15. Kejaran

4.7K 697 21
                                    

Aslinya gak up date hari ini, tapi... Yaudahlah, Kalian pasti mengerti kenapa aku up date walau sebenarnya pun tanpa niat. Wkwk.

Mohon maaf lahir batin kawan-kawan. 🙏✨

Baiklah, aku merasa menyesal atas ucapanku barusan. Membuang muka masam adalah hal yang terbaik demi menghindari bersitatap dengannya. Pada detik ini, Raden Panji dengan pakaian jarik kuning mencolok serta sebuah selendang berwarna hijau di pundaknya berdiri diambang pintu penuh serengit. Segenap langkah tegap, ia melangkah masuk mendekat ke arah Sanskara. Bahkan di gelapnya malam pun tak bisa dipungkiri auranya yang kental penuh kekuasaan itu nyaris nyata untuk dirasa.

"Gusti Pangeran," Sanskara berbalik badan, kakinya berlutut jantan bak seorang perwira. Dibalas Raden Panji berupa mengangkat telapak tangan kanannya upaya segera bangkit dari posisi.

"Kamu pergilah dahulu, biar aku menyusul bersama 'istriku'. Jika ada yang bertanya terutama Dyah Ayu, katakan padanya bahwa aku sedang menemui Penggawa Marga." Titah telah diturunkan, dengan menekankan satu kata ia berujar penuh ketegasan. Tanpa embel-embel pun Sanskara lekas bergegas berlalu dari hadapanku.

kemudian, hening.

Suara jangkrik sangat pantas untuk mengisi keheningan yang melanda malam ini, bahkan diikuti pula sapuan angin dari celah jendela membelai kulit sampai-sampai bulu kuduk merinding. Aku mengusap kedua pundak, sembari menatap arah lain seakan tidak peduli akan kehadirannya. Diriku terlampau tidak tahu malu atas ucapanku beberapa waktu lalu hingga salah tingkah seperti ini, ugh sial.

"Jadi, istriku. Maukah kamu pergi berkuda bersama ku?" Pada akhirnya Raden Panji lah yang bersedia singkap suara. Walau demikian, ditanya kalimat seperti itu aku hanya menoleh seraya menatapnya seksama.

"Ku rasa bukan waktu yang tepat berpergian di malam hari. Dan.. tampaknya kamu sedang terburu-buru, adakah tenggat waktu yang harus dikejar?" Aku berbalik melontar tanya, diikuti sedikit gerakan memiringkan kepala. Entahlah, rasanya berpergian dimalam hari dengan berkuda bukanlah suatu hal epik untuk ku lakukan. Yang  benar saja, seorang Awisa cantik jelita nan anggun menunggangi kuda? Diriku terlalu mewah untuk sekedar menginjak pelana.

Sang empu memasang air muka remeh, diikuti garis miring tersungging di bibirnya. Hmm, apa kalimatku membuatnya lebih percaya diri?

"Kamu merasa hal itu tidak pantas dilakukan, atau kamu.. merasa takut?" Dia menyahut penuh cemoh. Ergh, kurang ajar.

Aku tersenyum siput,

"Untuk apa aku bersusah payah mencari Sanskara ditengah malam waktu itu, ingat?" penuh pamer aku bercakap, tidak lupa mengangkat dagu tinggi. Kali ini ku tatap dia penuh ejek. Tidak akan ku biarkan seenak jidat menginjak harga diri.

"Tapi kita tidak bisa menunda waktu lagi Awisa," Terselip nada panik didalamnya, aku tidak ingin menerka-nerka kebenaran bahwa saat ini Raden Panji sedang diburu waktu. Aku sedikit tak percaya, sekalipun musuh datang membawa tombak serta panah, sama sekali tidak mencerminkan sosok karakter yang angkuh ini bukan?

Aku menatap sekeliling, lalu kembali terpaku memandang Raden Panji diliputi kecemasan. Tidak lama kemudian, suara derap kuda bergerombol masuk ke dalam gendang telinga membuatku kian penasaran.

Ada apa diluar sana?

Nyaris aku keluar gubuk jika saja Raden Panji tidak menarik tanganku keras. Aku sedikit terpental, yang berakhir menabrak tubuh bidangnya, tanpa menunggu waktu ia segera membekap mulutku erat seraya berujar.

"Ini akibatnya bila kamu melanggar titahku." Dengan nada rendah Raden Panji berkata. Tepat setelahnya ia segera membungkuk seraya tubuhku digendongnya, kemudian melompat menabrak jendela kayu berhadapan langsung pada sumur di halaman belakang.

Sorak sorai mengisi sepinya malam, mereka~orang yang baru saja tiba dengan pasukan kudanya. Merasak masuk paksa gubuk reot yang kini tiada lagi penghuni. Dalam gendongan Raden Panji pun aku hanya menatap getir melihat terbakarnya tempat yang pernah ku pijak dulu. Terutama kasur empuknya takkan pernah untuk dilupakan.

Raden Panji terus berlari, melangkahkan kakinya menuju hutan. Dibantu sinar bulan tampak mengawasi dibalik awan yang menyembul malu-malu. Setidaknya itu cukup menolong penglihatan dalam remang tertutup kabut.

Dalam pelarian, aku terus berteriak. Mengucap sumpah serapah sebab aku dilibati buruan mereka bak buronan. Ataukah tebakanku ini benar? Raden Panji memang pembuat masalah! Tidak dihidupku, bahkan hidupnya pun sama hancurnya.

"Gila! Rezim apa yang kamu pimpin hingga mendatangkan pasukan kavaleri segelar sepapan ini hah!?" Tiada hentinya aku menjerit. Selain dirundung rasa panik, jeritanku kian mengeras tatkala kepala ku tolehkan mendapati para prajurit berzirah semakin telak mengejar.

"Jika kamu terus menjerit itu hanya mendatangkan petaka! Bodoh! Berhentilah bergerak, dan diam!" Raden Panji menimpali dengan nada naik satu oktaf, makiannya membuatku terdiam. Dan tidak kembali meneruskan kata umpatan. Selagi fokus membantu penglihatannya saat pontang-panting tatapanku jatuh pada kedua bahu kekarnya yang berkeringat, tertutupi selendang hijaunya. Jarang sekali melihatnya memakai selendang itu, seperti perempuan. Tetapi sisi positifnya keringatnya itu tidak menempel langsung pada kulitku.

Kedua kaki cegaknya berhenti, sekejap pandanganku jatuh pada sebuah goa dengan patung monster raksasa di setiap sisi pintu masuk. Aku bertanya-tanya pula tempat macam apa ditengah hutan seperti ini. Goa itu tidak terlalu tampak apabila dilihat dari keajuhan, akibat rimbunnya akar serta rerantingan pohon menutupi bagian depan goa tersebut.

Dengan kasar, Raden Panji segera menjatuhkanku dari punggungnya. Aku meringis sakit, menatapnya penuh hina seakan lebih menjijikkan dari kotoran. Sungguh adakah seorang suami yang tega menjatuhkan istrinya sendiri!?

"Cepat masuk, atau mereka akan menangkap kita." Dia kembali bertitah dengan aura sok kuasanya. Mendengarnya bercakap seperti itu semakin memberat langkahku. Boleh saja lelaki satu ini memberi titah kepada siapapun, tetapi itu tidak termasuk aku. Diriku amat sangat tidak menyukai bila ada orang yang memerintah. Well, kebetulan orang bar-bar ini hanya orang asing.

"Kenapa? Kamu tidak ingin masuk? Tidak kapok dengan pengalaman di tempat gelap dan pengap, eh?" Raden Panji berdecap sinis, diselingi putaran badannya menghadap ke arahku.

"Kamu saja yang bersembunyi, dasar pengecut."

Raden Panji tampak menggeram,

"Kamu tidak lupa akan perjanjian kita kemarin lusa, bukan?" katanya, gamblang.

Dalam posisi diam berdiri aku mencoba mencari cara, disaat keadaan seperti ini dirasa waktu yang tepat untuk melarikan diri. Kebebasan ada didepan mata, mengapa aku tidak berusaha saja dengan segala cara?

"Bukankah aku sudah melakukannya didepan Sanskara, apa itu tidak cukup?" Kembali aku berbalik tanya. Kali ini digentar segelintir rasa takut, ketika Raden Panji mulai sigap mengambil langkah. Bagaimana cara dia berjalan saat ini sedikit menakutkan untuk sekali tatap. Ya Tuhan, apa yang sedang bermasalah pada diriku? Atau kini auranya yang mulai menaklukanku?

Hei, itu tidak mungkin. Seorang Awisa kebal terhadap apapun.

"Jangan banyak bertingkah, jangan menggali lubang semakin dalam. Itu sama saja kamu bunuh diri."

Aku mundur beberapa langkah saat tangannya ingin menggapai tanganku. Ku tatap dia penuh ketidaksukaan amat jelas tergambar pada raut wajah, namun tampaknya sama sekali tak berpengaruh untuk terus bertindak. Malah, gelagatnya kian jadi ketika dia berlari cepat kemudian menangkap tubuhku dalam dekapannya.

Sial, sudah berapa kali aku mendapat pelecehan seperti ini!?

Suara lolongan tak menghentikan kami dari perseteruan, justru semakin besar tekadku untuk lepas dari jeratannya. Dengan kasar, aku memberontak. Dimulai dari menggigit lengan, hingga menginjak kedua kakinya tanpa alas. Hanya hal sepele tanpa jurus karate rupanya sangat mudah untuk melepas diri. 

Tanpa menengok kembali ke arahnya, aku terus berlari. Memfokuskan pandangan dalam gulitanya malam. Hiangga akhirnya seseorang mencegatku seraya berkata.

"Kamu tidak akan bisa lari lagi kali ini."

Jantungku berdegup cepat, aku terkejut.

Kemudian pandanganku perlahan memburam, sejemang lebih pekat dari gelapnya malam.



***






Cinta Bertakhta [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang