II. 11. Curiga

5.8K 800 29
                                    

Dariku :

Lakonnya bak dewa milik sejagat, namun nyatanya hanya seorang rendah pangkat tanpa adab.

Dalam keramaian malam kali pertama, seakan terlihat sibuk menikmati tarian yang ditunjukkan. Diiringi banyak lelaki seorang penari perempuan nan elok tanpa enggan meladeni, menggerakkan tubuh seakan menggoda untuk didekati. Sanskara adalah salah satu diantara banyaknya lelaki, terus menari dengan wajah ceria sumringah. Dari jauh pandangan pun aku benar-benar tidak tahu apa yang cukup dinikmati selain makanan yang disajikan.

 Dari jauh pandangan pun aku benar-benar tidak tahu apa yang cukup dinikmati selain makanan yang disajikan

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

(kurang lebih ilustrasi Sanskara dengan sang penari nan jelita.)

Para tamu mulai memasuki bale paseban, kemudian terduduk leseh yang beralaskan tikar bambu. Sekilas aku mengamati, tamu teramat mendominasi adalah para lelaki muda dengan gagah menyinggahkan diri di bagian belakang. Lalu pada barisan utama paling depan menyisakan para sepuh duduk bercengkrama ria entah apa yang dibicarakan.

Dalam tata acara, semua para tamu dipersilahkan duduk membentuk letter U menyisakan ruang ditengah sebagai persembahan berupa tari yang ditampilkan serta makanan saji yang terhidang. Para dayang yang telah menyelesaikan tugasnya turut berpartisipasi dalam acara segera duduk disebelah kanan-kiri ku, tepat pinggiran ruang paling belakang.

Semakin larut, bertambah pula suara jangkrik mengisi keheningan di luar bale paseban. Jauh berbeda dari tepi bangunan nan megah ini, suara gamelan mengisi kosongnya ruang tanpa gema. Seakan menjadi sebuah tradisi tak lepas dari adat istidat.

Memandang orang-orang yang terduduk di kanan-kiri ku, dengan pakaian jarik yang sama mereka saling berbisik tanpa tahu apa yang diperbincangkan. Salah satu diantaranya hanya diam terpaku, menatap satu titik dimana ku ikuti arah pandangnya yang mengarah tepat kepada seorang lelaki gagah prakarsa duduk tenang diantara lainnya.

Tabiatnya menyamai Raden Panji.

Dengan posisi kedua lutut ditekuk layaknya sinden, diriku bertimpuh menduduki tanah sebab tak peroleh sama sekali tikar bambu untuk muat diduduki. Saking banyaknya orang datang membuatku tidak mendapat posisi ternyaman. Toh, biarkan. Tak peduli tempat duduk, berleseh atau apapun itu. Tujuan ku kemari adalah mencari tahu apa yang tengah mereka lakukan mengadakan pesta tengah malam begini. Peristiwa aneh yang terjadi membuat rasa penasaran ku kian meraja.

"Hei, lihatlah Raden Panji, betapa gagahnya Ia. Aku amat setuju jika beliau bersanding dengan Tuan Putri Dyah Ayu teramat rupawan." Tanpa derai angin bahkan hujan, seorang abdi dalam mulai membuka suara. Aku merasa tersapa karena perkataannya lebih ditujukan kepadaku. Tidak di dunia ku, perempuan sepantaran dengan ku maupun di zaman kuno ini tak ada bedanya. Sama-sama gemar menggunjing, sekalipun terhadap pimpinannya sendiri.

"Aku amat mengaguminya. Jika pun aku tak bisa menjadi garwa ampil-nya suatu saat, sebagai gantinya aku merestui Dyah Ayu untuk menjadi pendamping hidupnya." Lagi-lagi ia berujar, dengan senyum manis layaknya orang bodoh terus menatap Raden Panji penuh pesona. Aku bergidik jijik melirik, betapa ranjingnya perempuan kuno ini. Ada beberapa hal membuatku bertanya-tanya, pesona apa yang dimiliki Raden Panji hingga menyebabkan kaum hawa jatuh hati? berapa pula total keseluruhan para wanita yang menginginkannya? Adalah hal sepele yang tak pernah terbesit di kepalaku.

Aku terdiam mendengar pertanyaannya, tak ada niat sama sekali untuk menjawab. Mengurusi orang cacat lebih baik ketimbang menghadapi orang-orang yang sedang di perbudak cinta.

"Siapa namamu?" Merasa kalimatnya terabaikan, dengan ketus tatapannya kini beralih padaku. Menatap tepat pada kedua mataku yang temaram akibat kurangnya pencahayaan obor. Wajah terliput rasa penasaran itu pun berkata.

"Kamu tak menyahuti perkataanku, sombong sekali."

Mau tak mau aku turut menatapnya, berpikir sejenak untuk merangkai kata. Jauh dari lubuk hati sesungguhnya pun enggan berurusan dengan orang yang hanya memikirkan satu materi saja, mengapa perempuan sepertinya begitu merepotkan?

