About Barra 2 [TAMAT]

By najeealee

27K 2.2K 452

Kembali lagi bertemu dengan pria dingin Barra Sebastian Alexander dan perempuan yang selalu ceria, siapa lagi... More

6 November 2020
berbeda dari yang lain
pinter katanya
hamster baru
penguat
cuma sama Alisha
'sha'
12 panggilan
sakit
cemburu ceritanya
kupu-kupu
soal Biel
baikan sama Maudy!
tunangan Biel
nama kontak
pingsan beneran
kelas akselerasi
pasti ada alasannya
marahan
ala Barra
the reason is
perkara i love you
ape nih...
cara Barra
bukan Barra
see you Kevin!
keluh kesah
jangan ambil punya aku
quality time!!
perkara foto
kecelakaan
resikonya
overthinking
ribut lagi ribut lagi
disalahkan, lagi
putus....?
bagi capenya
gagal
pinjem peluk
lucuan kue Barra
barra's effort
kura-kura
who?
lagi jenuh katanya
kejutan-kejutan pertama
terlalu semangat
beberapa fakta lainnya
first meet
masa lalunya (?)
fakta sebenarnya
rahasia pertama
rahasia kedua
deep talk
juara dua
Barra saying 'sayang'
Alisha mode PMS
Barra ngilangin gengsi
tiba-tiba?
semua punya alasannya
gelang edelweis
after broke up
it's too hard
let her go
acara kelulusan
alasan kuliah di Berlin
Gabriel and Ferra's wedding
keberangkatan Barra
memperlambat perpisahan
time flies
a letter from Alisha
setelah enam tahun
Nanda, si masih sama
reuni
satu kantor
satu apartemen
ketemu bunda!
kebongkar
rahasia berikutnya
the only truth 1
the only truth 2
Kavindra
istirahat ya
kembali
masih ada?
pdkt beneran
lahir kembali+Maudy's wedding
pemenangnya
dua minggu pertama
deep talk #2
pulang kepada-Nya
pemakaman
Maudy's Pregnant
fiancé
finally, the ending
extra part
iklan

dibalik gagal dinner

222 23 4
By najeealee


Kenapa sih ya...

Disaat kita terlalu mengharapkan sesuatu dan berharap sesuatu itu akan berjalan seperti ekspetasi kita, tapi malah sebaliknya. Dan kadang, sesuatu yang kita ngga harapin sama sekali, malah berjalan baik?”


"Udah dong, Al. Ini udah mau satu jam kamu nangis" kata mamah yang menemani Alisha sampai matanya mengantuk dan sesekali menguap.

Alisha mengelap hidungnya yang kemerahan karena menangis, make up nya luntur, moodnya jelek. "Aku udah rapih mahh...aku beli baju pake uang aku, ke salon, aku semuanya...."

Tiara mengelus rambut anaknya. "Besok ditanya, ada apa ya? Udah sekarang bobo, besok harus sekolah bangun pagi" ucapnya membuat Alisha berhenti menangis.

"Lap dulu make upnya ya. Mamah ambilin air sebentar,"

Alisha menatap dirinya di cermin. Satu jam lalu ia merasakan kalau dia perempuan paling beruntung, satu jam lalu ia melihat dirinya di cermin dengan senyuman, tapi sekarang? Ini sangat menunjukkan bahwa kita tidak pernah tau apa yang akan terjadi.

Ia menghapus make upnya dengan air mata yang keluar sesekali. Mengganti bajunya dan menaruh asal.

Tiara kembali dengan segelas air minum dan cemilan karena anaknya belum makan. Ditaruhnya nampan itu di meja. Ia mengelus rambut anaknya. "Udah gapapa. Tidur sekarang ya? Besok mamah tambahin uangnya yang beli dress" kecupan mendarat di kening Alisha. Lalu mamahnya pergi.

Kenapa sih ya...

Disaat kita terlalu mengharapkan sesuatu dan berharap sesuatu itu akan berjalan seperti ekspetasi kita, tapi malah sebaliknya? Dan kadang, sesuatu yang kita ngga harapin sama sekali, malah berjalan baik?

