36. Dalang

2.3K 348 10
                                    

Pandangan berlari kesana-kemari, menatap segala arah tanpa berani fokus pada sang lawan bicara. Seketika pergerakan lengan terasa kaku, bersamaan tubuh berdiri tegak diikuti kedua kaki gemetar dengan tangan mengepal erat.

Apa yang dibicarakannya itu omong kosong? Sungguh, dari kemarin memang diriku merindukannya. Meski pernah terjadi konflik bukan berarti membencinya, tapi mendengar perkataannya kini.. membuatku berpikir ulang mengambil keputusan.

Nampaknya, kian hari perempuan satu ini berbicara sudah kelewat lancang. Tapi, sengawur apapun ia melantur diriku mencoba meyakini sanya ini adalah bualan belaka.

"Bukankah kamu sudah melihat jelas? Bahwa diriku ada kaitannya dengan Raden Panji, bukan Sanskara." Cutaka berbicara enteng, seakan perkara yang ku hadapi ini sama sekali tak berbobot.

"Apa maksudmu?" Bibirku menahan getar, tatapan mata terpaku pada tanah. Banyak orang tengah sibuk menyiapkan acara, tanpa menyadari posisiku kini terjebak di taman kedaton yang menghubungkan sebidang tanah lapang. Sialnya, taman yang kini ku pijaki berada dipojok berbatasan langsung dengan pagar dinding istana. Bagaimana Cutaka memahami keberadaanku ada di sini?

"Menurutmu, selama ini yang berani melukai suamimu siapa? Apakah Argapati? Atau aku?" Ia berdecih melontar tanya, menjebakku pada sebuah pertanyaan yang tak ku yakini jawabannya.

Apakah itu berarti, Panji Gentala memiliki hubungan erat dengan Cutaka? Lalu bagaimana dengan Sanskara?

Lantas, ku beranikan diri menegakkan kepala. Memandangnya balik menyiratkan keangkuhan. Cutaka boleh saja bertindak semena-mena kala itu, tapi untuk kedepannya jangan harap agar ia bisa melakukan seenaknya di daratan tanah Sumbhara ini. Pikirnya, apakah ia berhak melakukan itu?

"Kalau begitu, bagaimana dengan lukisan sosok laki-laki yang terpajang di kamarmu? Bukankah itu yang kamu ceritakan tentang kekasihmu?" Cutaka menatapku dalam, tiada ekspresi selain matanya kian luwes memerhatikan gerak-gerikku.

"Aku ingat, betapa bencinya suamiku terhadapmu. Aku tidak tahu, permasalahan macam apa yang terjadi diantara kalian berdua. Tapi hingga sekarang, aku lebih memercayai Panji Gentala ketimbang dirimu luar biasa licik ini. Bahkan- orang yang kamu kasihi pun kena imbasnya."

Tanganku masih mengepal, dadaku kembang kempis entah sejak kapan. Ingin rasanya aku berbalik badan, menuju ke kediaman rumah tanpa harus menghadapi sosok sepertinya. Merasa emosi sedang bergejolak, lebih dahulu Cutaka angkat bicara mengulur pembicaraan.

"Dasar naif, setelah kamu membencinya sekarang dirimu kembali kepelukannya? Berkacalah Awisa, apakah yang kamu perbuat itu tidak kalah keji sepertiku? Bahkan tanpa ragu kamu nyaris membunuhnya." Tersinggah senyum miring diwajahnya, demikian menambah amarahku melesat berang.

"Kamu mencari-cari pelakunya siapa yang berani melukai calon raja Sumbhara, tapi- kamu tahu? Justru selama ini yang kamu cari adalah dirimu sendiri." Kedua tangan gadis itu dilipatnya depan dada, diikuti dagu sedikit dinaikkan berjalan congkak. Memutari tubuhku kian laun tak bisa berkutik.

Bola mata memerah, dirasakan pula air tangisan menumpuk dipelupuk mata. Semakin aku mengambil napas banyak-banyak, semakin dadaku sulit mengambil pasokan udara. Kepalaku kembali gayang, akibat dalam batin terlibat rasa murka yang menggelegar.

Jadi.. selama ini yang ku mimpikan itu adalah nyata? Luka membekas tertera di dada kiri Panji Gentala disebabkan olehku sendiri? Tak lain karena rasa dendam, benci, pun cemburu melukai ego? Benarkah?

Bukan sekedar mimpi?

"Kenapa? Terkejut? Setelah ini apa yang kamu lakukan? Pergi jauh? Bunuh diri? Bagaimana bisa ada seorang gadis dusta sepertimu." Ia tak berhenti mencecar, kalimatnya seakan terngiang di kepala. Semakin rasa bersalah muncul ke permukaan, kian berkehendak-bahwa diri sendiri tak lagi pantas bersanding dengan Panji Gentala yang tak lain suamiku.

Cinta Bertakhta [TAMAT]Where stories live. Discover now