28. Perlawanan

2.9K 439 15
                                    


Perjalanan dari lereng gunung hingga kembali ke kediaman ternyata memakan waktu nyaris satu hari penuh, akibat hal itu mampu menciptakan rasa keram dibokong.

Malam dini hari aku menuruni kereta kencana penuh awas, taku-takut jatuh jika itu akan mempermalukan diri sendiri. Beberapa prajurit telah sigap membawa masing-masing obor, siap siaga mengiringku untuk segera kembali masuk ke balai. Diikuti suara jangkrik turut bersuara juga siulan burung tiada henti, menjadi sebuah pertanyaan mengapa burung berkicau dimalam hari.

Panji Gentala sendiri melepas diri dari banyak orang, bahkan tiada maksud sekedar turun dari kudanya. Meninggalkanku tanpa mengucap sepatah kata. Sejenak, aku mengamatinya yang perlahan menjauh. Memaklumi, ada banyak keperluan perlu diurus. Bahkan untuk memanggil sejemang pun segan aku berkata.

Baru saja diriku tengah membenahi selendang yang tersampir dibahu yang kendur hingga menyapu jalan, teralihkan oleh salah satu prajurit maju seraya memberi hormat padaku.

Merespon, aku mengangguk anggun. Segera kedua kaki melangkah memasuki pintu gapura sebagai gerbang pintu masuk kediaman, baru mengetahui pula terdapat pintu amat besar menyamai tingginya gapura. Dinding pembatas mungkin hanya setengahnya dari ini.

Tatapan mata tak pernah lepas dari tempat yang pernah ku kunjungi sebelumnya, terfokus pada pendopo agung dan bale paseban terletak saling berseberangan. Dua hal itu mengingatkanku kembali pada sosok Sanskara teramat sebal jika dibayangkan.

"Tuan Putri, mohon percepat langkah." Bertepatan salah satu abdi bernama Yatri yang bersamaku selama perjalanan, penuh kekhawatiran ia berujar. Bertepatan pula suara lengkingan burung kembali berbunyi memakan waktu cukup lama.

"Apa yang terjadi?"

"I-itu, hamba tidak bisa menjelaskan."

Terkesiap, aku menghentikan langkah. Tak ayal kedua netra memandang langit tanpa kehadiran rembulan, beralih pandang mengamati gapura dari kejauhan. Seakan menanti kepulangan Panji Gentala entah kapan akan kembali.

Perasaanku mengutarakan keadaan tidak baik-baik saja.

Tangan kananku menggantung didepan dada, yang laun mengepal kencang. Selendang tersampir dilengan pun jatuh menguntai saat menghentak tubuh kasar.

Aku tercenung, dalam posisi berdiri dengan keadaan mulut sedikit menganga. Sesuatu lancip melesat gesit nyaris mengenai pipi, suara erangan terdengar selepas benda tajam itu mengenai salah satu prajurit.

...lagi? Mengapa kesialan selalu menimpaku!?

"Lindungi tuan putri permaisuri!" Salah seorang membuka suara, dibalas segenap jiwa perwira serentak mengeluarkan senjata dari masing-masing warangka. Tanpa perintah, kakiku melebar selebar bahu. Diikuti gerakan tangan berancang-ancang melawan siapa gerangan akan muncul dihadapan.

"Siapa!? Tunjukkan rupamu jika kamu bukan seorang pecundang!" Berteriak keras adalah upaya memancingnya keluar dari persembunyian. Mataku kian waspada saat sapuan angin kencang mampu mematikan semua obor, para abdi kocar-kacir pergi mencari bala bantuan. Hingga menyisakan suasana sunyi selain jangkrik, dalam remang hanya beberapa orang berdiri tangar.

"Sudah sembuh dari lukamu.. Tuan putri permaisuri?"

"Siapa disana!?" Hanya membuang waktu terus memutar badan, melirik mengandalkan mata pun kurang menguntungkan. Tangan kiriku mengambil tusuk rambut lamban, mengeluarkan dua buah tepat seseorang menyerangku dari belakang.

"Argh!" Tepat telapak kaki menendang punggung, aku terpental sungkur menahan sakit. Jarum tersebut lantas hilang dalam genggaman, sial! Menyerang secara sembunyi-sembunyi itu sangat tidak etis!

Cinta Bertakhta [TAMAT]Where stories live. Discover now