Boy Under The Rain [TERBIT]

By ztywi29palestina

159K 9.3K 944

Jika kebanyakkan orang memilih badboy atau cowok famous di sekolah sebagai tokoh utama dalam ceritanya. Maka... More

PROLOG
TRAILER & CAST
1 : : HELLO!
2 : : HERO
3 : : PLAN
4 : : HATE
5 : : CARE
6 : : DECISION
7 : : HONESTLY
8 : : FAKE
9 : : WHEN I MEET THEM
10 : : SERIOUSLY
11 : : YOUR PROBLEM, MY PROBLEM
12 : : BAND
13 : : CHOOSE
14 : : IF
15 : : TRUTH OR DARE!
16 : : SIDE
17 : : PRINCE
18 : : LIKE RAIN
20 : : WHY
21 : : SHE'S CRY?
22 : : COMEBACK
23 : : SHY
24 : : LIKE NOT LOVE (?)
25 : : MUSIC
26 : : REJECT
27 : : YOUR LIE
28 : : HOPE
29 : : SADNESS
30 : : MISS
31 : : I DONT CARE
EXCUSE ME
32 : : RAIN
33 : : TALK
34 : : DREAM
35 : : ABOUT LOVE
36 : : WHAT DO YOU FEEL?
37 : : SAY!
38 : : ONE TIME
39 : : LAST CLASS
40 : : LITTLE THINGS...
41 : : CALLED LOVE (?)
42 : : HEAR
43 : : SUNDAY
44 : : BOY UNDER THE RAIN
45 : : LEAVE
46 : : FAREWELL
47 : : GONE
48 : : FALSE
EPILOG
EXPART#1 : RA(D)IN WITHOUT REIN
INFO! ^^
PART 1# | WE ARE BESTFRIENDS
PART 2# | INTRO
INFO TERBIT?!
INFO TERBIT! | NB : DHEI DISURUH EMAK
HAPPY 150K : KAPAN OPEN PO?
OPEN PO!!!

19 : : SILENT

1.8K 155 4
By ztywi29palestina

Dalam diamnya kita tidak pernah tahu apa yang ada di pikirannya
Dibalik diamnya kita tidak pernah tahu seperti apa perasaannya
Senang? Bahagia? atau malah sebaliknya?

Kita tidak pernah tahu. Karena yang kutahu hanyalah, ia selalu tersenyum di dalam situasi apapun.

-Boy Under the Rain

...

Hal yang paling menyebalkan di dunia ini adalah emosi. Tidak apa jika emosi itu bersifat positif dan dapat menyenangkan orang lain maupun diri sendiri. Namun jika sebaliknya?

Secepat mungkin Radin rmmasukkan tangan ke dalam saku celana, diam-diam cowok itu mengepalkan tangan dengan erat seraya menyusuri koridor sekolah. Murid-murid saja berkeliaran, dan yah... Radin berharap bel masuk belum berbunyi daritadi.

Emosi negatif. Radin yakin semua orang memilikinya, dan jujur saja Radin tak pernah tahu apakah emosi semacam itu benar-benar baik ia rasakan atau tidak.

Mama sudah mengucapkan kalimat seperti itu dua kali untuknya, dan untuk dua kalinya pula dirinya seakan dihempas begitu kuat, seolah-olah tidak ingin hidup saja rasanya.

Terserah, Radin tak peduli sekarang, terserah jika orang-orang mengatakan diirnya lemah. Berusaha mungkin ia menepis ucapan Mama di dalam pikirannya, tapi tetap saja, bukannya hilang yang ada malah semakin memburuk.

Diam-diam Radin menelan ludah, berusaha menormalkan kembali tenggorokkan yang tercekat. Dirinya tidak bisa marah dan tidak bisa menangis. Ya, kedua orang di rumahnya itu sangat melarangnya untuk mengeluarkan emosi negatif. Apabila marah, tentu saja dirinya dibentak jauh lebih kuat, dan jika bersedih, malah jauh lebih parah.

Dirinya harus bahagia, bagaimanapun situasinya. Dan bodohnya, ia sendiri tidak mengerti apa makna kebahagiaan sesungguhnya.

Apa mungkin menahan emosi, serta  membawa beban seperti itu dapat dikatakan bahagia? Percayalah, seumur hidupnya Radin benci dengan pura-pura bahagia, dirinya benci ketika dapat terlihat begitu tenang padahal ada banyak masalah yang begitu ingin ia ungkapkan.

Radin tak pernah tahu harus berapa lama lagi dirinya hidup seperti ini.

Radin menghentikan langkah seketika, begitu sesampainya di depan pintu kelas. Dipejamnya mata sejenak, lalu mengembus napas, perlahan-lahan. Berharap saja semoga emosinya berubah mendadak baik sekarang. Melupakan omong kosong Mama yang hanya bisa menyakiti dirinya.

"Yosh! Radin!" sapa Dhei senang, mengangkat sebelah tangan. 

Kedua sudut bibir Radin terangkat, dilangkahkan kakinya menuju kelas, lalu ber-highfive ria. Mulai dari Dhei, Rein, dan Dimas. Dahinya mengernyit seketika, begitu memerhatikan Dimas yang memalingkan wajah, tampak begitu malas. 

Sebelum suasana semakin tidak enak, secepat mungkin Dhei tertawa. Entah apa yang ditertawakan Radin pun tidak tahu, mungkin Dhei mempunyai imajinasi sendiri, sebuah imajinasi yang sangat sulit dipahami manusia. Kedua alis Radin terangkat, meletakkan tas sejenak, lalu melepas jaketnya. "Ketawa kenapa?"

"Gue..." Dhei tertawa kencang, bukannya malah semakin baik, anak itu kini malah memegang perut dengan kuat, tertawa geli. Radin memerhatikan Rein sejenak, sama sepertinya, gadis itu mengernyit heran. "Gue lagi ngebayangin kucing ibu kantin pakai dress nenek gue. Panjang euy warna kuning, terus ada bunga-bunganya warna ungu."

"Pakai kacamata hitam juga!" tambah Radin cepat, tertawa kencang, sesekali memukul meja tidak berdosa di hadapannya. 

Kelas hening seketika, murid-murid yang tadinya tampak berisik menoleh ke arah Radin seketika. Jangankan anak sekelas, Dhei yang dekat saja terdiam seketika, sebelah sudut bibir Dhei terangkat, megerjapkan mata tidak percaya, memerhatikan orang di hadapannya tertawa sungguh benar-benar langka, dan tampaknya harus diabadikan di museum terdekat. 

Radin mengernyit, tawa yang sempat terlontar kencang itu terhenti seketika, memerhatikan sekeliling dengan heran. Rein tecengang begitu juga dengan Dhei, dan Dimas? Cowok itu tampak mengerjapkan mata tidak percaya sebelum kembali mengalihkan pandangan. "Kenapa?" tanya Radin, polos. 

Dhei menggeleng, cowok itu bangkit sejenak lalu menepuk sebelah bahu Radin dengan kuat, kembali dengan tawanya, begitu juga Radin. Kedua orang itu akui memang receh, namun entah kenapa terdengar lucu sekali, humor aneh dengan banyak kandungan halusinasi. Yang hanya dapat dipahami oleh makhluk-makhluk tertentu.

Radin tertawa lepas. Diam-diam kedua sudut bibir Rein terangkat senang, mata bulat berbinar itu tak henti memerhatikan Radin dengan kagum. Seperti sebelumnya, Radin seperti teka-teki, begitu banyak menimbulkan pertanyaan, namun tak pernah ada yang mengira jawaban itu dekat sebenarnya. 

Ya, mungkin jika dilihat sekilas sangat sulit menemukan selera humor anak ini, tapi siapa disangka? Jawabannya begitu dekat, sangat mudah membuat anak ini untuk kembali ceria dan melupakan permasalahannya sejenak.

Dan percayalah, meskipun dunia tidak cukup baik untuk mengabulkan setiap harapan manusia, tetapi setidaknya Rein berharap hal ini berlangsung selama-lamanya. Anak laki-laki itu hidup dalam bahagia selama-lamanya.

☔☔☔

Jangan terlalu berharap, dan jangan terlalu bahagia.

Radin menunduk, fokus dengan buku tugas di hadapannya. Cukup lama menunggu bel masuk berdering. Mungkin suatu anugerah bagi anak-anak di sini, sudahlah masuk lambat, ketika jam pelajaranpun guru hanya memberikan tugas lalu pergi entah kemana.

Meskipun soal yang diberikan cukup banyak tetapi setidaknya bisa dikerjakan bersama-sama, dan dapat mengadakan ritual nyontek massal.

Radin memghentakkan pena ke atas meja, seraya mengembus napas lega, merenggangkan tubuh. "Selesai."

Rein yang duduk berhadapan dengan Radin juga menutup buku, sementara Dhei? Mata anak laki-laki itu membulat, tampak tersiksa dengan soal sastra di hadapannya. "Cara ngencerin otak gimana Ya Tuhan, apa harus gue blender dulu kali ya?" gerutu Dhei seraya membenamkan wajah di atas meja.

