Suara deritan garasi terdengar bersamaan dengan garasi yang terangkat keatas menunjukan sebuah ruangan gelap. Clare, Jules, Blaire, dan Zoya masuk kedalam garasi tersebut, memperhatikan sekelilingnya yang dipenuhi kegelapan. Blaire menekan saklar di dekatnya, cahaya muncul menerangi garasi, menunjukan garasi yang terlihat tidak seperti garasi pada umumnya.
"WELCOME TO THE OFFICE." Zoya berteriak ditengah tengah ruangan, merentangkan tangannya dan memunculkan senyum ceria. Selama beberapa hari ini, Zoya menyiapkan tempat untuk mereka berempat agar dapat bertemu tiap saat.
Clare tersenyum riang. Dia terpana dengan dekorasi yang dibuat Zoya. Terlihat nyaman walau hanya sebuah garasi, sama sekali tidak terlihat seperti garasi. Terdapat rak ornamen ornamen terpajang di sisi ruangan, meja beserta komputer masing masing 4 dan dihiasi dengan beberapa pajangan lucu. Terdapat sofa dan boneka besar yang dapat digunakan untuk duduk disudut ruangan bagian lantai marmer dan disebelahnya ada rak buku dengan berbagai macam buku fiksi maupun non-fiksi. Di dinding dekat pintu garasi, terdapat tempat untuk menyimpan senjata rahasia seperti yang ada di asrama, vas bunga di beberapa sudut dan meja menambah kesegaran ruangan. Untuk bagian meja dan sofa adalah berlantai marmer dan menonjol keatas menaiki dua anak tangga. Dibawahnya adalah lantai biasa seperti garasi pada umumnya dan digunakan untuk meletakan kendaraan atau barang besar lainnya, kini masih kosong.
"Mulai sekarang, ini adalah kantor pribadi kita, semua yang kita butuhkan ada disini termasuk semua data yang sudah kumasukkan ke komputer masing masing. Jadi tidak perlu satu kantor dengan para senior. Disini kita akan membuat jadwal sendiri, kita dapat dengan bebas menyimpan apapun dan bertingkah apapun tanpa komentar senior." Zoya menjelaskan.
"Bagus sekali, aku sudah muak dengan senior itu." Jules melanjutkan kemudian duduk di kursi putar di dekat meja.
"Zoey, kau sudah bekerja keras. Apa sulit membuat ini?" Blaire kasihan pada Zoya.
"Aku hanya perlu jasa bantuan properti. Tenang saja, aku sudah bayar dan membuatnya melupakan kalau dia pernah membuat ini. Setidaknya agar markas kita ini tetap menjadi markas rahasia, jangan bilang bilang pada para senior." Zoya tetap tenang.
"Walaupun kita tidak bilang, mereka tetap akan tahu. Alat pelacak yang kau berikan adalah masalahnya." Clare menunjukan alat pelacak yang diberi Zoya di tangannya.
"Benar, seharusnya aku tidak memberi itu. Tapi mana tahu, nasi sudah menjadi bubur. Senior tahu atau tidak, seharusnya bukan masalah, kita satu tim dengan mereka."
Benar bukan masalah, tapi bagi Clare itu adalah masalah. Dia harus berhati hati dalam bertindak dan tidak lagi bebas. Siapapun bisa saja menemukannya, entah sedang melakukan rencana atau hal lain. Pergerakannya menjadi terbatas, dia bisa saja meninggalkannya tapi selalu ketahuan.
Tiba tiba alat komunikasi saling terhubung dan terdengar suara Xavier. Entah apa laporannya pagi ini, membuat mereka bendesah kesal. Selalu saja seperti ini hingga mereka tidak bisa tidur.
"Disini hujan. Apa disana hujan?" Xavier bertanya.
"Tidak." Eryk menjawab.
Mereka berempat saling tatap. "Kau menemukan jejaknya?" tanya Jules.
"Entahlah, aku tidak melihat apapun yang mencurigakan." Xavier menyahuti.
"Kau hanya mengatakan disana hujan tanpa ada kecurigaan, itu adalah hal biasa. Kemarin tempatku hujan dan tidak terjadi apa apa. Semua hanyalah sia sia." Louis sudah kesal.
Sambungan terputus. Belakangan ini memang selalu seperti itu membuat mereka lelah. Pertama kali mengalaminya, mereka sudah datang ke tempat tapi ternyata tidak ada apapun yang dicurigai. Hanya bekerja dengan sia sia dan basah kuyup, sangat mengunggah emosi dan pikiran. Pada akhirnya mereka memutuskan untuk mencari petunjuk dahulu selain datangnya hujan sebelum menyimpulkan.
"Aku lelah. Andai peri kecilku disini," gumam Zoya merindukan perinya.
"Sekarang, apa yang harus kita lakukan?" Jules tidak ingin berdiam diri.
"Lebih baik tingkatkan kemampuan kita. Pada umumnya kita masih kalah jauh dengan senior, jangan sampai mempermalukan diri sendiri," ujar Blaire.
