2. Temu

12.5K 1.2K 24
                                    

Aku terpekik kaget, terbangun dari posisi tidur. Melihat sekeliling ternyata itu benar-benar mimpi. Apa yang ku lakukan baru saja memicu adrenalin bukan main. Yang benar saja, mana ada lelaki perempuan. Meski diawal diriku sendiri terlihat bak pahlawan, tapi dengan tangan melayang tentu saja sedikit membuatku gentar. Bisa meruntuhkan pamor, sekaligus rasa perih membekas di pipi.

Mengelap keringat bagian wajah dengan telapak tangan, mengucur begitu deras dari dahi. Kemudian ku lirik jendela kamar, menunjukkan hari sudah petang. Bahkan angin mulai bertiup pelan, tetapi mengapa aku begitu merasa gerah? Atau mimpi tadi benar-benar memengaruhi?

"Wedok, Aduse. Wes peteng." Ibuku berteriak dari lantai bawah, bergegas membersihkan dirii kemudian belajar.

"Nah, besok hari Sabtu. Libur toh? Ibu ada rencana untuk jenguk Mbah mu. Dia sakit, mungkin agak lama Ibu disana. Sekitar seminggu." Aku mulai terduduk leseh, menikmati makan malam dengan sepiring nasi yang ku bawa. Yang diisi ikan teri, daun singkong, dan kentang pedas. Ini salah satu makanan favorit, makan dengan lahap sembari mendengarkan perkataan Ibu.

"Ayah mu juga ikut ke sana bareng ibu, kamu mau ikut ndak?" Ujar Ibu lagi, aku menggeleng. Tidak berusaha untuk menjawab, meneruskan kunyahan hingga selesai.

"Ya sudah, hati-hati di rumah. Kakakmu pulang dari Semarang dua Minggu lagi. Ibu dan ayahmu akan pergi malam ini, jadi kamu di rumah sendiri. Berani kan, kamu ndok?" Mengangguk kedua kalinya, meski tidak begitu paham apa yang dikatakan. Aku ingin belajar lalu cepat-cepat tidur, berharap bisa melakukan apa saja dalam mimpiku itu. Tampak seru, walau sejujurnya tak dapat dimengerti mengapa bisa bermimpi hal semacam itu.

Ketika langit menggelap, hanya diterangi sang rembulan. Segera ku tutup buku matematika beserta antek-anteknya, akhirnya pula memahami apa yang tak ku mengerti dua Minggu terakhir ini. Membuatku layaknya orang bodoh saat guru menerangkan, bertanya pada teman pun ia enggan untuk menjawab.

Kurenggangkan badan, hingga menghasilkan suara tulang menggemaskan. Lalu meminum segelas air dingin yang ku suguhkan tiap malam saat belajar. Untuk merilekskan otak yang habis berpikir keras, bahkan kini merasa kepala terasa sedikit pusing.

Sesaat ingin turun ke bawah upaya menaruh gelas yang ku minum tadi, aku menyadari sepinya rumah tak ada orang. Aku mengingat hari, sekarang hari Jum'at tanggal 15 dan kakak tunggalku seharusnya pulang ke Jakarta. Tapi, mengapa hanya aku sendiri? dimana ayah dan ibu? Apa mereka sudah berangkat malam ini?

Menoleh ke arah jam dinding, ternyata waktu menunjukkan pukul 11 malam. Ya Tuhan, mengapa begitu tak ingat waktu. Segera langkah kaki bergegas ke kamar lalu pergi tidur, tentu saja dimatikannya lampu kamar terlebih dahulu.

Aku menggeliat, dirasa amat nyaman kasur yang ditiduri kini. Rasanya tiada kasur lebih empuk lagi ketimbang kasur busa milikku, itulah salah satu alasan membuatku malas keluar rumah. Lebih baik dan berguna mengumpulkan waktu luang untuk rebahan.

