19. Sandari

3.9K 571 21
                                    

Lima hari kemudian diesok paginya, disaat kondisi tubuh mulai membaik ku putuskan untuk lebih berani merapah sekeliling. Cuaca masih terasa sangat dingin meraba kulit, namun tidak menyudutkan ku untuk berhenti menjelajah, sekiranya diriku harus cukup tahu lingkungan sekitar agar tidak tersesat suatu saat.

Ditemani embun dini hari, lekas kedua kaki melangkah mendekati sebuah gubuk kecil tak jauh dari tempat ku tinggal. Temaram memang, tetapi dengan adanya obor tiada arti menganggu rasa penasaran ku kembali celik. Perlahan, aku masuk dan mengintipnya sesekali.

Rupanya terdapat puluhan kampil berukuran besar juga merang yang teronggok rapi, beberapa diantaranya ada pula singkong serta umbi-umbi lainnya tergantung apik. Jadi, inikah yang disebut lumbung pangan?

Kembali aku dihalaman yang luas bak lapangan sepak bola, berjalan diatas rumput hijau yang terdapat bebatuan andesit tersusun dempet membentuk setapak jalan. Sekilas seperti di aspal, padahal jaman seperti ini ku rasa belum ada. Meski demikian, bukan main aku dibuat terjelengar karenanya.

Tanpa sengaja pula, bola mata ku terpaku pada setiap atap bangunan. Menilik takjub dengan tembikar kokoh sebagai bahan utama penyusunannya, disertai beberapa pula ukel berbentuk burung turut menghias. Oh, dan jangan lupakan pilar bangunan dengan umpaknya berbentuk piramida sebagai penopang. Betapa rumitnya konstruksi macam ini.

Ku cerup napas dalam-dalam, siapa pun yang menikmati asrinya alam akan tercengung. Tersihir karena pemandangan, terpana karena memiliki keanaekaragaman segala macam hal yang selama ini terpendam dalam babad. Semua hal keindahan dimasa seperti ini tak pernah tercatat oleh sejarah, kecuali mencantumkan betapa kayanya pulau ini akan rempah-rempah.

Uh, sebagai generasi bangsa. Tidak menjelaskan secara langsung bahwa aku cucunya merasa malu mengetahui ini.

"Sudah bangun ya,"

Aku berpaling, menduga bahwa suara yang perlahan ku kenali adalah Cutaka. Bahkan dengan matahari yang belum menapakkan diri, gadis dengan rambut disanggul elok itu sudah berdiri di hadapanku. Dia sudah mandi? Di pagi buta seperti ini?

"Ya, tidur ku terlalu nyenyak. Sampai-sampai tak ada waktu lagi untuk berdiam diri di dalam." Aku tersungging, menatap Cutaka berjalan anggun ke arah ku.

"Aku rasa kamu bukan gadis yang bisa ku sepelekan ya," Terdengar seperti menyanjung, diikuti gerakan jari-jari lentiknya menempel di dagu. Mendengarnya berkata demikian membuat ku tergelak sumbing terasa skeptis untuk ditebak.

Itukah sebuah pujian? Atau sindiran?

Masih digandrungi tawa, aku kembali berbicara.

"Kalau begitu, bersediakah kamu menemani ku menjelajahi seluruh seluk-beluk rumah mu ini?" Ku alihkan tatapan memandang hijaunya pepohonan tepat di depan mata. Sangat kontras perpaduan birunya langit cerah yang perlahan muncul sang baskara memamerkan sinarnya. Oh, betapa cuaca sangat mendukung tatkala kicauan burung memenuhi indra pendengaran, bersamaan pula suara jangkrik sayup-sayup tak lagi terdengar.

Tampak jelas, pemandangan elok benar-benar tersuguhkan.

"Baiklah, ayo. Akan ku pamerkan betapa indahnya paviliun milik ku." Selepas mengatakan itu Cutaka membalas penuh seringai. Sedetik kemudian, gadis itu pun bergegas menarik tangan ku mendekati gapura pintu utama paviliun miliknya yang cendayam tiada tanding.

Langkah ku terjeda, pandangan ku tak henti menajajap sekeliling terperanjat kagum. Menyadari apa maksud Cutaka sekarang, paviliun indah bak surga indralaya terarungi oleh gunung dan hutan.

"Bagaimana menurutmu? Bertempat tinggal di kaki gunung? Sangat baik berjarak dari kota Sandari." Lagi-lagi fokus ku berpindah pada apa yang diucapkan Cutaka. Sumringah adalah riak muka yang terisi saat ini. Dibentangkan kedua tangannya, diikuti matanya yang terpejam ayu.

