Boy Under The Rain [TERBIT]

By ztywi29palestina

159K 9.3K 944

Jika kebanyakkan orang memilih badboy atau cowok famous di sekolah sebagai tokoh utama dalam ceritanya. Maka... More

PROLOG
TRAILER & CAST
1 : : HELLO!
2 : : HERO
3 : : PLAN
4 : : HATE
5 : : CARE
6 : : DECISION
7 : : HONESTLY
8 : : FAKE
9 : : WHEN I MEET THEM
10 : : SERIOUSLY
11 : : YOUR PROBLEM, MY PROBLEM
12 : : BAND
13 : : CHOOSE
14 : : IF
15 : : TRUTH OR DARE!
16 : : SIDE
17 : : PRINCE
18 : : LIKE RAIN
19 : : SILENT
20 : : WHY
21 : : SHE'S CRY?
22 : : COMEBACK
23 : : SHY
24 : : LIKE NOT LOVE (?)
26 : : REJECT
27 : : YOUR LIE
28 : : HOPE
29 : : SADNESS
30 : : MISS
31 : : I DONT CARE
EXCUSE ME
32 : : RAIN
33 : : TALK
34 : : DREAM
35 : : ABOUT LOVE
36 : : WHAT DO YOU FEEL?
37 : : SAY!
38 : : ONE TIME
39 : : LAST CLASS
40 : : LITTLE THINGS...
41 : : CALLED LOVE (?)
42 : : HEAR
43 : : SUNDAY
44 : : BOY UNDER THE RAIN
45 : : LEAVE
46 : : FAREWELL
47 : : GONE
48 : : FALSE
EPILOG
EXPART#1 : RA(D)IN WITHOUT REIN
INFO! ^^
PART 1# | WE ARE BESTFRIENDS
PART 2# | INTRO
INFO TERBIT?!
INFO TERBIT! | NB : DHEI DISURUH EMAK
HAPPY 150K : KAPAN OPEN PO?
OPEN PO!!!

25 : : MUSIC

1.5K 113 17
By ztywi29palestina

Tanpa kamu sadari hidup itu seperti mimpi, entah itu baik ataupun buruk, ia akan begitu cepat pergi.

Seperti film, ia terus berganti dari satu scene ke scene lain, kita sebagai penonton dituntut menikmati alur, dan merasakan setiap perubahan emosi kepada apa yang terjadi.

-Boy Under the Rain

...

Terima kasih telah mencintaiku,  bagaimanapun juga hal itu hanya tak terkatakan

Karena aku bahagia saat berada disampingmu

Terima kasih telah mencintaiku, mulai sekarang tertawalah dengan baik

Makanya sedikit pun aku tidak melupakannya

Kedua mata bundar Radin terpejam, memegang mic dengan erat. Tampak bergetar? Ya dulu awalnya, bahkan Dhei tertawa terbahak-bahak untuk pertama kalinya ketika Radin menjadi vokal.

Suara tegukan ludah, sesakkan napas, dan suara bergetar itu benar-benar begitu terdengar. Dan sekarang? Ya, untungnya juga Radin begitu cepat terbiasa, meskipun dengan cara memaksakan diri.

Dhei menyengir, melirik Radin dan Dimas sejenak lalu Rein di hadapannya yang tak bosan-bosan menikmati irama lagu. Gadis itu, memang fans setia nomor satu.

Tok... tok...

Suara ketukan pintu ruang musik terdengar. Semakin kuat, dan menyebalkannya lagi... Dhei mendesis, menghentikan permainan gitarnya sejenak, berhasil membuat Radin berhenti melantunkan vokalnya. Oh ayolah! Bukankah ini masih jam istirahat! Ruangan ini juga tidak ada yang menggunakannyakan!

"Din..." panggil Dhei cepat. Radin yang sedari tadi menunduk, menatapi tiang mic itu menoleh ke arah kiri, mengangkat kedua alis. "Lo bantu bukain pintu sana, lihatin siapa yang daritadi ganggu, kepo amat kayak Dora," gerutu Dhei.

"Hah?" Radin mencondongkan tubuh, setengah heran. "Kenapa gue?" 