Tetapi, cuaca semakin dingin. Bulu kudukku terasa merinding terkena sapuan angin, tangan pun mulai tak bisa diam bergerak kesana-kemari mencari selimut. Menjadi sebuah kebiasaan bila memakai selimut dengan kaki kanan selalu di luar, atau melepasnya tanpa sadar. Karena merasa gerah, yang pada akhirnya merasa kedinginan.

"Dimana,"

Aku mengeluh dalam tidur, mendesah tak sadar. Hal yang paling menyenangkan saat sedang bermimpi indah, berada di sebuah taman. Yang terdapat banyak makanan begitu lezat, sekali penyajian pun sepertinya tak cukup ku habiskan sendiri. Itu hampir membuatku mati kekenyangan.

"Bangunlah," seseorang menepuk pipiku, segera hempas tangannya tanpa tahu siapa gerangan. Menyebalkan, pasti kakakku yang menganggu karena kepulangannya minggu ini.

"Diam kak! Aku tidak mau di ganggu."
Aku meronta kasar, setelah itu tak ada yang mengganggu. Disaat mulai memfokuskan diri untuk bermimpi kembali, aku terkejut bukan main.

BYUR!

Terbangun, megap-megap layaknya ikan hidup di darat. Kurang ajar, kakakku memang selalu memancingku untuk bertarung. Bertarung bela diri siapa paling unggul di antara kami.

"Kak-!!" Aku melihat sekeliling, semua tampak kuno, satu kesan pertamaku disini. Berada di sebuah gubuk dengan atap terbuat dari daun tebu. Dan dinding yang terbuat dari anyaman, atau tepas. Lalu, di pojok ruangan terdapat guci-guci antik bermotif bunga. Meyakini, guci tersebut masih terpakai hingga sekarang. Baru menyadari pula bahwa diriku berada di kasur nan empuk ini. Pantas empuk, pikirku. Bila yang terbuat dari kasur ini adalah kapuk.
Kasur kapuk adalah salah satu kasur yang dibuat secara manual. Jarang orang membeli, karena bila sudah terkena air maka akan keras dan tak nyaman ditiduri.

Kemudian pandanganku jatuh kepada seorang lelaki, membawa sebuah guci di tangan kirinya yang kekar. Menatapku marah, mengunci pandang melototiku. Tidak tahu apa yang telah diperbuat, tapi tampaknya ia tak suka apa yang ku lakukan saat ini.

Jika dicerna kembali, aku juga tidak terima di perlakukan seperti ini. Sedang tidur, dan ia menyiramku. Begini kah orang kuno membangunkan seseorang tanpa etika?

"Mengapa kamu menyiramku? Apa salahku!?" Aku menaikkan satu oktaf di akhir kalimat. Melihat dari raut wajahnya Ia nampak terkejut, kemudian alisnya mengerenyit dalam. Wajahnya berubah kian garang.

"Aku membantumu, gadis tidak tahu diri. Masih lebih baik aku menyelamatkanmu, atau tidak merahlah pipimu yang tirus itu." Aku menggeram tidak terima. Segera ku alih pandang.

"Astaga!!!" Ia terjingkat, teriakanku mengagetkannya. Aku tak peduli, apa yang dilakukannnya saat ini ingin sekali memukulnya. Tak berpakaian, hanya menggunakan jarik pada bagian bawah. Ia terlihat begitu dekat denganku, bahkan bisa memandang dada bidang menggiurkan tanpa sehelai benang disertai perut kotak-kotak eksotis.

"Kamu kenapa?" Ia bertanya, begitu dongkol melihat tingkahku. Aku tidak peduli, selain mendorong tubuhnya hingga terjengkang. Dilanjutkan berlari tunggang langgang, menjauhkan diri agar tak membuatku memikirkan satupun pikiran kotor.

"Dasar gadis kurang ajar,"

Cinta Bertakhta [TAMAT]On viuen les histories. Descobreix ara