7. Sanskara

7.3K 886 4
                                    

Hari mulai petang, sinar matahari pun mulai menunduk malu-malu menggantikan bulan yang muncul dari arah berlawanan. Aku tak mengira, pembicaraan omong kosong seperti ini rupanya memakan waktu. Tak ada hal penting didalamnya, kecuali aku menuruti persyaratannya yang akan ia jelaskan esok hari.

Kedua mataku tak bisa henti-hentinya untuk terus menatap perutnya yang six pack juga eksotis. Apalagi kedua lengan ototnya yang menonjol dan kekar, Ya Tuhan! Aku benar-benar gila jika dibiarkan seperti ini.

"Berhubung kamu akan menyetujui persyaratan, aku ingin tahu siapa namamu." Ia tak benar-benar bertanya, hanya berkata acuh tak acuh. Sebenarnya pun aku juga sama sekali tak peduli, namun bagaimana ia bertingkah seenak jidat kepadaku membuatku semakin dongkol.

"Awisa, kamu bisa memanggilku Isa." Ujarku malas, kemudian berlalu dari hadapannya. Melengos pergi persetan memberikan penghormatan seperti yang lain, tidak peduli tata Krama. Ia adalah salah satu orang yang menyebabkan diriku terjebak di tempat ini. Jika saja aku tidak bertemu dengannya kemarin lusa, bukankah aku terbebas dari semua permasalahan ini?

Sembari melangkah pelan, tatapanku fokus pada langit di ufuk barat. Satu kata terangkai dalam otakku, mengagumkan. Langit senja begitu tampak di kaki langit, memancarkan sinarnya yang berbeda dari yang lain. Hingga mengahasilkan gradasi warna.

Aku menurunkan penglihatanku, seratus meter jarak dari ku terdapat batu terukir indah di sana. Dua bangunan yang sama dengan bagian samping saling menghadap, besar dan tinggi. Ku pikir tingginya sekitar lima belas meter.

"Kamu tidak tahu apa itu?" Seseorang menyeletuk, aku masih urung untuk sekedar menoleh. Pemandangan seperti ini menghipnotisku, tidak kalah penting sebuah pertanyaan yang mengganggu.

"Itu namanya gapura, gapura penghormatan. Simbol sebagai salam hormat kepada semua orang yang berkunjung kemari. Juga sebagai penolak bala." Ujarnya lagi, sanggup membuatku menoleh. Aku tidak mengenalnya, siapa dia?

"Aku Sanskara. Seorang anak abdi dalam di kerajaan ini." Ujarnya penuh percaya diri, sembari mengapit kedua tangan di depan dada. Lalu menunduk hormat.

"Kudengar kamu salah satu sandera salah tangkap oleh Tuan putri Dyah Ayu, benar?" Aku mengangguk mengiyakan, memerhatikan gaya bicaranya yang ku pastikan sangat pandai bermain kata-kata.

"Lain kali aku akan memberitahu rahasia tentang Tuan Putri Dyah Ayu," bisiknya. Aku segera memundurkan kepala geli. Lalu menatap penuh tanya. Siapa lelaki ini?

"Percaya diri sekali," aku berujar malas, melangkahkan kaki menghapus jarak pada bangunan yang disebut sebagai gapura itu. Baru mengetahui pula bangunan sebesar ini disebut gapura, kupikir ini salah satu candi yang pernah ku kunjungi di museum gajah.

"He-hei! Diajeng, kamu bahkan belum memperkenalkan namamu!" Dia berteriak di kejauhan, lalu menyusul ku dengan berlari pelan. "Kamu orang yang cuek sekali, berbeda dengan gadis lainnya."

Dia terus mendumal, tetap ku hiraukan. Pandanganku seakan terkunci, menatap satu bangunan yang benar-benar mengalihkan fokus. Seandainya aku memegang ponsel, akan ku abadikan sebagai mimpi terindah yang tak akan terlupakan.

Angin sepoi begitu semangat menerbangkan anak-anak rambutku. Sembari memejam mata, diriku menikmati betapa indahnya masa lampau ini. Setidaknya itulah perkiraan yang ada dalam mimpi.

Aku merenggangkan badan, mengangkat tangan tinggi-tinggi tanpa tahu malu. Toh di sekitarku pun tak ada lagi orang, kecuali beberapa penjaga berdiri tegap di gapura sana. Juga salah seorang abdi, siapa lagi jika bukan Sanskara. Si laki-laki penuh celoteh ria.

Aku berbalik badan seraya menatapnya, pula baru menyadari tingginya tak jauh dari Raden Panji. Tinggi ku hanya sampai sepundaknya. Dengan tubuh yang tampak kurus namun berotot benar-benar menandakan ia salah seorang pekerja keras. Mungkin?

"Aku baru mengucap sepatah kata, kamu hampir mengucap dua paragraf." Melipat kedua tangan, sekilas menatapnya datar. Sayangnya dia memandangku tak mengerti, lagi-lagi hal sepele membuatku sebal. Zaman kuno seperti ini kurasa mereka tidak tahu apa itu kata 'paragraf'.

"Aku tidak butuh dirimu, apalagi ceritamu yang penuh misteri. Entah itu berhubungan dengan si perempuan bodoh itu, atau pun Raden Panji. Aku benar-benar tak peduli." Pungkasku, berjalan melewatinya dengan rasa apatis. Tidak tahu ingin melangkah kaki ke arah mana, terutama mencari alas tidur tentu saja. Karena langit telah menunjukkan sisi gelapnya. Mungkinkah aku akan tidur di luar dengan alas daun pisang?

Ugh, benar-benar kuno.

Sanskara menarik lenganku, tidak sakit namun cukup keras. Hingga aku berbalik badan menghadapnya, tatapan tajam ku tepat menatap wajahnya yang-

Sial, kenapa laki-laki ini muncul lagi? Bukankah pembicaraan yang tak bermanfaat itu telah usai?

"Jangan menyentuhku." Aku mendesis tajam. Suasana hatiku berubah cepat, tentu saja ketika melihat wajahnya. Aku tahu ia sangat rupawan, namun dengan perilakunya yang seperti itu sungguh membuatku kesal setengah mati. Apalagi bagaimana cara ia menekanku untuk mematuhi persyaratannya yang tak ada guna sama sekali.

Masih dengan tatapan tajam, aku terus memperhatikannya. Tapi-wajahnya seketika memerah lalu membuang muka, aku tidak ingin berpikir macam-macam kalau saja ia sedang mabuk. Bukankah-

"Pakaianmu, kurasa kamu harus menggantinya." Ucapannya dengan telak membuatku diam membeku, aku menatap bagian bawah tubuhku. Hanya menyisakan kain jarik di atas lutut. Sebenarnya di dunia nyata yang ku jalani juga biasa saja jika ada orang memakai pakaian seperti ini. Namun, mengapa aku turut merasa malu?

"Ba-baiklah. Ta-ta-tapi aku tidak tahu-"

"Ikut aku, akan ku tunjukkan kamarmu." Pungkasnya. Ia terlebih dahulu berjalan. Menyisakan aku-dan Sanskara berjalan dibelakangnya. Karena sedari tadi dia dibelakang tubuh Raden Panji, hanya diam sembari kepala yang ditundukkan dalam-dalam.

-

Bulan purnama menggantung di awang-awang, bunyi jangkrik terdengar mengisi keheningan malam. Di luar tampak gelap dan remang, hanya dilintasi beberapa orang yang membawa keris dan tombak digenggamannya. Aku tidak tahu, apakah ada yang perlu di waspadai atau tidak. Disini benar-benar tenang, tak ada suara riuh ramai seperti kebanyakan kota.

Aku mengingatkan kembali pada diriku sendiri, yang sedang bermimpi sekarang. Jauh dari kata modern, tentu berbeda dengan kota yang begitu padat dan bising.

Saat ini yang ku lakukan adalah duduk di pinggir jendela. Yang terbuat dari kayu kokoh nan menawan karena ukirannya tampak memesona. Aku tidak mengira, kamar yang ku tinggali sangat diluar dugaan. Siapa sangka di zaman kuno ini mereka memiliki kreativitas yang tinggi? Luar biasa!

Kasurku terbuat dari kapuk, begitu lembut dan nyaman. Ditutupi jarik berwarna abu-abu tua, tepat berada di kiri pojok ruangan. Arah berlawanan pula, aku mendapati meja dengan peralatan minum di atasnya. Aku menduga teko dan gelas itu terbuat dari bahan tembaga, begitu mengkilap dan mulus.

Untuk kesekian kalinya, ku perhatikan dinding. Mereka membuat hal semacam ini benar-benar niat, untuk memahat pada balok kayu tidaklah mudah. Dibutuhkan kesabaran serta daya seni yang tinggi agar menghasilkan karya luar biasa. Berkelak-kelok membentuk bermacam-macam bentuk saling mengait merambat ke dinding yang lain. Berakhir pada teras luar.

Kakiku merasakan dinginnya tanah, suhu benar-benar memengaruhiku sekalipun aku sedang bermimpi. Tempat seperti ini rupanya jauh lebih segar, lagi-lagi jika dibandingkan dengan perkotaan.

Ku peluk kedua lengan tanpa sadar, saking tidak kuat menahan dinginnya angin malam. Ditambah pula pakaian jarik yang hanya sebatas dada.

"Hei! Diajeng, aku menemukanmu." Aku menoleh mencari asal suara, rupanya Sanskara berdiri tak jauh dariku. Dia melambaikan tangan digelapnya malam, tersamar oleh semak-semak. Itupun aku bisa melihat karena obor bambu yang tertanam di pojok-pojok teras.

Aku mendesah kesal, apa pula dia berniat mendekatiku. Bahkan aku pun tak mengenalnya, bagaimana dia begitu niat untuk terus berhubungan denganku?

Cinta Bertakhta [TAMAT]Where stories live. Discover now