Butuh beberapa waktu untuk mengembalikan kesadaranku dari sirepnya ibu pertiwi.

"Kota Sandari? Apa maksudmu?"

Aku tidak mengikuti gerakan apa yang dilakukan Cutaka, yang justru mengingatkan ku pada film Titanic mengisahkan betapa romantisnya jack dengan rose. Jika aku mengikutinya itu terasa... ya sudahlah. aku tidak peduli, ini bukan menjadi sebuah persoalan.

"Kamu tidak tahu? Kota Sandari masih wilayah Kadipaten, yang telah diberikan oleh yang mulia raja pada kakaknya beberapa tahun lalu." Terbesit kekejutan terlukis diwajahnya. Dengan muka penuh tanya, ku tatap Cutaka yang justru menatapku tercenung.

"Payah juga dirimu. Sungguh kamu sama sekali tidak mengetahui apa pun?" Cutaka yang sama padat ingin tahu hanya memandang lamat-lamat. Diintimidasi seperti itu pun aku mengangguk rendah.

"Untuk saat ini yang memimpin wilayah kadipaten adalah Tuan Argapati, tetapi ada kemungkinan kota Sandari akan dikuasai oleh keponakannya. Raden Panji Gentala."

Apa katanya?

"Dua tahun lalu yang mulia raja wafat, yang tersisa dari keluarga inti adalah hanya anak tunggalnya. Yaitu Raden Panji Gentala Pandya Maheswara. Tetapi.. desas-desus yang ku dengar sanya Tuan Argapati sendiri sangat ingin untuk menikahkan anaknya dengan Raden Panji. Kamu tahu kan? Pernikahan saudara."

Aku menyapu pandang dalam bisu. Berpikir bahwa lepas dari jeratannya adalah yang terbaik meski merasakan sakit dari pengkhianatan berupa segala kebohongan demi meyakinkan ku menjadi umpannya. Namun jika dipertimbangkan kembali... faktanya sejauh apapun dari Panji Gentala, ada kemungkinan pertemuan kapan saja bisa terjadi.

Kemudian, menyimak kembali apa yang dijelaskan Cutaka. Persoalan seperti itu tidak dapat disimpulkan menjadi sebuah alasan tunggal. Sampai Panji Gentala sendiri pun berani bertindak senekat itu untuk menikahiku upaya menghindari pernikahan saudara yang diajukan oleh pamannya. Karena diantara pamannya pula dengan Panji Gentala sendiri memiliki hubungan kurang baik.

Tapi.. mendengar nama sang paman terasa sama kali terakhir mimpi tentangnya ya? Mengapa hal serupa ini bisa terjadi? Adakah pengaruh dari lintas waktu?

"Lalu, bagaimana dengan singgasana raja?" Masih terpampang wajah penuh sumringah, seulas senyum tak pernah lepas dari bibir Cutaka.

"Hm.. sebenarnya bisa saja Raden Panji menaiki takhta. Tapi ku rasa beliau tidak ingin menduduki kekuasaan itu karena untuk saat ini bukanlah hal tepat. Perselisihan antara ponakan dan sepupu keluarga kerajaan menjadi perdebatan dikalangan rakyat. Bahkan ku dengar, kian hari hubungan mereka kian renggang." Mengehela napas pelan Cutaka membalas.

Dahi ku mulai berkerut, menelisik kata per kata untuk dicerna. Masalah internal yang dialami keluarga kerajaan terdengar rumit. Sampai saat ini aku tidak menduga bahwa sesama makhluk yang memiliki hubungan sedarah pun retak entah dari perkara macam apa hingga separah itu.

"Sudahlah, jangan dipikirkan. Masalah takhta, kekuasaan memang tak ada habisnya. Bukan urusan kita selagi hal semacam itu tidak merugikan kawula." Melipat kedua tangan depan dada, Cutaka berkata penuh ceria. Sekiranya, saat ini tak ada sifat dinginnya yang ku lihat semalam. Seratus delapa puluh derajat amat berbeda, gadis aneh.

"Awisa, ayo masuk. Saatnya minum teh." Cutaka memungkas, tanpa aba-aba perempuan jelita khas jawa itu masuk ke pavilliunnya yang lengang meninggalkan ku terpaku pada topik perbincangan singkat di pagi hari.

"Baiklah, bukan ide buruk."

Cinta Bertakhta [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang