45. Singkap senyap

1.8K 313 26
                                    

Suara Ki Jangar terus berputar dalam kepala. Pelannya nada dalam bicara menambah keyakinanku untuk segera menggubah keputusan. Apa yang sudah ku tetapkan mengambil tindakan, segera diubahnya untuk tidak menuruti semua perkataan Sanskara.

Dengan ekspresi penuh kejut, kembali aku membuka mata. Kembali terbangun pada tempat yang baru saja aku tempati yang tertidur di pagi buta. Semua seperti semula sebelum aku bertemu Ki Jangar, bahkan bagaimana aku tertidur dengan posisi yang sama persis di awal waktu itu. Tepat ketika aku kehilangan cundrik kecilku beserta obornya.

Mendepas napas panjang, sembari menarik rambut ke belakang dengan kasar.

Memejam mata, merasakan nadi yang teraliri darah terasa tegang. Kepalan tangan di kedua sisi nyatanya sama sekali tidak membantu menahan diri untuk tidak memukul batang kayu dekat sikut.

Persetan dengan nyawa, jika yang dikatakan Ki Jangar adalah sebuah penyesalan–maka segera aku akan mengakhirinya.

Tubuh nayris oleng saat tahu nyawa belum sepenuhnya terkumpul, ku paksa berdiri dengan tangan kosong masih mencengkram erat membendung emosi.

Untuk saat ini, lupakan Panji Gentala. Cinta membuatku bodoh hingga diriku sendiri lengah akan sesuatu hal penting untuk negaraku sendiri. Aku menjadi bertanya-tanya, bagaimana jika saat ini aku membiarkan kedua kerajaan tersebut berperang? Akankah masa depan negara  berubah? Pada nyatanya pun, wilayah nusantara ini tidak akan jauh-jauh dari korban penjajahan bangsa asing yang seenak jidat menginjakkan kaki di Jawa Dwipa dan lainnya.

Sejemang, aku menggeram tertahan. Haruskah aku mengalah di detik-detik terakhir seperti ini? Pecundang bukanlah gayaku, aku bisa mengambil berbagai macam tindakan apa pun dengan menanggung resiko yang ada. Prinsipku.. tidak akan mudah goyah oleh hal remeh seperti ini.

Kedua kaki kembali ku lanjutkan langkah, membelah hutan dengan waktu menunjukkan telah siang. Suara deras air dari sebelah kiri memaksaku untuk menoleh. Tepat di sana, terdapat aliran air tersuguh apik dengan bebatuan besar yang menyatakan--apa yang ku lihat ini adalah sebuah sungai.

Sungai..

Sungai?

Laun, ku tatap lamat. Perlahan mendekat sembari menundukkan kepala memastikan sungai tersebut tidaklah curam dari ketinggian. Tiada dua meter diriku untuk turun, tapi tempat seperti ini terasa tidak asing bagiku.

Apa aku pernah singgah ke tempat ini? Tapi di mana?

Dengan langkah kaki cepat, terus diriku berjalan mengikuti arah arus sungai mengalir. Tanpa perlu merasa takut panas, ku tatap langit yang masihlah tertutup samar akibat daun pepohonan yang rimbun. Semakin ku jelajahi mata melihat keadaan disekeliling, semakin timbul perasaan mengganjal yang entah tak bisa ku deskripsikan.

Rasanya bercampur aduk. Antara rasa kesal, marah, dan senang menyerang perasaanku yang kini terjebak dalam kekeliruan. Seakan ada memori tersimpan namun enggan dikeluarkan. Apa yang tengah menimpaku saat ini, aku yakin bukan sesuatu hal baik.

Tidak membutuhkan waktu lama diriku menemukan sebuah jembatan di ujung utara sana. Penuh keyakinan kembali ku tatap sinar matahari yang nyaris di tengah-tengah langit dari kehadirannya di sebelah timur.

Meyakini, aku akan berjalan ke arah barat sekarang.

Jembatan lebar yang terbuat dari bambu itu, masihlah kokoh ketika aku naiki. Berjalan pelan seiring kedua mata melihat pemandangan yang sangat langka untuk ditatap. Berucap syukur berulang kali pada Sang Hyang Jagat bahwa aku masih bisa melihat karya-Nya yang dapat dinikmati untuk sekian kali.

-

Ketika langit bersinar warna jingga, segera aku berdiri memandang gerbang besar yang tidak lain merupakan pintu masuk salah satu kota yang pernah aku singgahi. Di mana satu-satunya gerbang teramat lebar dengan candi bentar sebagai jalan akses masuk ke kota Sandari.

Cinta Bertakhta [TAMAT]Where stories live. Discover now