Boy Under The Rain [TERBIT]

By ztywi29palestina

159K 9.3K 944

Jika kebanyakkan orang memilih badboy atau cowok famous di sekolah sebagai tokoh utama dalam ceritanya. Maka... More

PROLOG
TRAILER & CAST
1 : : HELLO!
2 : : HERO
3 : : PLAN
4 : : HATE
5 : : CARE
6 : : DECISION
7 : : HONESTLY
8 : : FAKE
9 : : WHEN I MEET THEM
10 : : SERIOUSLY
12 : : BAND
13 : : CHOOSE
14 : : IF
15 : : TRUTH OR DARE!
16 : : SIDE
17 : : PRINCE
18 : : LIKE RAIN
19 : : SILENT
20 : : WHY
21 : : SHE'S CRY?
22 : : COMEBACK
23 : : SHY
24 : : LIKE NOT LOVE (?)
25 : : MUSIC
26 : : REJECT
27 : : YOUR LIE
28 : : HOPE
29 : : SADNESS
30 : : MISS
31 : : I DONT CARE
EXCUSE ME
32 : : RAIN
33 : : TALK
34 : : DREAM
35 : : ABOUT LOVE
36 : : WHAT DO YOU FEEL?
37 : : SAY!
38 : : ONE TIME
39 : : LAST CLASS
40 : : LITTLE THINGS...
41 : : CALLED LOVE (?)
42 : : HEAR
43 : : SUNDAY
44 : : BOY UNDER THE RAIN
45 : : LEAVE
46 : : FAREWELL
47 : : GONE
48 : : FALSE
EPILOG
EXPART#1 : RA(D)IN WITHOUT REIN
INFO! ^^
PART 1# | WE ARE BESTFRIENDS
PART 2# | INTRO
INFO TERBIT?!
INFO TERBIT! | NB : DHEI DISURUH EMAK
HAPPY 150K : KAPAN OPEN PO?
OPEN PO!!!

11 : : YOUR PROBLEM, MY PROBLEM

2.6K 166 20
By ztywi29palestina

Enggak semua masalah bisa diselesaikan dengan hanya dipendam. Adakalanya seperti sampah, sesekali harus dibuang. Ketika masalah itu terus ditumpuk, maka akan membusuk, dan menyakiti si pemiliknya.

-Boy Under The Rain

...

Sepi. Benar-benar sepi.

Kedua mata bundar Radin mengerjap memerhatikan sekeliling ruangan yang tidak terlalu besar itu. Sungguh seperti terasa asing, hanya ada dirinya, Dhei, dan beberapa alat musik di ruangan ini. Sedangkan Rein? Ya, berusaha mungkin Dhei merancangkan begitu banyak kata agar gadis itu keluar sejenak, tanpa ada niat mengusir gadis itu secara kasar tentunya.

Dhei yang tadi berdiri, kini mendaratkan tubuh. Duduk di samping Radin. masih terlihat serius. "Lo benar enggak ada masalah?" tanya Dhei, tanpa menoleh ke arah samping.

Radin mengernyit, lalu menggeleng, tersenyum tenang. "Enggak."

Dhei tertawa datar, diam-diam cowok itu menerawang, mengutuki Radin di sampingnya. Bodoh! Ingin sekali ia berteriak sepuas-puasnya di hadapan cowok itu. Radin benar-benar bodoh. Memang wajah bundar itu terlihat tenang, memang jika dilihat sekilas seperti tidak ada masalah. Tapi faktanya?

Percayalah, Radin tak cukup pintar untuk menipu orang seperti dirinya. Sebelah sudut bibir Dhei terangkat seraya menggeleng pelan. Bagaimanapun juga, dulu dirinya pernah bersikap seperti Radin. Terlihat tenang, namun menyimpan rasa sepi yang amat sangat.

Ketika beberapa tahun lalu, disaat semua orang yang ia mulai anggap berharga perlahan meninggalkannya.

Mungkin bukan keluarga, tetapi lebih terikat dengan pertemanan. Disaat ia sudah memercayai seseorang sebagai sahabatnya, maka sudah dipastikan tidak butuh waktu yang lama untuk menghancurkan harapan itu. Di saat seseorang yang dianggapnya berharga telah memiliki teman yang baru, maka dirinyalah yang dibuang.

Dan saking bodohnya lagi, dirinya seolah-olah pernah dianggap layaknya pengemis. Memohon, memaksakan diri untuk berteman padahal orang itu sudah tidak lagi menganggapnya lagi sebagai teman.

Ya! Hanya orang asing semata! Dan Dhei berharap, Radinlah orang yang tepat, yang tidak akan mengecewakannya untuk kesekian kalinya.

"Lo masih ingat waktu awal kita temanan?" tanya Dhei, mencondongkan tubuh, untuk kesekian kalinya tanpa menoleh ke arah Radin, cowok itu menautkan jari-jarinya dengan erat, menahan emosinya.

Radin mengangguk. "Ingat."

"Jangan sahabatan sama gue," Dhei tersenyum sinis, melirik Radin sejenak. Tubuh itu bergerak seakan tampak tidak tenang. Terasa risih mungkin ketika ia mengatakan hal seperti ini. "Kalau lo mau tahu aja, gue sebenarnya enggak ada niat bercanda waktu itu."

Dengan duduk menegak, diam-diam Radin mengepalkan kedua tangannya dengan erat. Terasa begitu dingin, bukan hanya tangan begitu juga kaki. Radin menoleh, wajah itu mendadak pucat seakan-akan baru saja menghadapi ketakutan terbesarnya. "Kenapa?"

"Takut gue punya ide gila, mau balas dendam terus ninggalin sahabat gue yang sekarang tiba-tiba," ucap Dhei langsung. Namun tak lama suara bass tertawa, memukul lengan Radin dengan kuat begitu melihat wajah bundar itu berubah semakin muram. "Gue bercanda. Gue enggak sebodoh itu."

Radin tertawa datar, dalam hati mengatakan humor Dhei benar-benar tidak lucu baginya.

"Gue jera aja," Kedua sudut bibir Dhei terangkat tipis, seraya memandang gitar listrik putih yang berdiri di sudut ruangan. "Gue terlalu gampang anggap seseorang jadi sahabat, dan yah... gue juga sering dikecewakan. Orang yang pernah gue anggap sahabat biasanya teman sekelas gue, dan setelah mereka pindah kelas, gue dilupain gitu aja."

Sebagai reaksi, Radin mengangguk. Mengerti.

Dhei menoleh, mendadak kedua mata bulat itu menyipit tajam, memerhatikan Radin dengan sinis. Seandainya saja ia bisa, sungguh dirinya ingin Radin merasakan apa yang ia rasakan sekarang.

Mungkin cowok dengan wajah bundar itu boleh saja panik karena kehilangan surat keputusannya. Tapi Dhei? Dalam hati Dhei mengutuki, Radin tak pernah tahu, semenjak dirinya berdiri di depan ruangan guru, semenjak ia diam-diam mendengar pembicaraan itu, sungguh rasanya ia tak pernah tidur nyenyak.

Abaikan kenangan buruk di masa sekolah dulu yang sudah pasti menghantuinya, sungguh jika saja Dhei boleh mengakui, ini terakhir kalinya ia mencoba menganggap seseorang sebagai sahabat, dan jika Radin menghancurkan sama seperti orang-orang tidak bertanggungjawab itu...

Seumur hidup, Dhei tak akan ingin mengenal kata sahabat. Biarkan saja humornya hilang, biarkan saja dirinya tidak ceria seperti ini, dan na'as dirinya berpikiran biarkan saja ia sendiri. Mungkin menyakitkan, tapi setidaknya terasa lebih baik. Tidak dikecewakan kembali.

"Gue mau lo berdiri bentar Din," suruh Dhei datar.

Radin mengernyit, namun tak dipungkiri pula cowok itu bangkit dari tempat duduknya, begitu juga Dhei.

Brugh!

Sontak Radin termundur beberapa langkah. Memang bukan pukulan yang menghantam wajahnya, dan tidak menimbulkan luka seperti pukulan lainnya. Hanya dibagian pundak, begitu pelan, namun entah kenapa tubuh tunjang itu tidak berhasil menahannya.

Dhei menyipitkan mata, cowok itu maju beberapa langkah, membuat Radin mundur bersamaan. Dhei menggeram, memerhatikan sahabatnya itu setengah marah. "Ini pertanyaan gue untuk yang kesekian kali, lo ada masalah?"

Radin menggeleng. Dan na'as Dhei yang Radin lihat sekarang sedikit berubah, mungkin memang benar dengan buku yang dibacanya, jangan mengganggu orang yang pendiam dan penuh dengan humor begitu sering, jangan terlalu menyinggung, jika hal itu terjadi maka siap-siaplah...

Seperti bukan lagi si pendiam maupun si humor yang dikenal. Malah manusia itu bisa menjadi sebaliknya, tampak menyeramkan.

Radin tertawa datar, berusaha menhaan langkah Dhei benar-benar mengancam zona tenangnya. "Lo kenapa Dhei?"

Brugh!

Berkali-berkali Dhei memukul pundak itu kanan kiri, namun nihil tak ada balasan dari Radin, tubuh coowk yang tampak limbung itu seperti tidak memiliki emosi. "Balas pukulan gue, bego!"

Radin yang termundur beberapa langkah, mengernyit, masih tampak tenang. "Untuk apa?"

"Balas!" teriak Dhei membulatkan mata. Tentu saja dibalas dengan gelengan oleh Radin.

Tak sabar lagi, sontak Dhei mencengkram kerah baju Radin dengan erat, diangkatnya sebelah lengan berusaha mencoba memukul wajah bundar itu. Tapi...

Radin memejamkan mata, entah satu keuntungan atau bukan, dapat Radin rasakan cengkraman itu melongggar seketika. Dhei menggeram, mendorong tubuh Radin dengan kuat. "Lo anggap gue sahabat atau bukan hah?!"

Radin membenarkan bajunya, tak lama menelan ludah, mengangguk. Tampak Dhei lihat ada sedikit ragu di balik mata bundar itu.

"Kalau lo anggap gue sahabat, jangan pendam masalah lo sendiri, bego!" Rahang Dhei mengeras, diambilnya kertas berwarna putih dari saku celana, lalu setengah membantingnya ke arah Radin dengan kasar.

Radin terdiam seketika, cowok itu menunduk, menahan napas.

"Itu yang lo bilang enggak ada masalah!" teriak Dhei. Tak lama cowok itu tersenyum sinis, tak habis pikir dengan jalan pikiran Radin. "Surat pindah jurusan! Lo diam-diam sama kita semua, dan tiba-tiba..."

Sebelah alis Dhei terangkat tersenyum meremehkan. "Lo pindah kelas, pindah jurusan? Lupain kita-kita?"

"Gue..." Belum sempat dirinya berbicara, dapat Radin dengar lagi-lagi Dhei berteriak ke arahnya, menyudutkannya. Diam-diam Radin menggeram, tak cukup di rumah dirinya tak tenang, dan Dhei yang sekarang menciptakan suasnaa menyebalkan ini.

"Lo pikir lo bakal baik-baik aja dengan sikap lo? Tenang! Diam! Lo pendam semua masalah lo!" ucap Dhei geram. "Sebagai sahabat, jujur aja gue sendiri merasa diasingin dengan sikap lo."

Kedua tangan Radin tergepal erat, membalas tatapan Dhei dengan tajam. "Gue cuma enggak mau bebanin lo semua!" bentak Radin tak tahan lagi.

"Cukup di rumah gue gila sama semuanya! Cukup masalah gue di sana! Gue cuma mau tenang! Gue capek dihadapin sama masalah dimana-mana!" ucap Radin, membulatkan mata. Mendadak rasa sesak yang sedari tadi ditahannya diam-diam kini seolah meluap seketika, menyakitinya lagi dan lagi.

"Gue pengen senang sama lo semua! Gue pengen tahu gimana rasanya jalanin hidup kayak orang normal! Punya sahabat! Punya mimpi yang bisa lo raih dengan persetujuan orangtua lo! Dan gue pengen dianggap ada! Bukan diasingin, dilupain, cuma sekedar bayangan di luar sana!"

"Tapi..." Tersadar dengan emosinya yang tadi semakin memuncak, secepat mungkin Radin tertawa datar, mengepalkan tangan, berharap dapat meredam rasa sakit di bagian dalam tubuhnya sejenak.

Namun nihil, bukannya dapat memendam, yang ada malah sebaliknya. Segala masalah yang memberatkan tubuhnya seolah-olah menuntut untuk dikeluarkan, seluruh masalah itu seperti mengaburkan akal sehatnya seketika dan menuntut dirinya untuk melepaskan semua, menceritakan seluruhnya.

"Untuk orang kayak gue mustahil," gumam Radin pelan, menunduk, menerawang jauh. "Gue enggak bisa kayak lo semua, meskipun pura-pura senang, gue enggak bisa merasakan arti senang sesungguhnya. Meskipun gue punya mimpi setinggi-tingginya tetap saja mimpi gue dihempas, begitu kuat, menyadarkan gue enggak ada gunanya buat gue punya mimpi sama harapan yang besar."

"Lo pintar tapi bodoh," Dhei menghela napas panjang, cowok itu merunduk sejenak, meraih kertas yang ia lemparkan dengan kasar, lalu menyodorkannya ke arah Radin dengan kedua alis terangkat. "Apa gue harus jadi orang gila dulu supaya lo bisa jujur sama diri lo sendiri?"

