6. Syarat

6.5K 955 5
                                    

Ada pesan dariku :

Jangan lupakan budaya leluhur mu, hormat dengan cara melestarikan budaya. Ibarat kacang lupa kulitnya, seorang anak durhaka kepada orang tuanya.

Laki-laki yang sedang berdiri tepat dihadapan ku! Aku menatap garang padanya, yang dibalas berupa raut wajah tanpa ekspresi. Dengan posisi berpunggung tangan dibelakang tubuhnya, semakin menambah kejengkelanku padanya. Ia tampak seperti biasa saja, seakan peristiwa yang pernah terjadi bukanlah apa-apa. Andaikata insiden perkelahian itu tidak terjadi, ku yakinkan pada diriku tak akan pernah terlibat oleh masalah repot seperti ini.

Kemudian tatapanku menghunus tajam pada seorang perempuan baru saja mengejekku. Aku berdecih sinis.

"Tahu apa orang sepertimu menilaiku. Kamu siapa? Lagakmu layaknya seorang putri raja." Ujar ku, perempuan yang mengenakan pakaian jarik cokelat muda dengan motif bunga itu hanya membuang muka.

"Kamu tak pantas menghakimiku. Tak seorang pun," Lanjutku. Namun tak lama setelah mengatakan itu kurasakan sentakan keras pada kedua pundak ku, pengawal yang berada tepat di kanan-kiri menarikku paksa untuk berdiri. Berjalan beberapa langkah mendekati sang Panji tengah memicingkan mata kepadaku.

"Aku tahu gadis ini," Katanya, tanpa nada. Aku membulatkan mata jengkel. Mengapa tidak sedari tadi ia berkata bahwa aku bukanlah seorang kriminal!

Hanya diam mengamati layaknya burung gagak membuntuti.

"Dia berada di pasar beberapa hari lalu, membela seorang kakek yang tengah dihakimi warga. Siapa sangka orang sebaik dirinya bisa tersandera di sini." Ucapannya di tujukan kepada Dyah Ayu, perempuan bar-bar menatapku penuh kepuasan. Namun raut wajahnya itu tak lagi tergambarkan, hanya rasa tak enak hati juga rasa bersalah.

"Tidak becus, menyandera seseorang pun salah tangkap." Aku berujar sarkas, seraya membuang muka ke segala arah.

Raden Panji berdeham, aku tidak peduli apa yang akan di lakukan setelahnya. Kecuali jika ia mau membebaskan ku dari tempat terkutuk ini. Aku hanya ingin bebas.

"Ma-maaf Raden, hamba siap menerima hukuman." Kalimat yang diucapkan penuh kegugupan. Mengapit kedua tangannya pula dengan posisi di atas kepala. Menghadap Raden Panji tentunya.

Aku tidak ingin berprasangka hal-hal buruk tentangnya, menangkap seseorang bukanlah hal remeh. Tidak semudah menangkap ikan melalui jala, menangkap bebas tanpa ada bukti adalah sebuah pelanggaran. Apakah dia waras untuk berpikir se-rasional itu? Dia cantik, namun sangat disayangkan bertindak tanpa perlu melihat resiko. Jika aku menjadi dirinya aku tidak akan bertindak sebodoh ini, memenjarakan seseorang tanpa bukti melakukan tindak kriminal setidaknya. Betapa malunya melakukan kesalahan di depan orang banyak.

Atau.. perempuan ini tengah mencari perhatian jangan-jangan?

"Kamu tak perlu melakukan hal repot seperti ini, ini bukan tugasmu. Dya Ayu, bopomu menitipkan dirimu padaku hanya untuk menjagamu sementara. Selain mengurus kepentingan di wilayah ini tentunya." Ucap Raden Panji. Aku tidak ingin mendengar omongannya, tidak pula menguping pembicaraan yang nyatanya tak penting sama sekali untukku. Ku perhatikan orang-orang yang tadi mengerubungi kini mulai bubar perlahan. Seraya mereka berbisik-bisik betapa seorang gadis Dyah Ayu yang cantik jelita selalu melakukan kesalahan. Kalimat-kalimat itu sangat jelas terbetik oleh gendang telingaku. Ada apa pula dengannya?

Ku alihkan pandangan ke depan, yang rupanya menyisakan aku, kedua pengawal, juga Raden Panji. Tak jauh dari pandangan, aku melihat Dyah Ayu. Ku perhatikan postur tubuhnya yang langsing, amat anggun ketika berjalan lenggak-lenggok layaknya putri Solo. Memegang selendang merah erat-erat yang tergantung di lehernya. Bahunya tampak bergetar, apa dia menangis?