Alisha tau Barra punya alasan kenapa membatalkan secara sepihak. Tapi kenapa.... Kenapa ngga bilang dari sore? Kenapa baru chat pas Alisha udah siap sama semuanya? Bohong banget kalau Alisha bilang ia tidak marah. Maudy bahkan sudah mengirim pesan menanyakan lancar atau tidak? Jelas langsung Alisha jawab tidak, semua gagal.

🌼🌼🌼

Mendengarkan cerita Alisha yang gagal dinner menjadi hal pertama yang Maudy lakukan di kelas pagi-pagi buta. Perempuan itu mengajak Maudy untuk datang pagi-pagi agar bisa bercerita. Pesan dari Barra belum dikirimkan lagi, terakhir Alisha hanya membaca pesan kemarin.

Maudy mengelus pundak Alisha. "Gue bilang kan, lo sih apa-apa udah calon mertua aja" candanya.

"Ya gimana ngga seneng sih, Dy. Diajak makan sama keluarga pacar, apalagi keluarga Barra. Salah emangnya gue berharap lebih? Salah lagi?"

Maudy diam. Alisha salah menangkap maksudnya. Tadi sepertinya memang ia salah bicara. Apalagi Alisha lagi sensitif gini. "Yaudah yaudah, nanti kalo Barra kesini di dengerin. Gue rasa emang ada hal penting, Al. Dia juga pengen pasti ngenalin lo lebih dalem ke bonyoknya"

"Semuanya ngebela Barra aja," ketus Alisha. Ya memang lagi-lagi dia yang akan selalu mengerti kondisi Barra.

"Bukan gitu, Al" kata Maudy. Tadinya Maudy mau menjelaskan lebih detail, tapi melihat ekspresi Alisha membuatnya mengurungkan niat dan lebih memilih mendiamkan gadis itu daripada nanti dirinya kena semprot.

Moodnya hari ini membaik karena ulangan kimia tidak remed. Juga ditambah abangnya yang menawarkan sepatu pada Alisha. Seharian sekolah, Alisha hanya di kelas. Ya beginilah kalo badmood, apa-apa serba males. Ia harus menghilangkan mood jelek itu dulu baru bisa menerima.

Kalau tadi pagi yang bercerita Alisha, sekarang gantian. Alisha setia dengan telinganya mendengarkan cerita Maudy. Dari soal hubungan Maudy yang sedang tidak baik, juga soal keluarga Maudy yang papahnya harus dipindahkan dinas ke luar kota, sampai ke alasan Maudy tidak mengambil olimpiade lagi.

Hari ini hari yang panjang bagi Alisha. Hingga bel pulang berbunyi, napas lega keluar dari hidungnya.

Ting

Ia mengambil ponselnya di kolong meja.

Ting
Ting

Bukan Barra ternyata. Itu pesan dari abangnya yang sudah ada di depan sekolah.

"Siapa aja yang ngga hadir hari ini?" Tanya pak Hendra pada murid berkacamata yang membawa satu buku agenda daftar hadir.

"Barra Sebastian aja pak,"

Maudy langsung menoleh. "Al?"

"Bentar," kata Alisha. Begitu gadis berkacamata tadi berputar arah, Alisha menyapanya.

"Maaf tadi aku denger Barra ngga masuk ya? Itu kenapa ya kalo boleh tau?"

Gadis itu mengedikan bahu. "Ngga ada kabar," jawabnya lalu melenggang pergi. Ya, sudah biasa Alisha mendapatkan prilaku seperti ini. Apalagi Alisha tau gadis itu juga katanya menyimpan perasaan pada Barra.

"Belagu tuh bocah" ejek Maudy kesal.

"Kemana ya, Dy?" Tanya Alisha mulai khawatir.

"Lo ada nomor nyokapnya kan?"

Alisha mengangguk.