Radin tersenyum samar, menggeleng. Enggan mengambil kertas itu kembali dari tangan Dhei, jika saja bisa, ingin ia meminta anak itu agar memusnahkannya sekarang.

Kedua sudut bibir Dhei terangkat, anak itu tertawa pelan lalu memukul sebelah pundak Radin dengan kuat. Hebat, tidak limbung, mendadak saja pukulannya bisa ditahan anak itu.

Dhei melirik jam sejenak. "Masih ada dua jam buat lo cerita semuanya sebelum pulang. Dan kayaknya, selain gue, ada satu orang lagi yang mau dengar semua cerita lo."

Mendadak kedua mata bundar itu mengerjap, memerhatikan Dhei dengan heran. Di ruangan ini hanya ada dirinya dan Dhei saja bukan? "Siapa?"

Dhei tersenyum puas, meraih gitar di sudut dinding, lalu merangkul bahu Radin mengajak cowok itu duduk di karpet biru. Ya, sebagai alas lantai ruangan musik tersebut.

"Rein!" panggil Dhei kuat, berhasil membuat suara bass itu terdengar hingga melalui celah pintu yang tampak sedikit terbuka. "Gue tahu lo nguping dari pintu sana."

Institusi Dhei selalu benar, kedua mata Radin mengerjap, entah mengapa mendadak saja ia melupakan kata-kata itu disaat penting.

Suara deritan pintu terdengar, tampak gadis itu menyelipkan kepala, seraya menggenggam novel di tangannya erat. Menatap kedua orang itu dengan pandangan bersalah. "Maaf."

Kedua sudut bibir Dhei terangkat, belum sempat cowok itu berbicara. Radin sudah terlebih dahulu mengangguk tegas.

☔☔☔

Baru Radin tahu, ternyata waktu dua jam tak cukup efektif untuk bercerita di ruang musik. Mungkin efektif bagi dirinya yang tidak terlalu memikirkan soal perut. Meskipun lapar, terdengar berbunyi, tetap akan ia abaikan.

Namun untuk Dhei dan Rein?

Radin menunduk, menusuk bakso dengan garpu di tangannya. Beruntunglah Dhei tidak memaksakan dirinya makan banyak kali ini.

Hanya seporsi bakso koosng cowok itu tanpak menerima. Jika tidak, maka Radin sudah pastikan, di situasi dan kondisi diri yang tidak baik ini, makanan itu tidak akan bisa mendarat mulus ke dalam perutnya.

Dhei menunduk, fokus pada makanan. Dapat dilihat, cowok itu berusaha menelan makanannya susah payah. "Jadi, lo benaran bakal pindah jurusan?"

"Belum tahu," ucap Radin tersenyum samar, ditatapnya Rein yang tengah duduk di sebelahnya lalu Dhei yang berada di seberang. "Disisi lain gue enggak mau, ada hal yang mau gue capai, begitu berharga. Tapi disisi lain..."

Radin memiringkan kepala. "Nyokap gue enggak setuju. Ya lo tau sendiri, jalanin hidup tanpa restu dari nyokap juga bakal susah, jalan lo bakal terhambat."

Diam-diam baik Dhei maupun Rein menyetujui ucapan itu. Sudah resiko anak-anak jurusan tidak populer, bukan hanya dianggap layaknya jurusan buangan oleh warga sekolah itu sendiri, tapi tak banyak pula orangtua sendiri yang menganggapnya sama.

Kebanggaan, derajat, dan prestise. Seolah-olah hal yang patut dijunjung tinggi dalam setiap jalan hidup.

"Hal apa yang pengen lo raih?" tanya Dhei, serius.

"Sederhana," jawab Radin. Meneguk air mineralnya sejenak. Entah kenapa mata bundar itu tampak berbinar, terlihat begitu semangat ketika menyebutkan harapannya.

Dhei terenyum sinis, baguslah.

"Nyokap pengen gue berada di jurusan yang bagus, yang bikin hidup gue terjamin. Mulai dari sekolah sampai gue kuliah, supaya gue dapat prospek kerja yang bagus kayak dia."

Rein yang tadi fokus dengan makanannya kini menoleh. "Sibuk?"

"Sangat sibuk," jawab Radin tertawa datar, meneguk airnya kembali begitu rasa sesak lagi-lagi menghantamnya tanpa ampun. "Tapi gue enggak mau jadi orang yang kayak nyokap ke depannya. Gue enggak mau jadi orang sibuk yang yah..."

Kedua bahu Radin terangkat. "Sampai memprioritaskan pekerjaan yang paling utama daripada keluarga. Jadi gue punya satu kesimpulan."

"Apa?" tanya Dhei dengan kedua alis terangkat. Berusaha mungkin bersabar dengan cerita cowok itu yang terdengar berbelit.

Radin tersenyum sinis. "Seandainya dengan menjadi pekerja bisa membuat nyokap bokap gue sibuk. Maka gue mau jadi orang yang membangun suatu pekerjaan. Gue enggak tahu sih benar apa enggak, tapi setidaknya dengan cara itu yah... gue pengen keluarga gue kayak dulu. Gue pengen sekali aja setidaknya ngelihat bokap nyokap gue istirahat."

"Selain itu, gue milih masuk jurusan Bahasa yah, buat perbaiki diri gue juga. Gue memang bisa nyerap banyak pelajaran, matematika, ekonomi. Tapi gue paling payah dalam bicara, utarakan pendapat gue, dan buat jadi orang sukses juga butuh soft skill kan?"

Rein mengangguk, begitu juga Dhei.

"Kalau gitu lo enggak usah pindah," simpul Dhei, memasukkan satu bakso kecil ke dalam mulutnya lalu mengunyahnya dengan cepat. "Kejar aja impian lo selagi bagus. Yang ngerti kelebihan sama kekurangan itu cuma lo. Yang belajar kan lo. Orang dewasa enggak bakal ngerti apa yang ada dipikiran anak-anak."

Radin mengembus napas panjang, mengangguk. "Dan mungkin hubungan gue sama nyokap gue bakal makin dingin."

Dhei tertawa pelan, cowok itu tersenyum jail, seraya mengambil sebalok es di gelas lalu melemparnya ke arah Radin. Berhasil membuat wajah yang tertunduk itu kini menoleh. "Lo tenang aja, lo enggak sendirian disini. Gue, Rein, Dimas, sama satu anak kelas lainnya pasti pernah ngalami masalah kayak lo."

Radin mengernyit. Seolah tidak yakin.

Dhei mengangguk yakin, lalu melirik Rein. "Ya kan Rein?"

Rein mengangguk. Cewek itu menyesap minumannya sejenak, seraya tersenyum senang. "Makanya itu, kamu harus cerita, jangan dipendam sendiri lagi, oke?"

Radin menggumam, kedua alis tebal itu tampak terangkat sejenak, memerhatikan Rein maupun Dhei dengan seksama. Kedua orang itu tampak sungguh-sungguh, entahlah mendadak saja ada perasaan lain yang menghantuinya sekarang. Bukan cemas, bukan lagi terasa kacau, dan sepi. Melainkan ada rasa nyaman dan... saling terlindungi?

Perlahan Radin menyengir, lalu mengangguk senang.

☔☔☔

I'm feel shy now :"

Apalagi waktu lihat postingan Radin di ig 😂. Kunjungi ig Radin ya... @radin_anggana. Spam aja enggak bakal marah dia 😂😂😂 *otwditabokRadin.

Dhei : thor thor, wattpad channel punya Dhei mana?

Author : lagi tutup Dhei. Entar author buatin lagi :v

Dhei : :( Nanti penonton enggak bisa tahu kegantengan Dhei thor. Kasihan, Dhei ganteng, sayang untuk disia-siakan. :(

Author : Masih jadi misteri, sebenarnya Dhei itu imut atau sok imut? :" comment please.

Continue Reading

You'll Also Like

7.5K 718 68
Araya hanya ingin melewati masa SMA dengan tenang, tapi tampaknya hal itu tidak akan ia dapat dengan mudah setelah terlibat dengan 5 cowok yang diseb...
456K 77.6K 35
Teenfiction/Mistery Jonathan, kakak kembar Joshua itu cukup aneh. Gelagatnya seperti ada maksud lain. Sungguh tidak biasa melihat laki-laki yang kak...
ARSYAD DAYYAN By aLa

Teen Fiction

1.8M 94.9K 55
"Walaupun وَاَخْبَرُوا بِاسْنَيْنِ اَوْبِاَكْثَرَ عَنْ وَاحِدِ Ulama' nahwu mempperbolehkan mubtada' satu mempunyai dua khobar bahkan lebih, Tapi aku...
3.4M 278K 47
AGASKAR-ZEYA AFTER MARRIED [[teen romance rate 18+] ASKARAZEY •••••••••••• "Walaupun status kita nggak diungkap secara terang-terangan, tetep aja gue...