Dilihat secara keseluruhan gadis ini teramat manis, namun memiliki rupa elok teramat sayang jika perilakunya pun sama sekali tidak mencerminkan kecantikannya.

Tetapi, tunggu. Aku menangkap sesuatu aneh pada wajahnya, terutama bagian bibirnya sewarna merah darah. Mengunyah pelan entah apa yang dimakan. Apa itu? Gadis ini memakan makanan daging mentah?

Sial, tak peduli apa yang dimakan. Sekalipun dia kanibal.

"Aku tak pernah melihatmu sebelumnya, apa kamu juga dayang sepertiku?" Ia kembali bertanya, diselengi ekspresi wajahnya dipenuhi keraguan. Posisi duduknya berubah, dari bertimpuh menjadi sedikit tegak seakan mengungkung tubuh, dengan posisi seperti itu membuatku sedikit risih.

"Apa urusanmu jika aku dayang atau bukan? Bisakah kamu diam dan cukup nikmati acara yang tengah digelar ini," Tanpa segan, aku membalas sarkas. Dibalas pula olehnya dengan rasa kaget mendengar kalimat yang terlontar, sayangnya aku sama sekali tak peduli respon apa yang diberikan.

Kembali memusatkan pandangan, mencari Sanskara sekaligus Raden Panji yang tak lagi terlihat dengan mata telanjang. Mencari ditengah para tamu pun nihil. Kemana dua manusia itu pergi? Bangku singgasana pun tampak kosong tanpa sang pemilik, turut pula penari elok yang sudah tak lagi bersama Sanskara. Jangan sampai kebobolan, terutama lelaki pandai bermain mulut itu. Dia adalah orang yang ku cari, memungkinkanku mengetahui semua hal yang saling terkait ini.

Sanskara, satu pesan yang dititipkannya terakhir kali. Malam akhir sebelum diriku menjalani ritual yang tak ku pahami, dia adalah orang kedua yang patut dicurigai. Aku harus segera mencarinya.

Namun sewaktu bergegas, seseorang mencekal tanganku, menarikku paksa sampai bokongku kembali terduduk kasar. Aku menduga siapa lagi jika bukan perempuan bar-bar yang terus mengganggu ku tanpa henti, apa pula gadis ini merecok?

"Kamu tidak boleh pergi sebelum menjawab pertanyaanku," Lugasnya, berang. Diperlakukan layaknya babu semakin menambah eksistensi tamparan yang ingin ku lakukan padanya, namun lebih memilih mengurungkan niat ketimbang membuat gaduh hinggga berujung jadi tersangka untuk kali kedua.

"Aku tidak menyuruhmu pergi," Tekannya, tinggi nadanya naik satu oktaf. Mencengkram kedua pundak upaya kembali duduk ke posisi semula, siapa pula ia berani berbicara seperti itu? Pergi pun aku tak butuh titahnya. Aku sudah tidak tahan menahan emosiku yang sudah mencapai mercu kepala. Tingkahnya bak dewa pemilik sejagat, walau nyatanya hanya seorang rendahan tanpa adab.

Apa semua perempuan rata-rata seperti ini? Rupanya ia lebih parah dariku dalam bertabiat.

Tidak bisa biarkan! Ini hanya akan memakan waktu.

Meronta kasar, lalu mendorong keras tanpa rasa peduli. Ia terpekik kaget, tubuhnya terguling yang baru ku tahu ia terjatuh dari tingginya siti hinggil kurang lebih satu meter. Terjengkang seraya meringis ke lembabnya tanah. Aku tertawa sinis, jika suatu saat ada sayembara bertarung sampai mati amat bersedia aku melayani. Akan ku ajari bagaimana memperlakukan seseorang dengan baik.

Air tuba di balas pula serupa. Bukankah begitu?

Tanpa memakan waktu segera ku berlari tertelan gelapnya malam. Melewati beberapa prajurit tampak menjaga, melihat ku terheran-heran bak buron, mereka saling bertatap muka tak paham. Itu lebih baik ketimbang mereka mengejarku, dan mengembalikan diriku ke tempat bui. Tempat gelap nan pengap.

Tetapi satu hal sia-sia dilakukan, yaitu sekalipun aku hadir acara yang tengah digelar itu. Nyatanya tak membuatku menemukan jejak misteri yang terkait, hanya membuang-buang waktu akibat gadis tak tahu malu bertindak seenak jidat.

Kurang ajar.

Note :

Ku usahakan update secepat mungkin, terutama untuk menghibur kalian terlarut rasa gundah dampak virus korona yang merebak di Indonesia.

Jaga kesehatan, kebersihan ya teman-teman ku. Tidak lupa paling utama ibadah dan meminta doa kepada Tuhan semoga sebelum puasa wabah ini sudah tidak lagi merajalela di negara kita.

Semangat! Kita pasti bisa berjuang bersama-sama.

Cinta Bertakhta [TAMAT]Where stories live. Discover now