"Chat cobaa"

Ah, iya. Ide bagus. Alisha mengirimkan pesan ke mamah Barra juga teman-teman Barra yang lain. Lalu ia berpisah dengan Maudy karena hari ini Alisha pulang dijemput abangnya. Sudah lama ngga naik mobil berdua gini sama Zaidan.

"Widihhh, keren amat sihh" puji Alisha. Baru kali ini ngeliat Zaidan rapi, pake jas, dasi, sepatu. Biasanya juga cuman kaos sama celana pendek.

Zaidan membawa Alisha pergi makan ramen karena kemarin mamahnya mengirim pesan kalau Alisha abis nangis gara-gara gajadi pergi. Semua keluarga Alisha sudah tau kalau gadis itu punya pacar, meskipun abangnya ini kadang lupa muka Barra. Alisha juga ditanya-tanya soal sekolah, mau masuk kemana nanti.

"Abang sih ngga keberatan kalo kamu emang mau masuk swasta, Al. Secara ya, kadang negeri tuh ngga worth it menurut abang"

"Kenapa gitu?"

Zaidan menelan ramennya. "Ya bayangin aja udah belajar tiga tahun, kalo ngga keterima gimana?"

"Tapi coba dulu ah, masa langsung swasta sih" jawab Alisha membuat Zaidan mengangguk.

"Bang, abang kerja sama, sama perusahaan apasih? Papah tuh kalo ngobrol sama mamah, pasti bilang resikonya besar tapi untungnya ga kalah besar soal kerja sama ini" tanya Alisha penasaran.

"Ini tuh perusahaan ternama, Al. Ya kan kamu tau, abang tadinya cuman kerja sama papah aja. Nah kalo proyek ini berhasil, abang bakal dapet saham buat bikin kantor sendiri" jelas Zaidan semangat.

"Emang nama perusahaannya apa?"

"Sriwijaya Prakarsa. Pernah denger ngga?"

Alisha menggeleng. Ia meminum ocha yang dipesan. "Semoga lancar ya bang, jangan lupa mulai investasi buat pendidikan Rey sama Zaina loh"

Zaidan terkekeh. Adik satu-satunya ini memang bukan anak kecil lagi. Selama ini Zaidan menganggap Alisha adalah anak cengeng, dari dulu, hanya tidak dikasih apa yang ia mau pasti akan menangis. Itu sebabnya kadang Alisha boros. Sebab apa yang dia mau, ya itu yang harus dia dapet.

Ternyata sampai sekarang. Alisha, adik kecilnya itu masih cengeng.

Ting

Ting

"Liat dulu, Barra kali" suruh Zaidan.

Alisha mengambil ponselnya. Mengelap bibirnya dengan tisu lalu membuka jawaban pesan mamah Barra.

Membaca pesan itu, Alisha langsung minta Zaidan mengantarnya ke rumah sakit Bella yang berada cukup jauh. Rumah sakit ini berbeda dengan rumah sakit Barra waktu itu.

"Makasih bang. Nanti aku pulang naik gojek aja ya, Abang hati-hati" ucap Alisha lalu turun dari mobil abangnya. Berjalan cepat masuk kedalam, memastikan kalau ruangan di depannya sudah benar. Alisha mengetuk pintu. Sepuluh detik tidak ada jawaban. Ia langsung masuk.

Melihat satu tempat tidur yang ditutupi hordeng khas rumah sakit. Bau obat serta bunyi peralatan medis mulai terasa. Alisha membuka hordeng itu. Melihat seorang pria sedang duduk sambil menunduk dan satu tangannya memegang tangan pasien.

Alisha memegang bahu Barra membuat pria itu mendongak. Tapi hal yang membuat Alisha terkejut ialah tiba-tiba Barra memeluk setengah badannya. Wajahnya ditaruh setara dengan perut Alisha.

Alisha mengelus punggung Barra. "It's okay. Everything will be okay"

Barra semakin erat memeluknya membuat Alisha bisa merasakan ketakutan besar Barra. Terpasang banyak kabel di tubuh bunda Barra, alat bantu pernapasan juga ada.

"Maaf soal kemarin," kata Barra menatap Alisha.

