34. Keinginan

2.4K 385 6
                                    

Sambil dengerin ini musik, nyaru juga sama ceritanya. Hehehe

Dikala senja telah kembali larut, dimana sang mentari turun dari peraduan. Dalam kesenyapan malam, kian menambah suasana amat tentram nan syahdu untuk renungan. Apalagi diselingi memandang rembulan kini terang benderang, mengingatkanku akan peristiwa pelarian penuh paksa saat diriku maupun Panji Gentala diburu pasukan segelar sepapan. Sekiranya, kenangan itu masih terngiang membayangkan wajahnya yang merengut karena diriku terlalu bising berteriak.

Kepalaku mendengak, tersenyum dalam posisi bokong menduduki jendela kamar. Meski di awal terasa asing, kata tersebut tidak lagi membuatku pelak atau bahkan sungkan. Semua hal apa yang dirasa kini, dari gaya hidup, berpakaian-semua dirasa suka. Tak peduli pakaian kelewat kuno-sekiranya aku bisa menikmati kearifan lokal hidup tanpa perlu merasa diperbudak ponsel. Tak ada Instagram, Twitter, atau chatting lainnya yang tak jauh dari menggunjing banyak orang.

Keyakinan itu kian merambak, sanya aku ingin hidup dan tinggal disini. Meninggalkan kehidupan lama, yang menimbulkan sejuta beban, termasuk lingkungan masyarakat amat tidak ku sukai.

Tapi.. dengan keinginanku kekeuh seperti itu akankah alam semesta merestui?

"Apa yang kamu lamunkan, Adinda?" Ku tolehkan kepala, mendapati Panji Gentala tengah berdiri tak jauh dari ranjang. Dengan lelah, ia mendudukan diri disana. Tidak lupa perlahan ia melepas kelat bahu yang terpasang ketat.

"Hanya memikirkan hal kecil tentang duniaku. Bagaimana denganmu? Apa musyawarah berjalan lancar?" Halus mulutku berbicara, seakan sudah menyatu tutur kata-bahkan watakku selama tinggal di dunia ini setengah tahun lamanya. Meski terkadang tak jarang ada kata kasar, akhir-akhir ini berkurang untuk tidak mengumpat dan melontarkannya pada orang lain. Ah, betapa bangganya diriku bisa mengikuti tabiat mereka-mereka yang kelewat sopan ini. Walaupun sebatas memberi hormat dirasa berlebihan.

Ditanya seperti itu Panji Gentala hanya memasang seutas senyum, tak ada jawaban. Tapi dari sudut matanya yang terlihat lelah, aku mengetahui jelas bahwa perundingan tentang ekspedisi di luar daratan tanah Sumbhara itu masih diperhitungkan penuh keawasan.

"Aku penasaran tentang duniamu, bagaimana dengan pesawat terbang? Sudah lama rasanya kita tak lagi membahas hal diluar nalar seperti itu."

Bangkit dari posisi, berinisiatif duduk tepat disamping Panji Gentala. Dadanya yang bidang tanpa tertutupi apapun, ku pandang sendu. Dimana luka itu masih ada, meski sudah hitam garing tapi tetap saja rasa khawatir tak kunjung mereda.

"Lukamu-"

"Tidak apa, aku baik-baik saja." Potongnya meyakinkan.

"Aku lebih penasaran seperti apa duniamu? Apa yang kamu maksud ialah pengganti Kerajaan Sumbhara yang sewaktu-waktu akan hancur?" Tanyanya polos.

Netraku beralih pandang, memandang wajahnya yang terkadang amat dirindukan. Bahkan di siang bolong acap kali diriku memikirkannya, membayangkan bila sewaktu-waktu aku harus terpisah dengannya karena alam semesta yang meminta. Untuk sampai saat ini, tentu belum tahu bagaimana aku bisa kembali ke masa depan. Menjalani kehidupan penuh beban akan tanggung jawab, rasa-rasanya aku tak ingin berteriak pulang dan enyah dari sini. Jiwa serta ragaku telah menyatu, dengan asrinya ibu pertiwi kapan pun siap memangku puta-putrinya memberi penuh kasih.

Alam yang subur, kaya dan makmur.

"Jangan berkata seperti itu Pan-Kakanda, aku ini buta sejarah. Tak mengetahui apa-pun selain Kerajaan Singasari dan Majapahit yang tersohor itu." Penuh rasa malu aku mengungkap.

Cinta Bertakhta [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang