35. Kembali

2.5K 379 15
                                    

Di waktu senja burung terus berkicau, diikuti matahari dengan pergerakannya berancang untuk tenggelam. Ku putuskan langkah kaki kembali ke kediaman. Mendepak rasa emosi terus meluap yang tak kunjung reda, menjauhkan diri untuk tidak gegabah justru mencari perkara.

Triyatna, sedari tadi gadis itu urung kembali. Menimbulkan sececah rasa bersalah karena telah berucap kasar padanya, secara tak langsung pun aku telah mengatainya bahwa ia perempuan dengan mulut tiada etika. Yang dibalasnya tanpa setitik keberanian dengan sembah sujud meminta maaf atas tindakannya jauh dari kata salah.

Aku terduduk diranjang, dengan pemandangan matahari nyaris tenggalam. Hatiku merasa gelisah, atau mungkin juga karena kebosananku yang hanya sering bicara pada dua orang. Tak lain Triyatna dan Panji Gentala, dan tentu saja gadis tukang rengek itu tidak termasuk.

Lagi-lagi aku membuang napas panjang, mengikuti kata hati memang tak ada habisnya. Hanya akan terus membuat resah pun acap kali terpengaruh suasana ketika tak berfungsinya logika. Biarlah, mungkin Triyatna sedang merenungi kesalahannya. Atau mengobati rasa sakitnya akibat perkataanku yang bablas terlontar tanpa diserap.

Selepas ia kembali, segera aku akan meminta maaf.

"Gusti putri, Tuan Giatra Salisir ingin menghadap pada Anda." Tak makan waktu lama, salah seorang pengawal datang. Beserta tongkat tombak yang tergenggam, ia membungkuk hormat.

"Katakan padanya untuk segera kemari," Sedemikian rupa aku membalas singkat.

Giatra Salisir, nama yang tak terasa asing akhir-akhir ini. Salah satu pria yang mengusut tuntas pemberontakan Argapati yang berhasil menghasut banyak orang untuk membenci pada pimpinannya sendiri. Sangat disayangkan, dibalik umurnya kian menua Argapati tak mengenal kata welas asih. Selayaknya paman melindungi keponakannya, demikian justru bersikap bertolak belakang.

Lelaki dengan pantaran usia yang tak terlalu jauh dari Sanskara itu kini tengah menghadap, memberikan hormat dengan segenap hati. Perawakannya yang mirip Panji Gentala, hampir membuatku terkecoh jika menatap dari punggung belakangnya. Meski Giatra Salisir lebih gemuk, tak memungkinkan pula jika tingganya pun sama rata dengan Panji Gentala.

Badannya terlihat berisi, terutama dibagian betisnya. Namun hal tersebut tak membuatnya sulit untuk duduk bertimpuh. Ototnya yang besar dan kekar, seolah menutupi lemak tubuh.

Terpasang ekspresi datar, lebih dahulu aku bertanya.

"Apa gerangan yang membuatmu kemari, Giatra Salisir?"

Giatra Salisir kembali menunjukkan hormatnya, sebelum ia kembali bicara. Lugasnya kalimat yang terucap sama sekali diriku tak bisa meremehkan.

"Mohon maaf atas terganggunya istirahat gusti putri. Hamba kemari, ada beberapa pesan yang ingin disampaikan. Bersediakah gusti putri untuk mendengar?"

"Apa yang ingin kamu sampaikan?"

Giatara Salisir urung menjawab, hilangnya petang tergantikan malam membuatku segera menoleh pada jendela. Memperhatikan beberapa prajurit bertukar jaga siaga melindungi istana kedaton dua puluh empat jam penuh.

"Yang pertama, Raden Panji memberi titah kepada Anda untuk menghadiri acara diesok hari. Diadakannya jamuan makan dengan kerajaan bawahan yang akan menginap di istana selama beberapa hari,"

"Lalu?" Giatra Salisir urung menjawab, kepalanya masih merunduk tetap pada posisi yang sama.

"Kemudian.."

"Katakanlah, jangan merasa sungkan padaku jika itu membuatmu tidak nyaman." Ku tatap ubin dengan sayu, menunggu lelaki gemuk itu unntuk berbicara.

"Laksamana Niskala ingin bertemu degan Anda, gusti putri." Lepas setelah itu, segera diriku beralih pandang.

Cinta Bertakhta [TAMAT]Where stories live. Discover now