"Apa yang kamu lakukan sampai dia seperti itu? Keterlaluan," Bagai angin lalu aku berkomentar. Sekejap mataku benar-benar teralihkan sesuatu yang mencolok.

Ku perhatikan sebuah payung berwarna kuning emas tepat di belakang tubuh Raden Panji, aku menatap penasaran. Sedikit mendorong tubuhnya agar aku bisa melihat lebih jeli payung bertongkat bambu, uniknya payung itu memiliki tiga lapisan emas mencolok dengan lapisan paling atas lebih kecil diameternya. Aku terkagum ketika melihat seperti mahkota kecil di atasnya. Hampir saja aku menyentuhnya jika saja tak ada yang menarik tubuhku ke belakang secara paksa.

Aku memberontak, namun usaha sia-sia. Kedua penjaga yang selalu berada di dekatku tak ada lelahnya, tenaganya jauh lebih kuat dariku. Menyebalkan.

"Aku hanya penasaran," Jelasku. Mereka berdiam tanpa menyahuti.

Hingga suara Raden Panji membuat mereka tergerak.

"Kalian boleh pergi, aku ingin berbicara empat mata dengannya." Aku memandang kedua pengawal dengan postur tubuh gagah itu pergi menjauh, seraya mendengus sebal. Betapa hebatnya memiliki kekuasaan. Menyuruh sana-sini tanpa perlu melakukannya serba seorang diri. Bahkan, ucapanku yang hanya seorang tak dikenal tak membuat mereka melakukan sesuatu untukku.

"Siapa namamu,"

"Hah?" Aku menoleh, kemudian memasang ekspresi dongkol.

"Bukankah aku sudah bebas? Aku tak bersalahkan?" Aku tak menghiraukan pertanyaannya, melainkan meminta sebuah jawaban pasti. Namun sang empu hanya merespon dengan memunggungiku.

"Jika kamu ingin bebas, ada satu syarat." Ujarnya, melipat kedua tangan di depan dada. Berbalik Badan, aku terus memperhatikannya sembari membayangkan sesuatu. Ia benar-benar tampak seperti wayang kulit terpajang di rumah nenek ku, apa dia seorang Gatot Kaca?

Aku mulai memfokuskan pernyataan yang diajukan kepadaku.

"Apa itu? Yang ku tahu seseorang yang dinyatakan bebas tanpa kesalahan tidak ada hubungannya dengan semua persyaratan." Aku memicing mata tajam, jelas arah pembicaraan ini pasti memiliki maksud tertentu, Aku menjadi ingin tahu apa yang dipikirkannya. Apa yang ia mau dariku?

"Tidak masalah jika kamu ingin disandera lagi," Dengan santainya ia berkata.

"Punggawa-"

"Baiklah-baiklah, aku akan menurutimu. Apa yang kamu inginkan." Refleks, aku memotong ucapannya. Memegang tangannya berupaya ia tidak benar-benar melakukannya. Aku tidak tahu punggawa untuk sebutan apa kepada siapa, tetapi yang jelas dan pasti akan mendatangkan kedua pengawal itu untuk menyeretku kembali ke tempat gelap nan pengap.

Senyum kemenangan tersungging di bibirnya, wajahnya semakin tampan jika seper- ya Tuhan! Aku tidak akan menyukai orang sombong sepertinya kan? Memakai kekuasaan untuk menekan ku.

Tapi—apakah sunguh tak ada lagi cara lain? Menyetujuinya sangat mungkin bukanlah hal baik.

"Setuju atau tidak, kamu harus melakukannya untuk ku." Perkatannya terdengar mengerikan, seolah aku menjadi calon budaknya. Aku merespon bergidik jijik. Adakah seorang bangsawan bertingkah laku seperti ini? Ku pikir ia sangat bijaksana. Siapa sangka dibalik wibawanya memiliki seribu muslihat tak terlihat?

"Aku setuju karena kamu memaksa. Tak ada pilihan lain, aku menuruti mu. Tetapi bukan berarti kamu berhak melakukan apa pun atas diriku." Aku berujar tajam, diselingi tatapan intimidasi. Sayangnya sosok di hadapanku kini tak merasa gentar menatap balik kedua mataku. Justru dengan mata setajam elang menelusup lebih dalam bola mata ku. Aku nyaris gugup dibuatnya. Sial.

Cinta Bertakhta [TAMAT]Where stories live. Discover now