"Karena muka lo yang paling tenang. Mana tau aja, ngelihatin lo mereka enggak jadi ngamuk-ngamuk, yah meskipun..." Dhei tersenyum tidak enak, seraya menggaruk belakang kepalanya yang tidak gatal. "Meskipun bisa jadi mereka makin kesal gara-gara ekspresi polos lo." 

"Kurang ajar," kutuk Radin pelan, terdengar datar di telinga ketiga sahabat itu. Rein tertawa pelan, begitu Dhei dan Dimas. Radin melangkah, membuka pintu ruangan musik, sontak saja kedua mata bundar itu membulat seketika memerhatikan puluhan murid yang berdiri di depan sana. Adik kelas? Ya, dari seragamnya saja dapat ditebak dengan mudah.

Anak-anak itu berdempetan, saling tolak menolak, berusaha memerhatikan dalam ruangan musik dengan penasaran. Radin mengernyit. "Kenapa? Udah bel masuk? Lo semua ada pelajaran musik habis ini?"

Serempak anak-anak itu menggeleng, tersenyum lebar. 

Kedua mata Radin mengerjap, menoleh belakang, memerhatikan ketiga sahabatnya yang berada di dalam ruangan. Seolah-olah mata bundar itu mengatakan. Tolongin gue ngapa! Jangan cengar-cengir lo pada!

Dhei tertawa pelan, lalu menggeleng. "Lo tanya aja dah sama mereka. Mau ngapain."

Radin mendesis, kembali menoleh, berdiri di ambang pintu ruangan musik. "Jadi pada mau ngapain? Oh atau jangan-jangan..." Sebelah sudut bibir Radin terangkat, memerhatikan Dhei yang cengar-cengir layaknya kuda.

Jika ditanya siapa wajah yang paling polos, maka tidak segan Radin akan menunjuk wajah seolah tidak berdosa milik Dhei itu.   

"Lo semua mau minta tanda tangan Dhei? Minta foto sama dia?" tanya Radin. 

Anak-anak itu menggeleng, mayoritas dipenuhi perempuan, sedangkan laki-laki hanya bisa dihitung dengan jari. "Kita mau lihat yang vokalnya kak!" ucap salah satu anak perempuan, dengan rambut sebahu, dan jepitan pita krim di kepalanya.

"Sama kita juga mau lihat kakak semua main. Kita dengar ini band pertama yang ada di sekolah kita," ucap anak laki-laki, yang berdiri paling belakang.   

Untuk kedua kali, mata Radin membulat seketika, perlahan membuka pintu sebelah kanan agar anak-anak ini dapat masuk tanpa harus berdesakkan. Tergagap, Radin membalikkan badan, mencengkram mic nya dengan erat, seraya menahan napas. 

"Gu..." Radin berdehem, memejamkan mata sejenak, berusaha mungkin menghilangkan rasa gugupnya. Tak lama pemilik wajah bundar itu tersenyum. "Gue vokalnya."

Sontak anak-anak itu berteriak, memerhatikan Radin setengah tidak percaya. 

☔☔☔

Dhei tertawa terbahak. Bel masuk pelajaran berdering keras, berhasil membuat murid-murid yang berada di luar kini masuk ke dalam berbondong-bondong. Radin memasang wajah datar, seraya mengetuk meja dengan jari-jarinya tanpa henti.

Dhei menyeka kedua mata, entah kenapa anak itu seolah tidak pernah kehabisan tenaga untuk tertawa. Dimas memejamkan mata, menepuk sebelah pundak Radin dengan kuat. "Yang sabar Din, ketemu makhluk kayak dia."

"Kalau enggak sabar, udah gue serahin ke museum dari kemarin Dim," gumam Radin memerhatikan langit biru yang memventangi sekolah, entah kenapa akhir-akhir ini ia merasakan cuaca berubah begitu cepat, dan disaat itu pula mata bundarnya ingin terpejam.

Suara tawaan masih saja terdengar. Mata Dhei membulat, memerhatikan Radin tidak percaya, meniru tingkah laku anak-anak di ruang musik tadi. "Serius kakak vokalnya? Ahh... aku ngefans sama kakak. Kyaa!! Enggak nyangka ya! Enggak nyangka! Padahal pendiam banget lho."

"Berisik lo Dhei," ucap Radin tak selera, meraih segumpal kertas coretan lalu melemparnya ke arah Dhei dengan asal. Berhasil membuat anak itu semakin tawa terpingkal. Terkadang Radin selalu berpikir, apakah ini saatnya ia menyerahkan Dhei ke rumah sakit jiwa terdekat?

"Bercanda gue," Dhei menyengir. Berusaha mungkin menahan tawa kembali. Namun tak lama suara  gebrakkan meja terdengar kuat, berhasil membuat anak kelas menoleh seketika.  Beruntunglah guru belum masuk ke dalam kelas sekarang.

Dimas tersentak, mendesis, membulatkan mata. "Meja gue kebelah dua aja awas lo."

"Damai damai," jawab Dhei, mengangkat jari telunjuk dan tengah bersamaan. Berhasil membuat Rein yang tadi sibuk dengan buku bacaannya menggeleng pelan.  "Gini gue punya kabar baik buat kita."

"Dora udah punya teman baru sekarang," sambung Radin datar.

"Ya enggaklah, gue serius ini," ucap Dhei berdecak, menggaruk belakang kepala. Mencoba untuk serius. "Teman bokap gue kan punya perusahaan. Jadi dia lagi buat acara."

Kedua alis Dimas terangkat, tampak tertarik.

"Nah!" Meja digebrak lagi, berhasil membuat mata Dimas membulat ganas. Dhei menyengir. "Jadi kita boleh nge-band disana! Yash!"

"Serius lo!" teriak Dimas. Menyebalkan, malah anak itu jauh lebih parah dari Dhei, bukan hanya menggebrak meja, anak itu juga bangkit, menuju bangku depan, seraya menggamit leher Dhei, mengacak rambut hitam itu dengan kuat.

"Serius backpack... aih!" Dhei menepis tangan Dimas dengan kuat. "Bisa rontok rambut gue woi! Gila lo ya! Entar kalau rontok gue jadi enggak ganteng lagi! Rein enggak suka sama gue lagi!"

Sontak Rein menoleh. Mata itu membulat seketika, menarik ujung rambut Dhei dengan kuat. Sampai-sampai anak itu berteriak, namun tak lama pula tertawa terbahak. "Dhei ternistakan Ya Tuhan."

"Aku enggak suka kamu," ucap Rein jelas.

"Iya iya ampun haduh, lepasin elah. Kasihan rambut gue," Dimas melepaskan cengkraman begitu juga Rein. Dhei meringis, tak lama mengerling jail. "Hati-hati lho Rein. Nanti ujung-ujungnya bisa suka, ya enggak Din?"

Kedua alis Radin terangkat, cowok yang tampak terduduk lemas di kursinya itu mengangguk pelan, tersenyum samar.

☔☔☔

Jam pelajaran berlangsung.

Tidak seperti biasanya, bukan karena Dhei mendadak menjadi pendiam, dan bukan pula karena Dimas tengah mencari keributan di dalam kelas. Tapi Radin...

Selama jam pelajaran tadi, cowok itu tampak terduduk lemas. Sesekali memejamkan mata drngan erat. Bahkan buku-buku yang biasanya selalu terbuka di atas meja itu kini tertutup rapat, tidak niat dibuka oleh di si pemilik.

Dimas menoleh, menyikut lengan Radin. "Din? Kenapa lo? Sakit?"

Radin membuka mata, membenamkan wajah di atas meja. "Diam-diam aja lo."

Belum sempat Dimas mengangguk, suara bass Dhei terdengar. Anak itu mengancungkan tangan. Berhasil menyita perhatian kelas.

"Ada yang tidak mengerti Dhei?"

Dhei menggeleng. Lalu menoleh belakang, mau tak mau membuat Radin mengangkat wajah. "Dhei mau izin antarin Radin ke ruang kesehatan."

Kedua mata Dimas membulat seketika, begitu juga Radin yang diam-diam mengutuki diri. Sungguh, Dhei benar-benar menyebalkan.

"Gue udah bilang, jangan diam-diam lo Din," ucap Dhei, menggamit sebelah lengan Radin ke bahunya lalu menuntun anak itu agar berjalan dengan benar.

"Ya gimana Dhei, lo juga enggak ngerti keadaannya," ucap Radin, memejamkan mata sejenak begitu bayangan hitam lagi-lagi sekelebat memenuhi pandangannya, berhasil membuat dirinya menahan napas, belum lagi dengan rasa pusingnya.

"Emang gimana keadaannya?" tanya Dhei menghentikan langkah, melepaskan sepatu, menuntun tubuh sahabatnya itu ke atas ranjang kesehatan.

Radin merebahkan tubuh. Masih memejamkan kedua matanya, berusaha mungkin Radin melonggarkan dasi, berusaha menghirup oksigen di sekelilingnya. "Ada minyak sama paracetamol? Gue butuh."

Dhei membuka lemari kaca sejenak, meronggoh obat-obatan seraya menyodorkan segelas air. "Lo sering kayak gini, tiap bulan gue lihat."

"Makanya gue bilang tadi diam-diam aja," gerutu Radin membuka mata, meneguk air itu hingga tandas. Lalu kembali berbaring, tertawa datar. "Gue malu ahaha..."

Kedua alis Dhei terangkat. "Malu?"

"Hm..." jawab Radin, memejamkan mata seraya meletakkan lengan ke atas dahi, sungguh badannya terasa lemas sekarang. Demam? Ya mungkin, apalagi mengingat cuaca yang sulit diprediksi. Panas dan hujan berubah begitu cepat.

"Gue enggak bisa kuat kayak lo sama Dimas. Tiap bulan ada aja yang buat fisik gue drop," Sebelah sudut bibur Radin terangkat, tersenyum meremehkan. "Cowok kayak apa gue, dikit-dikit tumbang, manja, negatif mulu bawaannya. Apa yang bagus dari diri gue?"

"Jangan bodoh," Dhei mendaratkan tubuh, duduk di atas sofa ruang kesehatan sejenak. "Kalau Rein ada disini dia bakal bilang, lo kuat dengan cara lo sendiri. Dan menurut gue, lo emang kuat. Mungkin bukan secara fisik tapi ada yang lebih dari itu."

Kedua alis tebal Radin terangkat. Membuka mata. "Apa?"

"Lo mandiri," ucap Dhei, tersenyum sungguh-sungguh seraya menyandarkan punggung di sisi sofa. "Lo berani hadapi ketakutan lo, bahkan lo coba buat berdamai dengan ketakutan itu, dan yah seperti lo jadikan dia teman. Meskipun butuh perjuangan juga kayaknya."

Dhei mengembus napas pamjang, menunduk sejenak. Tak lama memerhatikan sahabatnya itu kembali. "Salah Din kalau lo bilang gue kuat, gue kayak gini karena takut, gue berusaha menghindar dari ketakutan gue."

"Gue takut sendiri. Bahkan gue mikir berjuang hidup sendiri itu menyakitkan, gue enggak tahu bakal kuat apa enggak. Gue bisa hidup karena ada teman, karena ada lo, Rein, Dimas, orangtua gue. Sisanya..."

Dhei tersenyum tidak enak, mengangkat kedua bahu. "Gue enggak tahu gimana hidup gue tanpa ada kalian. Setiap gue sendiri, entah di rumah atau di mana, berusaha mungkin gue ke tempat ramai, bicara, kayak yang lo lihat sekarang."

"Gue kacau kalau sendiri, gue kayak hilang arah enggak tau mau kemana. Pernah gue mutusin buat milih hidup tanpa teman, dimana gue pengen nyerah ketika orang yang gue anggap sahabat cuma manfaatin gue aja, datang sebentar lalu hilang entah kemana."

"Menakutkan," Dhei menelan ludah, tertawa datar. "Dan untung aja, waktu itu lo ada, dan enggak tahunya ya kita akrab, lo sesuai dengan tipe sahabat yang gue mau selama ini. Selalu ada, bisa gue percaya, terima gue apa adanya."

"Ya," gumam Radin, setengah menerawang, memerhatikan langit-langit ruangan. "Gue juga berasa lebih hidup. Banyak hal yang bisa gue pelajarin sama lo."

"Keberanian, cepat ambil keputusan, dan agak menyenangkan waktu gue tahu apa harapan gue, dimana gue harus merjuangin apa cita-cita gue meskipun itu bertentangan dengan keluarga gue. Suatu hal yang positif pastinya."

"Gue bukan robot," Radin mengembus napas panjang, tersenyum samar, memejamkan mata kembali begitu rasa kantuk menguasai tubuh, meminta dirinya untuk beristirahat sejenak. "Yang datar, tanpa emosi, dan hanya mengikuti perintah."

"Gue manusia, sama kayak yang lain," gumam Radin. Tersenyum puas. "Gue harap hidup gue bakal gini terus sampai nanti."

Dhei mengembus napas puas. Bangkit dari sofa sejenak, seraya mengenakan sepatunya kembali. "Gue tinggal dulu Din. Bisa mampus entar kalau gue enggak balik ke kelas lagi."

Radin mengangguk, berterimakasih. Pintu ruangan berderit terbuka, menandakan Dhei sudah pergi meninggalkan ruangan.

Diam-diam Radin mengembus napas panjang, meletakkan kembali sebelah lengan ke atas dahinya.

Bersama Dhei, Rein, dan Dimas benar-benar membuatnya nyaman, ada rasa saling terlindungi, saling menyemangati, dan entah kenapa bersama mereka, membuat dirinya berani berharap, menaruh harapan begitu besar meskipun hanya sedikit peluang terwujudnya.

Satu harapan terbesarnya hanyalah ingin bersama ketiga orang itu, di dalam kondisi dan situasi apapun. Tanpa terpisah meskipun agak mustahil rasanya.

"Kak Win!"

Kedua alis tebal Radin menurun, dahinya mengernyit, begitu mendengar suara Dhei yang masih saja berada di ambang pintu.

Suara perempuan terdengar, dari lapangan atas, begitu nyaring. Win? Winny maksudnya?

"Radin naksir kakak!" teriak Dhei, lalu tertawa kuat.

"Kurang ajar," Sontak saja Radin mendesis, diraihnya bantal lalu menutup telinga dengan erat. Dhei gila, dan berharap saja semoga senior itu berhenti mengikutinya mulai dari detik ini.

Pintu ruang kesehatan terbuka, suara derap langkah mendekati tempat istirahatnya.

Di balik mata terpejamnya, dalam hati Radin mengutuki. Entahlah, semua orang boleh berharap, namun tak semua harapan itu dapat terwujudkan bukan?

___

Thank's for reading. I hope you enjoy it!

Up : 27.01.19

I miss my best friend like Dhei When i school, she talk like Dhei. And i always hope like Radin.

Yeah, sometimes i hope we can together, laugh, sad, happy. But, on fact?

*angkat bahu.

#sekian sesi curhatku wkwk.

Makasihh.

VOTE JANGAN LUPA PLEASE. 1 VOTE SANGAT BERARTI BUATKU. 🙏

Continue Reading

You'll Also Like

31.4K 1.2K 9
"Ada teman yang memelukmu lebih erat supaya pisaunya menancap lebih dalam" -entah siapa PRIVATE STORY # 119 dalam action # 707 dalam action # 867 dal...
38.7K 8.4K 44
Hallo, aku Bian. Balik lagi di Podcast , "Bandung tanpa kamu" Hari ini kisahku memilukan, untung Bandung tidak turun hujan. Kalau iya, pasti akan ta...
3.4M 278K 47
AGASKAR-ZEYA AFTER MARRIED [[teen romance rate 18+] ASKARAZEY •••••••••••• "Walaupun status kita nggak diungkap secara terang-terangan, tetep aja gue...
Dunia Aray By Rain

Teen Fiction

237K 17.9K 42
Dibalik ketegaran dari seorang Aray Naufal Alam. Kehilangan orangtuanya membuat hidup Aray berubah drastis, dimana dulu hari-harinya diwarnai dengan...