8. Pesan

6.6K 836 5
                                    

Sanskara datang menghampiri, dia telah berganti pakaian dengan kain pinggang berwarna hitam polos tanpa corak. Juga memakai ikat udeng terpasang di kepalanya. Rambutnya yang agak panjang begitu berantakan, hingga ikatan yang terikat menjadi tidak rapi. Wajahnya dipenuhi keringat, dengan napas menderu dia tersenyum.

"Aku mencarimu, ku yakin kita bisa menjadi teman yang baik." Ujarnya. Aku merasa ada yang janggal, tetapi tidak bisa mencurigainya begitu saja tanpa bukti. Tidak ingin pula berburuk sangka seperti yang dilakukan Dyah Ayu yang di puji akan kecantikannya itu.

Dia duduk di kursi yang terbuat dari bambu, menyandarkan tubuhnya seraya menatap bulan. Aku masih berdiri, sebagai pemilik rumah pun~untuk saat ini~aku belum mempersilahkannya duduk.

"Aku ingin meminta bantuan mu, boleh tidak?" Tanyanya, tanpa menatap ke arahku. Aku melipat kedua tangan didepan dada, sembari menyingkirkan anak rambut ke belakang telinga.

"Bagaimana bisa, aku tidak mengenalmu. Tetapi dengan tidak tahu malunya dirimu meminta bantuan ku." Aku menatapnya malas, tidak peduli saat ini dia memandangku sebal.

"Membantu orang itu tidak perlu memandang apapun, asal kamu tahu. Kecuali pada orang yang berniat buruk." Sanskara berujar penuh dengan sok pengetahuannya.

Aku mulai tak sabar, "Maka itu patut di pertanyakan. Aku tidak tahu apakah niatmu baik atau buruk,"

"Mendekati seorang gadis, kamu pikir itu niat buruk?" Sarkasnya. Aku memandangnya tak percaya, apa tak ada lagi orang lain yang ingin membantunya? Mengapa harus aku?

Ku rasakan semilir angin mulai menyergap kulit, merinding akibat menggigil. Benar-benar tak mampu diriku untuk beradaptasi dengan cepat disini, tidak seperti Sanskara. Yang jika perhatikan duduk bersantai ria tanpa gangguan, sekalipun bertelanjang dada.

"Baiklah, aku akan membantu. Sekarang, berikan aku sendal kayu mu." Aku memintanya, segera dia memberikannya padaku. Cukup pas, walau agak kebesaran.

"Hei, bahkan aku tidak tahu namamu." Masih di posisinya yang sama, Sanskara menanyai ku. Tatapannya terus memandang rembulan, sekalipun tertutupi awan gelap. Ku perhatikan wajahnya dalam diam, tatapan matanya tampak kosong. Wajahnya penuh kesedihan, seperti mempunyai beban kisah kelam dibaliknya.

"Kamu bisa memanggilku Isa, sebut saja begitu." Air mukanya berubah dalam sekejap, dengan khas cengirnya dia memandangku. Aku mendelik jijik, sebegitu senang kah dia mengetahui namaku?

Sanskara bangkit dari posisinya, mendekatiku seraya menunduk hormat. Seperti biasa, kedua tangan diangkatnya di atas kepala. Aku menatapnya heran.

"Kamu kenapa?" Sanskara tidak menyahutiku, kali ini tak ada cengirannya yang khas. Hanya sebuah senyum melengkung ke atas penuh ketulusan, mungkin?

"Besok, kamu harus bangun pagi-pagi. Pakailah pakaian yang akan diberikan abdi dalem, sekaligus mendandani mu. Aku ingin melihat betapa serasinya kamu di esok hari. Setelah itu, aku akan mengajakmu ke sungai. Kebiasaannya yang suka berendam di siang hari." Ujarnya. Untuk kali ini, aku tak bisa mengontrol ekspresi.

Mencoba mencerna kembali perkataannya, yang berakhir terpasang tampang bodohku begitu kentara. Sanskara menatapku penuh humor, tertawa keras sampai-sampai bibirnya yang tipis itu terbuka lebar mengalahi jari-jarinya menutupi mulut.

Aku benar-benar tak mengerti apa yang dibicarakannya, apa pula pergi ke sungai melihat kebiasaan seseorang? Apa itu incaran gadisnya? Lalu masalah esok pagi, apa ada sesuatu hal penting? Semakin lama bermimpi cara berpikir logisku semakin menurun.

"Sanskara, aku akan menarik kata-kataku jika kamu tidak segera menjelaskannya." Aku mendelik tajam ke arahnya.

Dia menghiraukan perkataanku, tak ada sepatah kata yang terucap. Kecuali tersenyum melengkung terlihat tulus, mungkin?

Cinta Bertakhta [TAMAT]Where stories live. Discover now