "Kenapa lo Din?"

"Mungkin gugup," jawab Radin berusaha tenang, wajar saja dirinya vokal dan nanti ia akan berhadapan dengan banyak orang.

Radin menoleh kiri kanan, seraya menggaruk belakang kepala yang tidak gatal. "Gue boleh ke dalam sebentar? Mau ambil minuman sekalian izin ke Bibi mau berangkat."

Dimas mengangguk, masih setengah heran demgan tingkah sahabatnya yang semakin kaku itu. "Ya udah buruan, sekalian ambilin juga buat gue."

Radin mengangguk. Secepat mungkin masuk ke dalam rumah bertingkat dua itu.

☔☔☔

"Gue tolak," ucap Dimas datar. Kedua mata bulat itu tampak tajam, memerhatikan Radin dengan tidak senang. "Keluar masuk keluar masuk, lo pikir ini pintu toilet?"

"Dimas bisa ngereceh juga," bisik Dhei, mengerjapkan kedua mata, tampak takjub. "Keajaiban." 

Kepala Radin yang selalu saja tertunduk itu kini terangkat, anak itu mengembus napas panjang sejenak, berusaha menyelesaikan masalah. Ya, Radin tahu Dimas marah padanya, mungkin lebih dari marah, ini lebih dari pukulan atau umpatan, anak itu tampak menjauhinya, menganggapnya seolah hanya makhluk tak kasat mata di dalam kelas. 

"Maaf, gue tahu lo kecewa waktu itu," ucap Radin rendah. Namun sorot mata teduh itu tampak tegas seolah-olah tengah memertahankan harapannya dan memegang ucapannya dengan erat. " Tapi gue keluar bukan benar-benar keinginan gue, awalnya itu keinginan bokap gue." 

Tak ada jawaban dari Dimas, anak itu memalingkan wajah, menekukkan sebelah lututnya gaya khas anak tongkrongan. Bibir bawah Radin bergerak, seolah tengah mencoba mengeluarkan kata-kata. Suatu kalimat yang ingin diucapkan, hanya saja terlalu kelu baginya. "Salah kalau lo bilang gue nyerah, seenaknya. Awalnya gue bingung, harus berada di posisi mana, harus bahagiakan siapa? Keluarga gue atau sahabat gue?" 

"Dan pada akhirnya gue tahu," Radin tersenyum samar, menunduk. Mengutuki diri yang selalu mengikuti jalannya arus, membiarkan dirinya terbawa arah tanpa mau menerobosnya, tanpa pernah melawan, ataupun memberontak. Dirinya seolah-olah seperti tidak punya pendirian, hanya mengikut, seolah-olah hidup hanya untuk membahagiakan orang lain saja, padahal hal itu mustahil untuk seorang manusia lakukan. 

"Gue harus tetap di posisi gue, tetap jadi diri gue sendiri. Seberusaha apapun gue mau bahagiakan orang-orang terdekat gue, gue enggak bakal bisa, pasti ada pihak yang dikecewakan, masalah, ribut, semuanya pasti ada. Dan yah..." Kedua mata bundar itu memerhatikan Dimas dari kejauhan. "Gue masih mau nge-band sama kalian, sampai kapanpun. Gue mau bahagia sama kalian, sedih, susah, senang, gue mau kita semua sama-sama." 

"Sh*t!" umpat Dimas di sudut dinding, maka itu masih saja memalingkan wajah, menelan ludah, membasahi tenggorokkannya yang tercekat. Tampak mata bulat itu mulai memerah, berair. Bersamaan dengan kedua tangannya yang tergepal erat, tampak bergetar. 

Radin melangkah mendekat, mengulurkan tangan, tersenyum. "Damai?" 

"Terserah lo! Enggak peduli gue!" bentak Dimas susah payah, menahan gengsinya yang begitu tinggi. Namun tak lama anak itu melirik Radin diam-diam, tertangkap basah oleh Radin yang tengah mengangkat kedua alis,  masih menjulurkan tangan. Dimas berdecak, bangkit meraih uluran tangan itu dengan kesal. 

"Ya! Damai! Puas lo Kutil Onta!"

  ☔☔☔ 

Ramai... benar-benar ramai... 

Suara tegukkan ludah terdengar begitu jelas, mata bundar yang selalu tenang itu kini tampak membulat memerhatikan penonton dari samping panggung, bersiap-siap dengan menyandang  gitar. Radin menunduk, berulangkali mengembus napas panjang seraya mengepal kedua tangannya dengan erat. Tampak bergetar. 

Dhei menepuk bahu Radin begitu juga dengan Dimas. Dhei menyeringai, tertawa pelan. "Mampus Din, makin dingin badan lo lihat orang-orang di depan sana." 

"Kurang ajar," kutuk Radin seketika, memerhatikan kedua orang di sisi kiri kanannya dengan tajam. "Bukannya tenangin, malah makin nakutin gue. Makhluk jenis apa lo berdua?"

Sontak kedua tawa anak itu terlontar kencang berhasil membuat Radin mendesis dan percayalah ingin saja rasanya Radin menyumpal kedua mulut orang itu dengan sepatunya sekarang. Dhei merangkul bahu Radin, seraya memerhatikan kerumunan penoton dengan  percaya diri. "Lo tenang aja Din, mereka semua manusia sama kaya lo, entar pas nyanyi anggap aja itu dunia lo, lo yang kendalikan mereka bukan mereka yang kendalikan lo."

Tak ada jawaban dari Radin, sebelah sudut bibir Dimas terangkat, melipatkan kedua tangan ke atas dada. "Lagipula bakal banyak kejutan, ada bokap lo hari ini, terus ada Rein yang udah enggak sabar nunggu penampilan kita, sama..."

"Kak Winny!" Mata Dhei berbinar seketika, anak itu tersenyum cerah, mengangkat sebelah tangannya membalas lambaian tangan Winny dari kerumunan penonton. "Cewek yang lo taksir datang Din!"

Kedua mata Radin membulat, ya rasa gugupnya memang hilang sejenak, hilang lalu berubah menjadi rasa risih seperti biasanya. Entah untuk berapa puluh gadis itu terus-terusan mengikutinya.

Menyebalkan.  

___

Khusus hari ini, ak kasih video mereka manggung aja yaa 😆


Di video ini coba tebak mana Radin, Dhei sama Dimas? 😁

Thank's for reading. I hope you enjoy it! ^^

Continue Reading

You'll Also Like

2.1M 114K 53
"Lihat saudaramu yang lain! Mereka berprestasi! Tidak buat onar! Membanggakan orang tua!" Baginya yang terbiasa dibandingkan dengan saudara sendiri...
7.5K 717 68
Araya hanya ingin melewati masa SMA dengan tenang, tapi tampaknya hal itu tidak akan ia dapat dengan mudah setelah terlibat dengan 5 cowok yang diseb...
31.4K 1.2K 9
"Ada teman yang memelukmu lebih erat supaya pisaunya menancap lebih dalam" -entah siapa PRIVATE STORY # 119 dalam action # 707 dalam action # 867 dal...
3.4M 278K 47
AGASKAR-ZEYA AFTER MARRIED [[teen romance rate 18+] ASKARAZEY •••••••••••• "Walaupun status kita nggak diungkap secara terang-terangan, tetep aja gue...