33. Hambar, Durjana

2.7K 415 22
                                    

Bucinnya Panji Gentala ke Awisa, haha 😂

_______________________________________

Dinginnya embun di pagi buta memaksaku untuk membuka mata, lantas bangkit disaat tubuhku berada di sebuah ranjang empuk lumayan nyaman untuk ditiduri.

"Sudah bangun, adinda?" Suara berat mengaung gema, pada ruangan asing tanpa ku sadari. Menilik kembali ruang penuh kemewahan dengan tirai dibalik ranjang yang mengkilap berwarna keperakan. Aku menoleh sekeliling, tidak jauh dari nakas tidur pun terdapat sebuah payung yang pernah membuatku penasaran setengah mati. Mengapa payung emas itu ada disini? Dan.. jangan bilang diriku berada dalam ruangan pribadi Panji Gentala?

"Kamu tidak berusaha mencoba untuk mendekati payung itu lagi bukan?" Lagi-lagi suara Panji Gentala menginterupsi, mengharuskanku menengok pada sang empu mengajak bicara.

Diriku meneleng kepala sejemang, memandang kembali Panji Gentala kini melipat tangan di depan dada.

"Sudah tahu luka belum sembuh, tingkahmu membuatku ingin memukulmu," Mendelik datar, ku pandang Panji Gentala tak suka. Maafkan diriku terlalu polos sama sekali tidak mengetahui benda-benda sakral di istana.

"Aku masih tidak menduga sanya gadis liar sepertimu berani tidur dibawah pohon mangga." Panji Gental kembali berucap, berdiri tidak jauh posisinya dariku. Berdiri seraya bersandar pada tiang ranjang.

Gadis liar katanya? Apa luka dadanya yang belum sembuh itu ingin ku tinju? Mumpung ia tengah lemah kini.

"Aku hanya bisa melihatmu dari jauh, tidak ingin pula menjadi pusat perhatian para bawahanmu tengah mengkhawatirkan dirimu malam itu." Lantas diriku berkata demikian, Panji Gentala semakin mendekatkan langkah. Seraya menunduk menatap kedua mataku datar.

"Tapi kamu adalah permaisuriku, meski orang diluaran sana belum tahu identitasmu sekarang, lambat laun aku akan mengumumkannya diseluruh tanah Sumbhara bahwa kamu adalah milikku seorang." Sejenak, aku terpaku. Pada kedua netra menatap balik bola mata coklatnya, dadaku berpacu kencang. Mendengar ucapannya penuh lugas serta rendahnya nada, memaksaku untuk tidak berpaling dan menatapnya lamat.

Ya Tuhan, tidak tahukah ia bahwa diriku terkena gejala serangan jantung sekarang? Asmara macam ini tentu tak akan membuatku sehat.

"Yakin tidak akan tergoda oleh perempuan lain? Bagaimana jika aku tak bisa memiliki keturunan? Apakah kamu akan mengambil beberapa selir? Atau hanya-"

"Hanya?" Panji Gentala mengulangi perkataanku yang menggantung, tepat setelahnya ku rasakan bibirku yang terasa basah bersamaan tengkukku serasa seperti ditekan. Jantungku berdegup kencang, tak bisa ku kontrol emosi untuk tidak merasa euforia berlebihan. Rasa kegembiraanku kian tak tertahankan ketika Panji Gentala terus mengecapnya hingga diriku pun tak bisa bernapas.

Sial, mengapa aku bisa terbawa suasana hina macam ini? Lelaki kurang ajar!

"Hanya menciummu menurutku tentu tak salah," Lanjutnya, berbisik rendah. Posisinya yang saat ini setengah membungkuk mau tak mau ku tatap kedua netranya bergantian, sang empu yang ditatap seperti itu pun tak kalah intens memandang. Baiklah, diriku tak bisa bergerak sekarang,

"Panji Gentala.." Lirih nada yang terucap, padahal jauh diriku geram tak terima.

Luar biasa bodoh, bahkan sekedar mengungkap sepatah kalimat pun tak sanggup selain menyebut namanya. Sampai kini tubuhku seperti jelly terasa lemas sebatar digerakkan, benar-benar mempermainkan riwayat jantung jika terus dibiarkan seperti ini.

Cinta Bertakhta [TAMAT]Where stories live. Discover now