13. Sepakat

5.2K 812 8
                                    

Tanganku yang telah gagal menyerang segera dicengkeramnya, memuntir serta mengunci pergerakan kebelakang tubuhku hingga meringis menahan sakit.

Kurang ajar!

Tubuhku membelakangi tubuhnya, sebuah kesempatan besar untuk kaki ku menendangnya tepat di persendian lutut. Namun lagi-lagi tak berhasil, Raden Panji memang kelewat picik hingga tak ada satupun jurus ku yang lolos. Justru ia kembali membalas dengan hal serupa. Alhasil, aku terjatuh simpuh akibat lutut ku yang tak kuat menopang.

Bedebah!

Aku berontak keras, namun tak ada upaya yang diperoleh. Ku lirik melalui ekor mataku kepada Sanskara, hanya memasang senyum palsu yang ditampakkan. Diselingi lambaian tangan pelan, seakan mengejek ku. Tetapi itu tak berlangsung lama ketika Raden Panji menginstruksinya untuk segera meninggalkan tempat.

Menyisakan aku dengan makhluk licik ini.

Selepas kepergian Sanskara, segera Raden Panji melepaskan cengkeramannya. Membuatku bernapas lega, sembari bangkit ku coba sedikit menjauh darinya. Menjaga jarak upaya menghindari serangannya yang kapanpun dapat melukai.

Lain kali ingatkan aku untuk mencegah timbulnya perlawanan dengannya, atau tidak kematian ku terasa sia-sia. Terlalu remeh berharap lelaki satu ini bisa lumpuh dibawah kakiku, alangkah baiknya jika aku menghindar.

Sesaat diliputi keheningan, hingga aku kembali membuka suara.

"Apa yang ingin kamu tanyakan? Aku tidak mempunyai kabar yang berguna untukmu, asal kamu tahu." Demikian cuek aku berujar, langsung  ke titik tepat arah pembicaraan. Melipat kedua tangan, lalu membuang muka. Memandang ke arah pintu, menyuguhkan gelapnya keadaan di pagi buta.

Ku dengar Raden Panji membuang napas kasar. Melalui ekor mata, aku memerhatikan bahwa ia sedang memejamkan mata. Lalu kedua mataku terfokus pada kedua tangannya yang mengepal secara perlahan mengendur.

Aku menoleh seraya menatapnya dongkol, kembali menduga ia tengah meredam amarahnya yang kembali meluap. Hal ini mengingatkan ku pertemuan kami kali pertama di gubuk ini, mengejar ku bahkan mampu melukaiku sampai-sampai memuntahkan cairan pekat kental.

Memutar bola mata, diikuti decap sinis. Untuk kejadian yang satu itu takkan pernah ku lupakan seumur hidup.

"Baru kali ini aku menghadapi gadis seperti mu, Awisa." Ia kembali berbicara, terdengar kecil namun masih terdengar olehku. Beberapa kali mendengar ia menghela napas, tak kunjung pula ia buka suara. Aku tak bisa berlama-lama disini dengannya, di satu atap yang sama. Semakin aku menunggu, semakin rasa kesal ku memuncak. Dalam hati pun amat sesal tak bisa membalas perbuatannya terhadapku.

Aku melangkah pergi, namun urung ketika Raden Panji segera menarik pergelangan tanganku lumayan keras, kebiasaan konyolnya akhir-akhir ini. Masih dengan tatapan sebal, aku berkata.

"Kamu bisu? atau lumpuh? Sungguh menyia-nyiakan waktu jika hanya berdiam diri bak patung."

Menyalanya tungku beberapa waktu lalu itu pun telah padam, menyisakan percikan api sebagai sumber penerangan selain pantulan cahaya obor di ruang sudut. Kedua matanya yang setajam elang itu pun terbuka, tepat seperti tusukan jarum memandangku tanpa ekspresi. Dasar muka batu.

"Aku ingin kamu melakukan keinginan ku sesuai perjanjian kita tiga hari yang lalu." Balasnya tanpa nada, terdengar jelas nan lugas dalam merangkai kata. Sesaat aku terdiam, memilih tak bergerak sama sekali dan menyimak pembicaraan.

Baiklah, adalah sebuah kesempatan besar aku bisa bekerja sama demi menggapai kebebasan.

"Akankah kamu bersedia?" Tanyanya, melunak. Ku tatap wajahnya pun tak sesangar sebelumya, seakan memelas meminta belas kasih. Dengan memasang wajah angkuh, ku naikkan dagu menatap layaknya ia adalah bawahan ku. Tak lupa kedua tangan yang terlipat di depan dada.

