27. Persis?

3.3K 434 26
                                    

Malam telah lalu, tergantikan matahari tengah menyongsong menduduki kembali pada takhta. Bersinar bersama embun pagi menjadi pengiring, amat setia untuk selalu meninggalkan jejak. Hangat dan kesejukan sekaligus kini ku rasakan.

Dalam tiga hari ini, tiada kemajuan pada Sanskara yang belum sadar dari komanya. Pula tiga hari ini, diriku merasa kosong tanpa Cutaka. Hilangnya sosok sepertinya membuatku memikirkan bagaimana keadaannya sekarang, apa dia baik-baik saja?

Termangu menyaksikan pesona Ibu Pertiwi menjadi rutinitas pagiku kini, terkadang senja ku nikmati walau barang sejenak. Menilik kembali keadaan tanah air yang terlihat masih jauh lebih baik dari polusi mencemari segala aspek kehidupan.

Pikiranku semakin melantur tatkala hati berkata,

BIsakah aku disini untuk selamanya? Tanpa perlu kembali?

"Melamun di pagi hari memang bukan suatu contoh yang baik,"

Ternanap kaget diriku membalikkan badan, mendapati Panji Gentala disertai ayemnya membuatku tak berani membalas kata. Untuk seukuran pangeran sepertinya, karismanya tak bisa ku tentang sekalipun dalam perbincangan sepele. Ini sangat jauh yang ku rasakan sebelum aku berhubungan baik dengannya.

Kedua tangannya berpindah, berpunggung tangan dengan wajahnya menatap alas didepan netra. Menghirup napas dalam, secara tidak langsung aku mengartikan betapa beratnya beban yang dihadapinya saat ini.

Aku mengulum senyum, mengikuti arah pandangnya.

"Sanskara belum ada tanda-tanda untuk sadar, jika pun nanti sore belum melek juga segera aku akan membawanya ke kediaman."

Sigap aku menengok, menarik anak rambut kebelakang telinga.

"Aku akan ikut? Lalu bagaimana dengan paviliun Cutaka?"

Selang detik kemudian ia menatapku, memberi respon berupa bibirnya membentuk senyum garis lurus.

"Mengapa kamu memikirkannya? Paviliun ini bukan millikmu, pula bukan urusanmu. Tentu kamu harus ikut."

"Tapi-" Tak ada adab, seenak jidat memotong pembicaraan.

"Kita tidak bisa berdiam disini Awisa, maafkan aku karena ada beberapa hal yang harus ku lakukan segera diesok hari." Penjelasannya yang ringkas membuatku terbungkam, tepat setelahnya ia melengang pergi dari hadapan.

Sebanyak apapun aku berpikir keras, tiada juga hasil tebakan tindakan macam apa yang dilakukan Panji Gentala. Apalagi sikapnya agak aneh hari ini, semakin aku memikirkan apa yang sedang terjadi padanya.

Seperti sensi? Bahkan baru saja ia melakukannya.

-

Peristiwa tadi pagi memang tak bisa dielak kalau Panji Gentala memang terlihat jengkel, untuk memberi alasannya mengapa pun aku tak mampu menjabarkan.

Tidak membuang waktu selepas dari sana, aku memasuki kembali kamar Cutaka dimana lukisan lontar itu terpajang. Ditempat itu pula Sanskara diistirahatkan dengan keadaannya yang pucat, pula bibirnya kian membiru bak orang kedinginan. Untuk memberikan pertolongan pun aku tak punya nyali selain mendoakan kesehatannya kembali pulih.

Lamban aku menghampiri, duduk disisi ranjang mengamati tubuhnya dari dekat. Matanya terpejam tenang, begitu pula hembusan napasnya teratur. Aku tidak bisa mengatakan sanya ia baik-baik saja, tidak ketika dadanya yang berlubang itu nampak mengeluarkan darah meski telah diobati dan diperban dengan putihnya kain polos.

Menghembus napas kasar, ku pandang sekali lagi Sanskara dengan jeli. Memandangi setiap sudut lukanya terdapat beberapa goresan panjang hasil pertikaian kemarin, sekiranya luka-luka itu telah mengering.

Cinta Bertakhta [TAMAT]Where stories live. Discover now