"Membosankan sekali, lebih baik mencoba senjata kalian masing masing, lihat betapa hebatnya senjata itu di tangan kalian." Jules memberi pendapat.
"Tidak, aku ingin belanja. Jarang jarang kita berempat bisa belanja bersama." Zoya ikut memberi pendapat.
Mereka berdebat tidak jelas, saling bersahutan tentang pendapat masing masing. Hanya Clare yang tidak memberi pendapat, dia malah terpaku melihat ketiga temannya berdebat. Dia tidak tahu harus berpendapat bagaimana, jadi hanya diam melihat ketiga temannya berdebat tidak jelas dan membuang waktu. Clare berpikir sejenak. Dia ingin melakukan sesuatu yang menyenangkan daripada latihan dan belanja. Tapi dia sendiri tidak tahu harus melakukan apa, hidupnya sangat kosong.
Tiba tiba ponselnya berdering. Clare merogoh tasnya kemudian melihat layar ponsel menunjukan tulisan 'mom'. Tanpa aba aba Clare mengangkatnya dan meletakannya di telinga.
"Hello."
"Clare, pulanglah. Aku butuh bantuan."
"Mom, aku sedang bersama teman teman." Clare keberatan.
"Tidak ada banyak alasan. Aku butuh bantuan, masa kau tidak bantu? Ayolah sekarang."
"Clare datang." Clare langsung menutup telfonnya. Dia mendesah kemudian melirik teman temannya yang masih sibuk berdebat.
"Aku pulang. Marine mendesakku, aku tidak bisa apa apa." Clare pamit pulang. Wajah mereka terlihat kecewa.
"Yahh Clare, baru saja akan membuat kesimpulan." Zoya keberatan.
"Pergilah, mungkin ada hal penting." Jules membiarkannya begitu juga Blaire.
Clare hanya mengangguk dan pergi setelah menutup kembali pintu garasi. Tadinya dia datang menggunakan mobil milik Blaire, tapi sekarang dia harus jalan kaki, tidak ingin merepotkan yang lain. Taksi? Tidak ada yang lewat disekitar sini karena tempat ini begitu sunyi, lagipula dia lebih baik jalan kaki sambil menikmati perjalanan.
Disebuah ruangan penuh dengan berbagai alat fisik, Gavin tengah meninju ninju samsak dengan boxing miliknya. Dia ingat malam itu, ketika sedang mencari Luke, dia melihat Luke dan Clare di tempat yang sama saling bicara. Walau itu adalah hal wajar, tapi dia sangat mengenal Luke, tidak pernah dia melihat Luke bicara pada siapapun selain keluarganya sendiri atau profesor. Bahkan sikapnya waktu itu tidak sedingin biasanya, dia merasa aneh. Jika benar, Luke menyukai Clare, hatinya merasa kacau. Gavin akui, bahwa ia menyukai Clare sejak pertama masuk akademi, tapi dia sama sekali tidak tahu kalau kakaknya yang dingin itu diam diam sama sepertinya, itu membuatnya merasa semakin kacau, andai saja Luke jujur padanya. Itu baru pemikiran sementaranya saja, jika ternyata sebaliknya, maka Gavin akan sangat lega. Luke sangat sulit ditebak.
Suara denyitan pintu terdengar, seseorang masuk kedalam ruangan. Seorang pria yang parasnya tidak kalah dengan kedua bersaudara itu, dia berdiri memperhatikan Gavin diluar ring dan berkacak pinggang melihatnya.
"Terjadi sesuatu? Tidak biasanya kau seperti ini." Dia menegur.
"Bukankah Dad bilang harus sering berlatih?" Gavin tetap pada kegiatannya tanpa menoleh sedikitpun.
"Oh ayolah, aku selalu tahu bagaimana perasaan seseorang. Jika dia sedang gelisah, marah, sedih, bahagia tentu aku tahu. Kau sedang gelisah, katakan apa kegelisahanmu."
"Kenapa aku harus mengatakannya?" Gavin menolak.
"Kau lupa? Selain bekerja dengan paman, aku juga seorang psikiater."
"Kau pikir aku orang gila. Aku masih waras, Chandler."
Pria yang ia panggil Chandler itu terkekeh, sepupunya satu itu selalu saja keras kepala seperti kakaknya. "Kau tidak lelah?"
"Sejauh ini tidak."
"Perlu bantuan? Kau lupa aku bisa membaca hati seseorang. Jika masalah hati, mungkin aku bisa membantumu." Chandler bersandar pada tiang. Seketika Gavin menghentikan kegiatannya, dia pikir bisa memanfaatkan Chandler untuk mengorek informasi dari Luke. Tapi mengingat Luke tidak mempan terhadap kemampuan apapun, dia kembali melanjutkan kegiatannya.
