Roarrrr
Beberapa serigala mulai berlompatan dan melesat melakukan serangan penuh terhadap dua penyihir diantara mereka. Clare dengan kekuatannya, membuat serigala-serigala tersebut terpental dengan serangan sinar merah yang sakitnya sampai ke organ-organ. Dalam sekejap, serigala yang terpental mati.
Luke juga tak jauh berbeda, sinar biru meledakkan serigala-serigala yang menyerang begitu juga beberapa monster yang ikut andil. Berbagai macam monster menyerang bersamaan sehingga sering kali terjadi ledakan.
Seekor kalajengking menggunakan ekor panjangnya menyerang Clare. Clare meluncur ke bawah kemudian meraih ekor kalajengking dan menekannya hingga menusuk tubuh kalajengking itu sendiri.
Darah hitam dimana tampak di atas salju putih. Beberapa monster terpendam salju akibat serangan, ada juga yang menggunakan salju sebagai kekuatan.
Kali ini, tampak seekor ular mengelilingi Clare. Clare menahannya dengan kekuatannya, sinar merah memenuhi tangannya begitu juga dengan mulut ular yang menganga. Clare mulai kehabisan tenaga setelah banyak bertarung.
Sekilas, mata Clare berubah menjadi hitam. Seluruhnya hitam sehingga sinar merah yang Clare keluarkan memiliki bercak hitam yang mengerikan. Tak lama lagi, Clare akan kehilangan kendali atas tubuhnya.
Srakkk
Ular tersebut mundur ketika sebuah pedang menyayat kepalanya. Ular tersebut mendesis melihat Luke telah menyakitinya kemudian melancarkan serangan lanjutan. Dengan cepat, Luke membuat salju salju di bawah bergerak ke atas menghantam ular tersebut kemudian menikam kepalanya dengan pedang.
Ular tersebut menggeliat sebentar sebelum akhirnya mati, Luke langsung berlari ke arah Clare yang tampak tidak baik-baik saja setelah menghabisi beberapa monster yang menghalanginya.
"Kau tak apa?" Luke kemudian melihat mata Clare yang sekilas menjadi hitam.
Clare menggeleng pelan menutup matanya berusaha menetralkan tubuhnya. Napasnya tercekat, dia merasakan perasaan tidak nyaman menyebar diseluruh tubuh hingga organnya.
"Aku akan mengalihkan perhatian mereka. Kau pergilah."
Clare membuka mata dan menatap Luke dengan mata membulat. "Kau bodoh?"
Luke tersenyum tipis dan mengusap kepala Clare. "Aku akan baik-baik saja. Seharusnya kau khawatirkan dirimu sendiri."
Luke pergi mengalihkan perhatian monster sedangkan Clare hanya termenung menatapnya. Bagaimana Clare bisa membiarkan Luke dalam bahaya? Tetapi, mengingat Luke yang selalu berhadapan dengan monster, dia memang akan baik-baik saja.
Clare baru saja hendak pergi sesuai isyarat Luke. Langkahnya terhenti ketika melihat sosok Katherine berdiri didepan mansion dengan senyuman di wajahnya.
"Kamu...." Clare menggantung ucapannya. Bukankah seharusnya Katherine sudah tiada?
"Kemarilah." Katherine merentangkan tangannya tersenyum hangat pada Clare. Rambut cokelatnya berkibar tertiup angin. Gaun putihnya menyatu dengan warna salju sehingga membuatnya tampak indah.
Clare membeku seketika. Pikirannya kosong, dia bahkan tidak tahu ingin bahagia atau sedih. Ibu kandungnya di depannya, itu membuatnya menjadi merasa bersalah.
Lama tidak bicara, akhirnya Clare membuka mulutnya dengan suara bergetar disertai mata berkaca-kaca. "Mom...."
"Clare!" Luke memanggilnya, namun Clare seakan tidak mendengarnya. Pandangan Clare tetap pada Katherine yang masih merentangkan tangannya ingin dipeluk.
Dimata Luke, di depan sana bukan Katherine. Melainkan sosok monster berbentuk wanita lusuh yang melayang di udara disertai kulit hitam dan rambut abu-abu yang berkibar. Monster itu merentangkan tangannya menatap Clare.
Sebisa mungkin menghindari monster yang menyerangnya, berlari ke arah Clare seraya mengayunkan pedangnya ke arah monster. Dia merasa khawatir pada Clare yang terkena ilusi monster tersebut.
Clare melangkahkan kakinya perlahan ke arah wanita berbentuk Katherine yang masih tersenyum padanya. Air mata menetes di wajah Clare, hatinya merasa sakit mengingat segala cerita Marine dan Clark tentang orang tuanya. Begitu juga dengan foto-foto yang sebelumnya dia lihat.
Jarak mereka semakin dekat, pandangan Clare semakin kosong terutama ketika senyuman monster tersebut melebar hingga akhirnya....
Grepp
Luke menarik Clare ke dekapannya kemudian menggunakan kekuatannya memukul mundur monster tersebut hingga terbentur gerbang.
"Kita harus pergi sekarang." Luke menatap Clare dan menarik tangannya hendak pergi, namun Clare justru lebih memilih melihat ke arah monster tersebut berada.
"Itu...."
"Jangan terlalu jauh masuk ke dalam ilusinya." Luke menarik lengan Clare pergi. Walau langkah Clare terasa berat karena di matanya, monster itu masih terlihat seperti ibunya. Itu yang membuatnya berat hati walau mengerti apa yang dikatakan Luke.
Clare memutuskan untuk tidak memikirkannya. Katherine sudah lama tiada, tidak mungkin hadir terutama di saat-saat seperti ini.
Mereka berlari menghindari para monster yang menyerang dan sesekali memukul mundur mereka dan melancarkan serangan untuk menghentikan mereka. Clare merosot di salju ketika melihat seekor serigala menyerangnya dari depan kemudian menggunakan sihirnya untuk membunuh serigala tersebut ketika meluncur.
Sepanjang jalan, monster menyerang dan mereka sebisa mungkin menghindar agar tidak terlalu banyak membuang tenaga. Sepanjang jalan mereka dikejar monster hingga akhirnya mendapat celah untuk lari.
Luke menarik pinggang Clare yang masih tidak sadar akan celah pelarian dan terbang ke udara dengan kecepatan maksimal sampai para monster tidak lagi melihat. Monster di udara juga tidak lagi melihat keberadaannya setelah Luke melancarkan serangan terakhir pada monster udara tadi.
***
"Masih tidak bisa di telepon?" Eryk bertanya pada Blaire yang sejak tadi mencoba menelepon Luke dan Clare. Tapi tidak ada jawaban dari mereka.
"Firasatku buruk." Blaire tetap gelisah.
"Setidaknya ada Luke, tidak akan terjadi sesuatu." Xavier tetap santai tapi tidak dengan yang lain.
"Bagaimana kau bisa santai ketika temanmu dalam bahaya? Aku tahu, tiap urusan Clare selalu ada bahaya." Jules meraung marah.
"Menurutku, kita lakukan hal lain selain membuang waktu menelepon mereka. Mungkin mereka ada di tempat yang tidak memiliki sinyal." Louis yang baru saja datang membawa cappucino langsung duduk.
Jules menghela napas dan mengerang kesal. Kenapa dia memiliki rekan seperti ini?
"Kalau begitu apa yang kita lakukan?" Blaire bertanya.
"Seperti yang dikatakan Profesor," sahut Louis. "Kita hanya perlu menjaganya jika sewaktu-waktu Clare hilang kendali. Setengah jiwanya sudah menyatu dengan Vrochis, Clare juga sudah kembali walau dia pergi lagi. Kita hanya perlu menjaganya terutama untuk esok."
Xavier melanjutkan, "Besok adalah penentuan. Kita tidak tahu apa yang akan terjadi besok, oleh karena itu kita harus bersiap."
"Besok, ya." Zoya menghela napas pasrah dan menunduk.
Blaire diam kembali memikirkan masalahnya. Sejak kemarin, dia masih berpikir keras apa yang dia lupakan selama ini. Sesuatu yang sangat penting sehingga rekan-rekannya juga harus tahu.
"Aku tahu kalian tidak bisa berhenti gelisah," kata Louis kemudian bersandar pada sofa dan bergumam. "Aku juga sama."
***
Sepasang pria dan wanita mendarat di sebuah tempat yang masih ditutupi salju. Wilayah Winfried begitu luas melebihi Neuvrost, itu sebabnya mereka berdua masih belum keluar karena sebelumnya telah pergi tanpa arah asal dapat bebas dari monster yang mengejar.
Clare tampak pucat. Bukan karena kedinginan melainkan karena hal lain. Dia merasakan kepalanya terkadang pusing seakan telah melayang. Bahkan tubuhnya melemah terhadap kendalinya sendiri.
Luke mendudukkan Clare di sebuah tempat. Cukup teduh karena dibelakang mereka terdapat rumah yang cukup besar walau telah setengah hancur juga pepohonan yang rindang di sekitar rumah.
"Kau butuh sesuatu?" Luke menatap Clare disebelahnya dengan khawatir.
Clare menggeleng pelan tidak ingin menyusahkan Luke lagi. Kejadian tadi sudah cukup dirinya menyusahkan Luke. Clare tahu waktunya tidak akan lama lagi. Dia tidak ingin membebani siapapun.
"Kita akan pergi melalui jalan lain agar dapat menghindari monster. Mungkin sedikit jauh," kata Luke dijawab dengan anggukan pelan. Clare terlalu kedinginan untuk bicara saat ini.
Luke mengedarkan pandangan mencari sesuatu untuk membuat api unggun. Tapi semuanya disini sudah membeku dan ditutupi salju. Bahkan rumah bobrok tersebut sudah ditutupi salju yang artinya kecil kemungkinan membuat api unggun. Ini rumit.
Luke melepas jaketnya kemudian diberikan pada Clare yang sudah menggigil. Untung saja dia mengenakan pakaian hangat dan cukup kuat terhadap udara dingin. Luke tidak masalah dengan hal itu yang terpenting Clare tidak lagi menggigil.
"Bagaimana denganmu?" Clare akhirnya bicara menyadari jaket Luke menyelimuti tubuhnya.
"Aku tak apa, tidak perlu dipikirkan."
Clare menerimanya walau merasa tidak enak hati. Dia memandang langit yang tampak hippogriff berterbangan mencari dirinya. Sebelumnya Luke sudah menyamarkan aroma mereka berdua agar tidak ketahuan. Itu sebabnya Luke berhenti sebentar sampai hippogriff benar-benar pergi agar tidak dikejar lagi.
Sejujurnya, Clare merasa lebih baik dengan tambahan jaket walau masih merasa dingin. Tapi setidaknya tidak menggigil seperti tadi.
Pandangan Clare terarah pada Luke disampingnya yang masih memandangi hippogriff memastikan agar mereka segera pergi. Clare merasa tidak enak harus memakai jaket Luke sedangkan Luke hanya mengenakan pakaian hangat. Lagi-lagi Clare merasa menjadi beban.
"Terima kasih ... dan maaf."
Suara Clare membuat pandangan Luke teralih pada gadis itu. "Kenapa?"
"Aku menyusahkanmu lagi."
"Tidak. Sama sekali tidak."
"Tapi itu fakta," sahut Clare kemudian menyentuh wajah Luke yang terdapat luka karena serangan tadi. Sebelumnya Luke sempat terluka ketika mengejar Clare yang terlarut dalam ilusi. "Kau terluka karenaku."
"Hanya luka kecil, aku sudah biasa."
Clare menarik lengannya kembali dengan wajah menggelap. "Hanya luka kecil, sudah biasa," cibir Clare mengulang ucapan Luke. "Lukamu yang lain saja belum sembuh."
Luke terkekeh kecil melihat tingkah Clare. "Lukanya cepat sembuh, kok."
"Benar...." Clare menggantung ucapannya kemudian menunduk. Dia teringat lukanya sendiri yang sekarang belum sembuh. Luka yang diakibatkan oleh Vrochis kemarin karena meminum darahnya yang efeknya terus berlanjut hingga saat ini.
Luke melihat Clare kembali sedih, mengerti apa yang dipikirkan Clare dan langsung memeluknya dari samping, membiarkan kepala Clare bersandar padanya. Perubahan yang terjadi pada Clare tadi, dia tahu persis sebabnya.
"Maaf tidak bisa melindungimu dengan baik," kata Luke dengan penyesalan. Menurutnya, dirinya terlalu lemah untuk menjaga Clare.
"Aku yang salah," sahut Clare menyangkal ucapan Luke. Clare tahu dirinya terlalu keras kepala dan egois sehingga semua ini terjadi. Tetapi dia benar-benar tidak memiliki pilihan lain. Bagaimanapun, ramalan itu akan terjadi.
"Aku akan melindungimu sampai akhir, aku janji."
Clare menatap iris biru Luke yang menatapnya dalam. "Jika terjadi sesuatu padaku besok, bunuh aku."
Luke mengerutkan dahinya dalam-dalam, sebelum dia menyahuti Clare justru menyela. "Karena itu bukan aku, kau harus menghentikannya sebelum terlambat. Itu sudah cukup untuk melindungiku."
Luke tidak berjanji. Dia hanya diam, tidak setuju dengan usulan Clare. Walau Clare akan berubah, tapi tetap saja sebagiannya itu adalah Clare. Bagaimana Luke tega melakukannya? Yang ada, Luke hanya akan diliputi rasa bersalah seumur hidupnya.
Hari semakin gelap. Setelah para Hippogriff pergi, mereka berdua melanjutkan perjalanan menuju Neuvrost dalam diam terlarut dalam pikiran masing-masing. Terutama Luke yang sejak tadi gelisah dengan apa yang akan terjadi besok. Hanya butuh beberapa jam, hal yang tidak diinginkan akan terjadi.