"Apa yang bisa kulakukan untukmu? Asal diriku bisa bebas, semua tak masalah." Tanpa pikir panjang aku berujar gamblang. Tak peduli suatu saat nanti permintaannya itu menyulitkan, semua pilihan pada dasarnya memiliki resiko. Asal yakin apa yang kujalani, semua pasti akan baik-baik saja.

Raden Panji segera berdeham keras setelah ku amati tampak gugup tanpa tahu apa penyebabnya. Kedua kaki ku mulai berjalan pelan, memerhatikan jeli tindakannya yang agak aneh. Seraya memutari tubuhnya, aku berbisik.

"Apakah tugasku adalah mendekati seorang perempuan untukmu seperti halnya Sanskara?" Aku menatapnya guyon, luar biasa mudah bila hal itu yang ingin dilakukan. Namun respon yang diberikan Raden Panji membuatku meragu.

"Tidak, aku hanya ingin kamu menjadi garwa padmi ku. Hanya sementara," Katanya. Untuk beberapa waktu aku terdiam.

"Garwa padmi?"

Dengan alis tebalnya yang berkerut, Raden Panji memandang ku terkejut.

"Cepat, jelaskan."

Mengulum senyum, seraya berpunggung tangan. Gelagatnya kian aneh ketika tangan kanannya mulai mengambil sesuatu di rambutnya yang di keling rapi. Sesaat aku mengetahui bahwa itu adalah tusuk konde terbuat dari kayu nampak kokoh. Tetapi, sejak kapan ia memilikinya? Bahkan laki-laki pun juga memakainya?

Tangannya bergerak lamban. Merangkak naik ke kepala ku lalu menahannya, ditaruhnya tusuk rambut itu di sana. Aku hanya mampu memejamkan mata tatkala berhadapan dengan dada bidangnya, jantungku berdetak keras.

Kedua tanganku gemetar, ya Tuhan. Benar-benar belum pernah sedekat ini dengan orang lain, siapapun itu. Bahkan aku dapat mencium aroma tubuhnya yang tak asing, seperti aroma kayu manis? Atau pandan? Tercampur aduk tanpa bisa ku duga secara pasti.

Setelah selesai, ia menjauh. Menatapku penuh senyum, tetapi tidak dengan ku justru menatapnya aneh. Hei, kemana ekspresinya yang rata itu? Otakku kembali diliputi pertanyaan yang pada dasarnya sama sekali tak penting. Sial.

"Semua orang akan tahu bahwa kamu istriku. Jangan sekali-kali melepasnya, Awisa."

Mataku membulat lebar, tak terhindari pula terbukanya mulut yang menganga. Apa tadi katanya?

"Istri?" Aku membeo, sang empu hanya memasang senyum kecil yang nadir untuk ditampakkan. Gerakannya mulai memperagakan sikap layaknya bangsawan, dengan berpunggung tangan ia mengangguk.

"Istri resmi, Ini satu-satunya cara agar kamu membantuku. Dengan begini rencana bisa berjalan dengan lancar tanpa gangguan." Bisiknya, tepat ditelinga. Sekilas, bulu kudukku berdiri merinding. Ucapannya seperti ketua mafia yang tengah merencanakan tindak kejahatan tingkat internasional. Aku hanya mampu menelan saliva sekaligus mendorong dada bidangnya lumayan keras.

Baiklah, kembali fokus. Jadi yang dia maksudkan garwa padmi adalah istri resmi, begitu?

"Baikah, sebagai seorang istri palsu. Adakah yang harus ku lakukan?" Agak pelan aku bertanya. Melirik ke arah pintu meyakinkan diri bahwa tiada orang diluar sana selain makhluk gaib yang mungkin saja sedang merumpi.

Ini adalah misi pertama yang pernah kudapatkan. Aku bukan seorang mata-mata, apalagi anggota mafia. Bertindak layaknya bermuka dua mungkin agak sulit untuk bersandiwara, tapi tak apa. Selagi kebebasan menunggu, apa boleh buat?

Namun di sisi lain aku mencoba menahan tawa, tampaknya mimpi berkepanjangan ini memang akan menjadi sebuah sinetron dramatis dengan pemain-pemain melankolis. Seperti ku contohnya.

Tapi, biarlah. adalah sebauh kesempatan bagus untuk mengembangkan talenta yang terpendam. Barangkali suatu saat aku bisa menjadi aktris papan atas, tak ada salahnya 'kan?

"Tidak perlu ada yang kamu lakukan, hanya berperilaku sebagimana istri mencintai suaminya." Pungkasnya, mengakhiri. Sebelum ia benar-benar pergi, diumbarnya senyum simpul sebelum hilang ditelan rimbunnya hutan.

Di pagi yang cerah ini, kata-katanya bagai sambaran petir membuatku terpaku dalam sejenak.

Cinta Bertakhta [TAMAT]Opowieści tętniące życiem. Odkryj je teraz