III. 21. Pati

3.8K 523 19
                                    

Sang baskara nyaris bertumpu di ufuk barat, dimana tempat akhir persinggahannya berada. Dengan cakrawala yang telah memamerkan jingganya menjadi sebuah tanda bahwa malam hampir tiba.

Semilir angin perlahan menerbangkan rambutku, kesejukannya amat terasa anyep saat teraba oleh kulit. Meski menganggu jelihnya mata dalam memandang, tidak membuatku untuk tidak menatap pada objek di depan sana.

Kakiku kembali berpijak ditempat yang pernah ku kunjungi, dengan khas jalan lebar dari biasanya. Hiruk-pikuknya menjadi ciri tersendiri, tidak lupa serta-merta puluhan gerai terjajar rapi. Beberapa diantara mereka berdagang menggunakan pedati, ada pula menggunakan selembar kain guna memajangkan barang dagangannya.

Aku ingat peristiwa dimana diriku pernah menolong seorang kakek tua ringkih, juga seseorang pernah menyelamatkanku yang tak ingin ku sebut namanya.

Namun bedanya, hampir keseluruhan tempat ini telah lompong. Hanya hitungan jari yang sedang berjualan, itu pun mereka beserta pedatinya tengah bebenah untuk bergegas meninggalkan tempat.

"Kalau sudah lengang seperti ini, sepertinya merampok bukan hal rumit." Kali pertama ku singkap suara. Meminta penjelasan tanpa diminta, menyindir Cutaka yang hanya memasang seutas senyum garis lurus sembari menopang dagu menggunakan tangan kirinya.

"Tadinya aku berpikir begitu. Tetapi bila dicerna kembali, diriku masih memiliki martabat hanya sekedar untuk mencuri pakaian untukmu."

"Kalau begitu, apa rencanamu?"

"Tentu ada, tapi aku tidak bisa mengatakannya padamu." Sang empu melempar jawaban. Diriku kembali diserang berbagai pertanyaan, apa yang akan dilakukannya ditempat sunyi seperti ini dalam temaramnya malam.

"Ku pikir alasanmu turun dari lereng semata untuk menemaniku, rupanya tidak." Sang empu memasang raut jengah, bola matanya memutar sebal. Melangkah pergi meninggalkanku yang dongkol menatapnya.

"Otakmu lantip juga ya. Memang, dirimu hanya sebagai pengiringku."

"Huh, ku pikir kamu benar-benar peduli padaku."

"Terkadang ya, terkadang juga tidak." Pungkasnya, cuek. Membuatku berusaha keras menelan bulat-bulat akan wataknya begitu menyebalkan untuk dihadapi, sekiranya aku menetahui sisi lain dari seorang Cutaka yang tampak anggun dan penuh pesona. Lagi-lagi kenyataan tidak sesuai taksiran.

Buntutnya, aku mengalah. Sepertinya diam adalah kunci memendam rasa jengkel menghadapi tingkahnya yang bebal, menahanku untuk tidak segera meninjunya sekarang. Disisi lain, aku tidak boleh melakukan hal diluar batas. Atau itu sama saja diriku tak bisa menghargai orang yang telah menolongku, benar?

Kembali memfokuskan pandangan pada cahaya yang memadai, aku menyipitkan mata. Dengan sisi kiri-kanan jalan terpatok puluhan obor menerangi setiap lintasan, membuatku dapat melihat jelas tidak jauh beberapa belas meter dari sini ada persimpangan jalan.

Aku masih terbungkam, sama halnya dengan Cutaka. Bahkan, saat matahari kembali keperaduannya meninggalkan jejak gelap tanpa ampun. Diikuti para pedagang tadi pun telah bubar pergi menuju arah timur, lurus tanpa membelokkan arah.

Cahaya obor masih setia terjajar rapi menuntun hingga dua arah patahan lintasan. Cutaka memberhentikan langkah, begitu pun aku. Sama sekali tiada niat menyisip kata apalagi sekedar bertanya tentang hal sepele seperti, 'Cutaka apa kamu haus? Aku butuh minum sekarang.'

Rasa gengsiku tengah meraja sekarang.

Ku tolehkan kepala kebelakang, kembali mengedarkan pandang menatap satu-persatu gerai toko yang telah tutup. Bahkan tiada satu pun orang selain kami berdua disini, mulai bergidik membayangkan bila ada sesuatu terjadi yang tak bisa digapai oleh nalar.

Cinta Bertakhta [TAMAT]Waar verhalen tot leven komen. Ontdek het nu