"Seram tahu Dhei," balas Rein, cewek itu menunduk. Usai dengan tugasnya kini malah asyik membuat ilustrasi di buku coretannya.

Tak sabar lagi, Dhei menyambar buku tugas Rein, membolak baliknya. Berhasil mendapat pukulan bertubi dari tangan kecil Rein. "Dhei! Kamu usaha sendiri! Jangan lihat jawaban aku dul..."

"Rein," Belum sempat Rein menyelesaikan ucapan. Suara bass Dhei seolah terdengar serius. Rein mengernyit, memerhatikan objek yang tengah ditunjuk Dhei.

Radin dan Dimas. Seperti biasa, hawa dari bangku belakang itu memang selalu terasa tidak menyenangkan. Entah kenapa seperti ada masalah namun seperti tidak pernah terselesaikan. Sungguh berbeda dengan bangku depan, yang terlihat menyenangkan meskipun dipenuhi pertengkaran gila antara Rein dan Dhei setiap harinya.

Radin menhaan napas, duduk diam di bangkunya. Meskipun pikirannya tadi sempat teralihkan dari masalah, entah mendadak hal menyebalkan itu muncul kembali, kalimat menyusahkan selalu terngiang di dalam otaknya. Belum lagi ditambah dengan Dimas, yang tak pernah Radin tahu selalu bersikap seperti tidak senang kepadanya.

Dimas melirik Radin dengan tajam, perlahan cowok itu tersenyum sinis. "Ada masalah lo?" tanya Dimas mengangkat sebelah alis, meremehkan. Entahlah tiba-tiba saja bersikap tidak menyenangkan.

Selalu seperti itu.

"Tidak," jawab Radin, diam-diam mengepalkan tangan dengan erat, berusaha mungkin terlihat tenang. "Sama sekali tidak."

"Jadi anak tunggal enggak pernah ada masalah," ucap Dimas, memgalihkan pandangan, fokus dengan buku soal di hadapannya. "Enak jadi lo. Cuma lo yang satu-satunya yang diperhatikan keluarga, cuma lo satu-satunya yang diprioritaskan, enggak ada orang lain."

Perlahan Radin membalas lirik, kedua mata bundar itu menyipit seketika, begitu merasakan ada rasa tidak menyenangkan menghantui tubuhnya. Seperti sesak, dan geram dalam waktu yang bersamaan.

"Manja," Dimas tertawa datar, terdengar begitu pelan. "Lo bisa bergantung dengan siapapun ketika lo ada masalah, mereka dengan senang hati bakal nerima lo. Lo enggak pernah dibanding-bandingin, ketika lo melakukan kesalahan lo seakan-akan begitu cepat dimaafin."

Sekali lagi Dimas tersenyum sinis, menggeleng pelan, setengah menyindir anak di sampingnya. "Anak Papa Mama."

Brakk!!

Sontak meja digebrak dengan kuat, berhasil membuat Rein tersentak, begitu juga dengan anak sekelas menoleh seketika. Kedua mata Radin membulat seketika, habis sudah, anak itu kini kehilangan kesabaran.

Gigi Radin menggertak geram. Dapat dilihat dadanya seakan naik turun, menahan sesak yang terus saja memburu. "Siapa yang bilang kayak gitu hah!!" bentak Radin tak tahan lagi.

Dimas menoleh, bangkit, membalas tatapan itu tak kalah tajam. "Fakta."

Dhei menahan ludah, memerhatikan dua orang di hadapannya sejenak. "Din, tahan emosi lo."

Nihil, Radin tidak mendengar. Rahang anak itu tampak emngeras, tanpa basa-basi lagi mencengkram kerah baju Dimas dengan erat lalu mendorong cowok itu ke belakang tanpa ampun, tak peduli entah menabrak meja atau kursi.

"Siapa yang bilang jadi anak tunggal enak! Siapa yang bilang gue enggak punya masalah!  Siapa yang bilang kalau jadi anak tunggal bakal dapat perhatian sepuasnya!" tanya Radin sekali lagi, kedua mata bundar itu perlahan tampak memerah, tak ada lagi sorot tenang, seperti biasa yang dipancarkan anak itu.

Dimas mengangkat dagu, menantang, membalas cengkram kerah baju anak itu lalu mendorongnya ke belakang hingga membentur dinding belakang kelas. "Gue, ngapa?"

"Sial!" Sontak saja kalimat itu keluar dari mulut seketika, tanpa bisa dikendalikan lagi gepalan tangan Radin sontak menghantam pipi Dimas dengan kuat, berhasil membuat anak laki-laki itu terhuyung, melepaskan cengkramannya dari kerah baju Radin.

"Radin!" Dhei bangkit, menahan tubuh anak itu, berusaha mungkin anak itu ingin memukul Dimas lagi. Radin menggeram, tubuh anak itu bergerak tak tentu arah seakan meminta dilepaskan. "Dhei lepasin gue," ucap Radin datar, enggak sabar.

"Tenang Din," bisik Dhei, berharap saja semoga Radin mendengar.

Dan sudah diduga melihat Radin yang kalap seperti ini rasanya percuma saja. Kedua mata Radin membulat, memerhatikan Dimas yang berusaha berdiri tegap beberapa langkah darinya. "Lo pikir hidup dalam sepi itu enak hah?!"

"Orangtua gue sibuk! Kalau mereka punya masalah gue seakan-akan jadi tempat pelampiasan mereka! Tanggungjawab gue jauh lebih besar dibandingkan anak-anak lainnya! Dan kalau lo bilang gue manja..."

Sebelah sudut bibir Radin terangkat, berusaha mungkin cowok itu menggeliat berusaha melepaskan tubuhnya dari cengkraman Dhei, namun nihil, ingin rasanya Radin mengutuki kenapa Dhei begitu kuat dibandingkannya, apalagi di saat seperti ini.

"Lo salah bego!" bentak Radin, kuat. "Disaat lo punya kakak atau adik yang bisa lo ajak cerita, gue malah sebaliknya! Kalau lo bilang gue bisa lampiasin semua masalah gue, lo salah!"

"Hidup sendiri! Nanggung beban sendiri! Semua lo lakukan sendiri! Dan itu lo bilang manja hah!" Napas Radin semakin memburu, dada itu naik turun dengan cepat, berhasil membuat pemiliknya merasa sesak sekarang. "Lo enggak boleh marah! Lo enggak boleh sedih atau semacamnya! Itu yang lo bilang bahagia!" tanya Radin tak sabar.

Dimas diam seketika, cowok itu berdiri tegak, tanpa melakukan perlawanan, maupun membalas kalimat Radin.

"Kalau lo bilang gue enggak pernah dibanding-bandingin, lo salah! Gue sering dibandigin sama anak teman nyokap gue! Saudara-saudara gue! Sering Dim!"

"Dan soal kesalahan..." Kedua tangan Radin tergepal erat, tubuh itu seakan sudah kembali tenang, dan bisa dikendalikan. Sebelah sudut bibir Radin terangkat, mungkin sekilas seperti senyunan sinis.

Namun bagi orang terdekat entah kenapa senyuman itu terasa miris, seolah mengejek serta merendahkan diri sendiri. "Ketika lo berbuat salah dengan orangtua lo, entah kenapa rasa bersalah itu dibawa seumur hidup."

Lelah dimakan emosinya, secepat mungkin Radin menepis tangan Dhei yang menahan tubuhnya. Digebraknya meja dengan kuat sebelum berjalan keluar kelas, menemukan suasana tenang yang bisa memulihkan tenaganya.

Anak sekelas mengerjap, tampak tidak percaya. Dari bangku depan tampak Rein menunduk seraya mencengkram buku tulisnya dengan erat, dan tak jauh dari Dhei?

Dhei menoleh, memerhatikan Dimas yang hanya berjarak beberapa langkah darinya. Cowok itu terdiam, mengerjapkan mata seketika, lalu memerhatikan Dhei.

Dhei berjalan mendekat, memasang wajah datar. "Gue harap lo dengar baik-baik ucapan Radin tadi."

☔☔☔

Thank's for reading! I hope you enjoy it! ^^

Continue Reading

You'll Also Like

5.2K 338 22
berbait elegi, yang diciptakan oleh kesepian. Suatu saat kata ini akan kau temui; "no matter to being alone" Copyright by © rachel keenan 2020
18M 1.3M 69
⚠️FOLLOW SEBELUM DIBACA ⚠️ [Bijak dalam berkomentar dan hargai karya penulisnya, follow sebelum di baca] _________________________________________ Ai...
144K 11.2K 29
"Mana yang lebih tak tersentuh? Bersembunyi di balik sikap ketusmu itu atau berpura-pura bahagia dengan topeng kepalsuanku?" Hanya karena sebuah taru...
8.2K 1.5K 23
Qanaya Isyraqi, perempuan manis berambut lurus sebahu dan kulit kuning langsat, harus berhadapan dengan laki-laki bernama Muhammad Dandy. Dandy berke...