23. Dongkol

3.5K 498 21
                                    

Kedua kaki terus melangkah membelah malam, termangu dalam kesendirian. Akal tanpa paksa terngiang kembali mengingat insiden baru saja. Tidak tahu perbuatan macam apa yang ku lakukan dimasa lalu hingga mendapat karma luar biasa mengerikan.

Seperti membunuh sesama makhluk demi balas dendam, bukanlah hal baik. Meski terjadi sekedar imajinasi bukan berarti diriku bisa meremehkan semua perkara.

Bagaimana kalau mimpi itu akan kembali terulang dilain waktu? Tentu saja aku mewanti-wantikannya seumur hidup.

Sejenak, aku membuang napas pelan. Alih-alih memandang bulan tergantung tepat diatas kepala, ku angkat lengan kanan tatkala merasakan sejentik air jatuh membasahi telapak.

"Hujan?" Aku bergumam, seraya memutar bola mata sekeliling. Bumantara telah menunjukkan waktu tengah malam, dan gadis patah hati itu belum kembali juga dengan janjinya memboyong seekor kuda. Kemana ia?

Aku nyaris buntu gagasan selain meneduh diri dari hujan kian menjadi-jadi. Berlari kecil menuju gerai teras yang telah tutup ditinggal sang pemilik. Disisi lain mungkin saja aku kembali tanpa Cutaka, namun menjadi sebuah urusan tatkala arah jalan pulang menuju rumahnya pun aku tak ingat. Malah, sejadi-jadinya repot kalau sampai bertemu makhluk buas.

Masa iya diriku harus tidur disini? Bagaimana kalau bertemu sekelompok bandit? Apalagi bertemu bidak catur sang putra mahkota? Betapa aku sangat menghindarinya untuk beberapa waktu kedepan.

"Awisa!"

Ketika hujan benar-benar turun lebat, aku kembali menjajap sekitar. Dari arah timur Cutaka hadir ditemani seekor kuda hitam legam yang ditungganginya, berderap acap menyaingi derasnya hujan. Berteriak kencang sebagai bentuk responnya dalam mengendalikan kuda, dan pada detik itu juga aku mengulum senang.

"Kamu baik-baik saja? Aku khawatir mungkin saja kamu akan pingsan tergeletak dijalan. Jagat Dewa Batara, syukurlah kamu tak apa." Semarak hujan menjadi penghalang bagi perantara suara, amat terpaksa apa yang dikatakan Cutaka ku sambut berupa anggukan meski tidak mengerti apa yang dibicarakan. Bahkan guruh sahut menyahut seakan menunjukkan eksistensinya memperjelas cuaca tengah mendesakku untuk segera berlindung.

Sigap Cutaka segera menghampiri, lalu bantu memapahku menaiki kuda. Untuk sekarang aku merasa baik-baik saja, rasa gayang itu perlahan hilang entah kemana. Tidak tahu apa karena air hujan membuatku sembuh, atau karena rasa gembira bisa kembali ke rumah. Sontak, ku lepas tangan Cutaka terlilit dilengan.

"Tidak perlu, aku baik-baik saja." Ujarku memberitahu, sedikit mengeraskan suara. Tak ada respon lain yang diberikan selain mengangguk kepalanya, menatapku ejek. Seakan mengartikan, 'Sudah tidak butuh bantuanku, huh?'

Meski begitu aku tidak peduli, selain menunggunya menyusul naik lalu mengenderainya kembali masuk kedalam hutan. Rasanya berlama-lama mendengar petir disusul kilat beruntun digelapnya hari bisa menumpulkan nyali.

-

Esok paginya, hujan tampaknya senang untuk terus mengguyuri kota Sandari. Tiada jeda sekalipun bertempat tinggal di lereng gunung, keberadaannya menambah suhu menurun ekstrim.

"Apa hujan selalu seperti ini? Sampai sekarang pun masih, derasnya justru makin-makin."

Ditemani secangkir teh, aku berujar sembari menyesapnya hati-hati. Memegang cangkir dengan ukiran sepasang merpati itu erat-erat saking menggigil tak berkesudahan. Sedangkan Cutaka, sangat berbeda apa yang dilakukannya.

Aku berpikir, untuk seorang gadis yang telah hidup dijaman kuno seperti ini hujan tidak apa-apanya. Lihat saja bagaimana ia tengah asik menyalakan api tungku menggunakan sepasang batu, layaknya beruang kutub tak terganggu rendahnya suhu menjalari kulit.

Cinta Bertakhta [TAMAT]Where stories live. Discover now