Alisha setengah jongkok, mensejajarkan diri. Ia memegang pipi Barra. "Nangis aja, jangan ditahan lagi ya,"

Barra mengangguk. Ia membawa Alisha keluar dari ruang rawat bundanya. Mereka duduk berdua di depan dengan tangan Alisha yang setia mengelus tangan Barra.

"Mamah papah kemana?"

"Pulang. Mamah muntah mulu disini," jawab Barra tetap menatap lurus. "Kamu tau dari siapa?"

"Mamah kamu"

Keduanya saling diam tapi tidak merasa aneh atau bagaimana. Seolah mereka berbicara lewat otak masing-masing. Hingga Barra mulai membuka suara.

Flashback on

"Kamu ngga mandi, Bar?" Tanya mamah melihat Barra yang masih berkutik dengan buku.

Yang ditanya melihat ke arah jam lalu menutup bukunya. Melihat mamahnya yang sudah rapih. Ah, sepertinya Barra terlalu asik mempelajari materi selanjutnya. Sejauh ini Alisha belum memberi kabar, tapi melihat story instagramnya Barra tau perempuan itu masih di salon.

Setengah jam berlalu. Sekarang sudah jam setengah tujuh malam. Papah meneriaki namanya dari bawah. Barra turun dengan kemeja dan celana panjang yang sudah membungkus dirinya. Papahnya memakai jas seperti mau kerja, mamahnya memakai dress dengan rambut yang penuh jepitan.

Barra juga baru memperhatikan kalau orang hamil banyak sekali perubahannya. Tak hanya soal tubuh, tapi kadang mood mamahnya berubah-ubah. Meskipun kelihatannya Barra tidak peduli, tapi tetap saja ia sering memperhatikan mamahnya yang kadang berwajah datar, jutek tapi kadang tiba-tiba sering ketawa hanya karena menonton kartun.

"Kamu naik mobil sendiri kan?" Tanya Alex.

Barra mengangguk. "Papah udah booking tempatnya?"

Papah mengangguk. Saat mereka ada di ujung pintu, tiba-tiba ponsel papah Barra berbunyi. Awalnya Barra mengira pasti kerjaan lagi, dari sana firasatnya sudah tidak enak, bisa saja dinner ini batal karena kerjaan Alexander yang sama sekali tidak bisa diundur.

"Loh, rumah sakit" kata papah. Mendengar itu Barra meminta papah untuk me—loud speaker ponselnya.

'Halo pak Alex? Maaf ganggu sebelumnya,' suara terdengar dari sana.

'Iya sus, ada apa? Makanannya Zahra habis? Atau apa?'

'Bukan pak'

'Lalu?'

'Ibu Zahra dilarikan ke rumah sakit Bella, Pak. Wajahnya pucat dan mogok makan dari semalam, tadi pagi tubuhnya dingin'

Ada perasaan yang mencelos dalam hati Barra. Pria itu langsung mengambil kunci motor dan berlari ke garasi. Ia mengendarai motornya dengan perasaan khawatir yang luar biasa. Mengabaikan orang-orang yang mengumpat padanya karena membawa motor yang sangat cepat. Beruntung jalanan hari ini lancar sehingga Barra dapat sampai hanya dengan waktu lima belas menit.

Langsung bertanya ke resepsionis karena tadi ia tidak sempat mendengar di ruangan mana bundanya ditempatkan. Mendengar hanya memakai ruang biasa, Barra langsung meminta untuk dipindahkan ke VVIP dan membayarnya sekalian, tidak peduli uang itu kelebihan. Pria itu berlari cepat, sangking tidak mau terlambat, Barra menaiki tangga darurat karena menunggu lift sangat lama. Keringat dingin membasahi pelipisnya.

Dokter dan suster rumah sakit bundanya langsung menoleh begitu Barra membuka pintu. Pemindahan ruangan dilakukan selama lima belas menit hingga kini bundanya sudah di ruangan VVIP.

"Mogok makan sehari, gabisa di bujuk? Atau pake cara lain?" Tanya Barra emosi.

"Kita udah ngelakuin berbagai cara, bahkan kita juga udah ajak ibu Zahra keluar tapi tetep aja gabisa. Obat juga ngga di minum, mas"

Ia melihat dokter yang masih menangani bundanya. Wajahnya pucat, kelihatan lebih kurus dibanding saat Barra jenguk terakhir kali. Papah dan mamahnya datang dengan langkah cepat.

"Sejak kapan ada perubahan-perubahan gini?" Tanya Alex.

Mamah berdiri disampingnya. Mengelus punggung Barra.

"Sebenarnya sudah dari seminggu lalu pak. Namun masih bisa—"

"LO GAK PERNAH BILANG KE GUE" potong Barra. Nafasnya terdengar lebih keras.

"Barra!" Tegur papahnya. "Jangan pake emosi"

Suster itu berusaha menjelaskan bahwa pihak rumah sakit juga sudah melakukan semaksimal mungkin. Tapi hari ini, mereka sudah tidak bisa lagi. Mau tidak mau, kondisi Zahra harus diperiksa.

Dokter dari dalam, keluar. Melihat keluarga Barra. "Dengan keluarga Bu Zahra?"

"Saya anaknya" Barra menjawab duluan.

"Suaminya?"

Hanya suara jam yang terdengar beberapa detik.

"Saya" jawab Alex.

"Mari ikut saya ke ruangan"

Gia menyuruh Alex untuk pergi dengan Barra saja. Karena menurutnya ini juga bukan urusan Gia untuk mencampuri soal penyakit mantan istri suaminya itu. Gia masuk kedalam melihat bunda Barra. Kondisinya sangat berubah drastis.

Sementara di ruangan lain, tiga orang sudah duduk berhadapan dengan kertas-kertas yang dokter itu tulis.

"Sebelumnya perkenalkan saya dokter Zein"

Alex membalas jabat tangan. Sementara Barra sudah tidak sabar apa yang akan dikatakan dokter itu.

"Sebelumnya apa benar ibu Zahra menderita gangguan pada mentalnya?"

Keduanya mengangguk.

"Baik. Saya pikir kalian juga sudah tau soal kesehatan mental apa yang ibu Zahra alami ya. Apa bapak dan masnya juga tau ada penyakit lain yang di derita?" Dokter itu mengangkat satu alis.

"Yang saya tau hanya asam lambung, dok"

Dokter Zein mengangguk. "Mohon maaf harus menyampaikan ini. Tapi ibu Zahra memiliki tanda-tanda jantung lemah"

Semakin melemas hatinya. Barra mengepal tangannya kuat.

"Tapi perlu kami periksa lebih lanjut dengan Angiografi  jantung dan Ekokargiografi. Angiografi  jantung itu pemeriksaan untuk melihat adanya penyumbatan pada pembuluh darah jantung sedangkan, Ekokargiografi adalah USG jantung, untuk menilai struktur jantung serta kekuatan pompa otot jantung" jelas dokter tersebut.

flashback off

tbc.

dah tuh ya ngga di gantung lagi, bilang apa dulu dong.....

INI UDAH 2000 KATA BTW, JANGAN LUPA VOTEEEEE

SELAMAT MALAM SEMUANYAA🙏🏻

Continue Reading

You'll Also Like

7M 295K 59
On Going Argala yang di jebak oleh musuhnya. Di sebuah bar ia di datangi oleh seorang pelayan yang membawakan sebuah minuman, di keadaan yang tak s...
1.5M 130K 61
"Jangan lupa Yunifer, saat ini di dalam perutmu sedang ada anakku, kau tak bisa lari ke mana-mana," ujar Alaric dengan ekspresi datarnya. * * * Pang...
2.7M 276K 64
Gimana jadinya lulusan santri transmigrasi ke tubuh antagonis yang terobsesi pada protagonis wanita?
843K 102K 13
"Gilaa lo sekarang cantik banget Jane! Apa ga nyesel Dirga ninggalin lo?" Janeta hanya bisa tersenyum menatap Dinda. "Sekarang di sekeliling dia bany...