Selang beberapa jam, mereka sampai di Neuvrost. Mendaratkan tubuh di tengah jalan yang sepi. Hari sudah malam dan tampak bintang-bintang bersinar di kegelapan. Jalanan pun sudah sepi.
"Aku pulang ke rumah."
"Kau yakin?" Luke ragu. Jika Clare pergi ke rumah, pengawasan teman-temannya dan Luke terputus.
"Clark dan Marine memiliki sebagian kekuatan Penyihir abadi. Aku akan baik-baik saja." Clare tersenyum tipis.
"Aku ikut denganmu."
Mata Clare membulat. "Kau tidak mengungkapkan secepat itu, kan?"
"Menurutmu, kenapa aku bisa tahu tentang identitas aslimu, Clare Whitney." Luke bicara dengan santai membuat Clare ternganga tidak habis pikir.
"Kau mudah sekali menangkap segala hal."
"Terima kasih."
"Itu bukan pujian," sahut Clare tersenyum kecut. "Tapi sayangnya, rumahku hanya ada dua kamar." Tentu saja Clare bohong karena sebenarnya rumah Clare memiliki empat kamar. Dia tidak ingin Luke ikut ke rumahnya karena dia memiliki rencana lain.
"Kalau begitu, aku akan tidur denganmu." Luke tersenyum jahil.
Ucapan Luke berhasil membuat Clare melotot lebar sekaligus memerah. Apa yang akan dipikirkan orang tuanya nanti? Luke kalau bicara tidak disaring terlebih dahulu.
"Hanya bercanda. Aku bisa tidur di ruang tamu, 'kan?"
"Apa kata orang jika seorang Orlane tidur di ruang tamu? Marine juga sudah pasti tidak setuju dan membiarkanmu tidur di kamarku sedangkan aku di ruang tamu. Kau tahu sendiri sifatnya yang lebih menyukai pria tampan daripada putrinya sendiri." Clare tidak tahu ingin menangis atau tertawa. Habis sudah rencananya. Luke sulit sekali dibujuk.
"Lalu aku harus bagaimana?"
"Kembalilah ke markas mengabarkan yang lain, mereka pasti cemas."
"Tidak. Apa gunanya ponsel?"
Clare menghembuskan napas panjang dan memijat-mijat kepalanya yang berdenyut. "Luke, kembalilah. Aku akan baik-baik saja. Tidak perlu mencemaskan hari esok karena itu semua belum terjadi. Kau juga seharusnya ada urusan besok, 'kan? Lagipula, jika terjadi sesuatu padaku sudah pasti Chasper akan memberitahumu."
Luke ragu sejenak memikirkan perkataan Clare. Tetapi Clare lebih penting saat ini.
"Kumohon...." Clare memasang ekspresi memohon yang cukup ampuh untuk membuat seseorang luluh. Tapi tidak tahu bagaimana dengan Luke yang dingin itu.
Namun siapa sangka, Luke akhirnya luluh juga setelah sekian lama Clare mempertahankan posisi memohonnya dengan perasaan cemas kalau Luke akan menolak.
"Baiklah, jika terjadi sesuatu segera beritahu. Jangan lakukan hal ceroboh." Luke memperingati dan dapat anggukan cepat dari Clare. Akhirnya tujuan Clare tercapai.
"Baik senior!"
Luke hanya tersenyum menanggapinya. "Aku antar kau pulang."
Clare mengangguk setuju dan berjalan ke arah rumah Clare. Setelah sampai dan memastikan Clare benar benar masuk kedalam rumah, Luke pergi ke arah markas.
Rumah Clare tampak gelap seakan semua orang sudah tidur. Setelah beberapa lama setelah kepergian Luke, Clare kembali keluar rumah dan melihat keadaan sekitar memastikan tidak ada siapapun yang mengintainya.
Setelah memastikan keadaan aman, Clare menutup rambut pirangnya menggunakan topi dari jaketnya kemudian pergi ke arah lain. Sebelumnya dia sempat membuat Clark dan Marine tertidur terlebih dahulu dan pergi diam-diam. Clare benar-benar tidak ingin melibatkan siapapun.
Clare berjalan di tengah jalan setapak sendirian entah ingin kemana ditemani bintang-bintang dan angin sejuk. Dirinya terlarut dalam lamunan sambil memikirkan berbagai hal.
Informasi mengenai Penyihir abadi dari buku yang dia temukan sebelumnya berhasil membuatnya berpikir keras. Disisi lain, Luke juga masih memperhatikan pin yang dia temukan sebelumnya di kamar asrama.
Masalah ini rumit.
Sepanjang perjalanan, lambat laun wajah pucat Clare semakin berubah. Terdapat urat-urat hitam yang timbul di kulitnya merambat ke wajah. Mata Clare semakin pekat dan berubah menjadi hitam legam keseluruhan.
To be continue
10/11/2021