Chandler malah tertawa, dia sudah menduga, Gavin hanya akan menolaknya jika berhubungan dengan Luke. Dia menawari hal itu, tentu tidak berpengaruh padanya. Percuma dia mengeluarkan segenap tenaga tapi kalau Luke mencegahnya, semua akan sia sia dan Gavin tahu hal itu.
"Kalian bertengkar?" Chandler menebak.
"Tidak."
"Masalah apa hingga kau begitu keras kepala seperti ini? Baiklah, aku akan bertanya pada Luke saja."
Gavin menghentikan kegiatannya menatap Chandler dengan tajam. Kemudian Gavin keluar dari ring mendekati Chandler, dia sudah pasrah dan tidak ingin sepupunya itu membocorkannya. Chandler tersenyum puas, akhirnya Gavin takluk seketika dan itu membuatnya semakin penasaran.
"Jadi ... Apa yang bisa kubantu?" Chandler tersenyum lebar membuat Gavin semakin kesal.
Gavin menghela napas. Mau tidak mau dia harus menceritakannya pada Chandler. Dia juga harus menyiapkan barang sogokan agar Chandler tutup mulut. Kalau keluarganya sampai tahu, tamatlah riwayat Gavin.
Chandler mengangguk angguk paham semua yang diceritakan Gavin. Ini memang sedikir rumit karena dia tidak bisa mempengaruhi Luke, kecuali jika Luke mengizinkan. Tapi, Chandler memiliki rencana lain tanpa harus menggunakan kekuatan.
"Kita tanyakan langsung. Jujur atau tidak, aku akan mengetahuinya."
"Bagaimana?"
"Walau dia tidak dapat berpengaruh pada kekuatanku, tapi kekuatanku dapat mempengaruhinya setidaknya 1 %. Jangan dilihat dari angkanya, ini sudah lebih dari cukup untuk membuat kesimpulan. Kau bisa tenang." Entah apa yang direncanakan Chandler sampai tidak memberitahu Gavin secara langsung.
Galvin tidak bisa apa apa lagi. Dia hanya mengikuti tiap perkataan Chandler dan pergi ke kamar Luke. Sebelum itu, Gavin mengganti pakaiannya yang penuh keringat menjadi kaus biasa dan segera menemui Luke di kamarnya. Mereka tidak tahu kalau Luke lagi sibuk.
Luke saat ini tengah memantau semua pergerakan tiap orang termasuk Clare. Dia melihat Clare memasuki sebuah supermarket sendirian sedangkan teman temannya ada di tempat lain yang tidak ia ketahui tempat apa itu. Tapi dia tetap tahu posisinya melalui laptop.
Dia beralih dari GPS ke sebuah aplikasi. Sebelum itu, dia sudah pernah bertemu dengan Vrochis di sekitar sini dan meletakan alat pelacak ketika Vrochis melemah. Dia memang tidak bisa membunuhnya begitu saja dan membiarkan Vrochis kabur, setidaknya dia tahu tiap pergerakannya. Selama ini dia tahu dimana saja keberadaan Vrochis, tapi selalu tidak memungkinkan untuk menangkapnya, jarak yang ditempuh memakan waktu beberapa saat dan sudah pasti Vrocish sudah kabur jika tidak dihadang. Dia juga tidak memberitahu yang lain karena tahu mereka akan gegabah. Waktu itu saja sudah berkumpul kembali hanya karena hujan biasa dan berniat menangkapnya, itu sebabnya Luke tidak datang karena merasa buang waktu. Tadi pagi posisi Vrochis ada di dekat Xavier, hanya saja dia tidak mengetahuinya dan rekan yang lain sudah merasa lelah. Kini posisinya berubah lagi. Dia menyambungkan posisi Vrochis kedalam GPS yang digunakan rekan rekannya dan terlihat hasilnya. Sangat dekat dengan Clare!
Ekspresi Luke berubah seketika melihat posisi Vrochis yang lebih dekat pada Clare daripada Xavier tadi, hanya saja tidak ada konfirmasi apapun dari Clare. Apa Clare tidak mengetahuinya atau memang sengaja, dia tidak tahu. Yang ia tahu, harus cepat kesana sebelum terjadi sesuatu. Apalagi makhluk itu menginginkan sesuatu darinya.
Luke menutup laptopnya kemudian bergegas keluar kamar. Baru saja dia membuka pintu, terdapat Gavin dan Chandler berdiri tepat di depan pintu menatapnya.
Melihat Luke terlihat gelisah, Gavin mulai bertanya tanya. "Kau ingin kemana?" Gavin bertanya tapi Luke mengabaikannya. Dia mendesah kesal, Luke selalu seperti itu setiap hari.
Chandler merangkul Gavin. "Biasalah, Luke berbeda. Mungkin ada pekerjaan yang harus diselesaikan."
"Dia masih sekolah." Gavin membantah.
"Kau lupa? Dia menerima misi profesor," katanya membuat Gavin menghela napas. "Kita lanjutkan nanti. Traktir aku dulu."
To be continued
04/29/2021