14. Kompor!

5.2K 829 30
                                    


Aku sebenarnya galau, pengen cepet-cepet up date. Aku takut kehilangan gaya menulisku, jadi beberapa part ada yang ku hapus dan ku tulis ulang agar nyambung sesuai alur, juga diksi kata yang pas. sudah itu saja, selamat menikmati.

Di siang hari aku disibukkan dengan membersihkan diri pada sebuah sumur kecil yang tersuguh dihadapan, adalah suatu keberuntungan kian mempermudah mendapat mata air. Dalam balutan jarik, ku siram tubuhku dengan air sumur menggunakan batok kelapa. Kekhawatiran ku luput kalau-kalau ada yang mengintip, toh, di sekeliling sumber mata air ini dipagari anyaman bambu,~atau orang jawa dikampung ku sering menyebutnya "Gedhek". Walau terdapat lelubang kecil pada anyaman bambu tersebut pun aku tak peduli selama diriku masih terbalut kain.

Cuaca tampak cerah, seakan mendukung perasaanku yang tenang tanpa usik. Sembari mandi ku tatap langit lamat-lamat, tak terbayangkan dalam hidupku bahwa aku bisa menikmati hal kecil memuji indahnya ibu pertiwi.

Selanjutnya ku sudahi mandi, segera menyalin pakaian yang telah disiapkan. Siapa lagi jika bukan Sanskara yang melakukan, tampaknya punggawa Raden Panji yang satu ini telah berganti profesi menjadi asisten pribadiku.

Aku keluar dihadiri senyum sumringah, Sanskara segera menghampiri dengan jauh sekitar tiga puluh meter dariku. Dia memberiku sisir dari bahan berupa kayu, atau tepatnya tampak seperti sisir untuk mencari kutu. Mungkin itu sebabnya orang zaman kuno memiliki rambut lurus dan panjang yang tak pernah kusut.

"Berganti haluankah dirimu untuk melayaniku?" Aku berujar sarkas, yang dibalas dengan cengiran khas olehnya. Sanskara, lelaki ini nyaris lantip mengubah sikap dalam hitungan detik. Siapa sangka jika beberapa waktu lalu membuatku kesal, kini tengah menebar serengit tanpa rasa bersalah.

"Atas perintah pangeran aku melayanimu, jika saja Simbok Yetri disini sudah pasti aku meminta bantuannya."

"Aku tak peduli," pungkasku, masa bodoh. Kemudian melangkah kaki menuju tebing. Pada dasarnya gubuk milik Raden Panji ini memang berada ditepi tebing dan jurang, sebab itulah diriku tahu karena pernah menjelajahi kali pertama datang kemari.

Aku terduduk diatas batu beralas lumayan lebar untuk menduduki bokong. Sembari bersandar pada pohon pinus tepat dibelakang punggung, ku pejamkan mata dengan imajinasi yang telah terjerat oleh lembutnya jagat raya.

Tak butuh waktu lama, seseorang menaruh sesuatu diatas pangkuanku tengah berselonjor kaki. Aku membuka mata perlahan, rupanya Sanskara berdiri disebelah kiriku.

"Aku benar-benar harus melayanimu,- bukan. Lebih tepatnya merawatmu seperi balita berusia dua tahun. Perlukah aku menyuapimu?" Kali ini, Sanskara menyindir garis keras. Melipat tangan di depan dada, dia berceloteh. Jika dipikir ulang pun aku sama sekali tak membuat repot dirinya kecuali menyiapkan pakaianku tentunya. Hmm, atau sama saja ya?

"Sudah?" Ku angkat alis kiriku, diiringi senyum bibir bergaris lurus. Lalu fokus membuka rantang bambu yang rupanya berisi makanan berupa nasi, tahu, tempe serta lalapan dan sambal. Woah, jadi sudah sejak zaman inikah makanan kesukaanku telah ada?

"Silahkan dinikmati, tuan putri. Aku akan menunggu di dalam jika dirimu benar-benar butuh bantuanku." Aku tak acuh, ketika Sanskara menunduk hormat lalu berjalan mejauhiku. Selepas kepergiannya ku mulai santapan setelah menyingkirkan sisir bambu sejenak dan mengaitkannya di rambutku.

***

Tanpa terasa cuaca telah berganti senja, merenggangkan badan adalah hal yang tepat setelah tertidur diatas batu dengan kipasan angin membuat tidurku kian pulas.

"Segeralah bersihkan diri, pakaianmu sudah ku taruh dekat sumur. Malam ini kita akan kembali ke kediaman." Kalimat tegas terlontar tertuju padaku, layaknya seperti seorang ayah mengomeli putrinya. Sanskara kembali bersidekap berdiri tak jauh beberapa meter dariku. Aku hanya diam mematung mendengarkan, walau sebenarnya masih mempersatukan kepingan nyawa yang belum terkumpul.

Cinta Bertakhta [TAMAT]Onde histórias criam vida. Descubra agora