47. Hilang

3.4K 352 23
                                    

Ada yang ingat part kemarin ada sebungkus kain hitam bulat tergantung di salah satu kuda prajuritnya Panji Gentala? Mari kita lihat di part ini!

Bisa kalian tebak apa itu? Xixixi.

____________________________________________

Gemersik jenggala dari kejauhan tidak lekas membuat Panji Gentala enyah dari sana. Angin kian berhembus kencang bersamaan api semakin membesar tepat di pintu gerbang kota Sandari. Tangannya yang sudah berlumuran darah, hanya mengepal erat dengan tatapan gamang.

Perasaan khawatir, sedih, marah, semua tercampur aduk membuatnya remuk. Remuk jiwa serta hati nyaris hilang dari raga.

Lututnya terasa lemas, wajahnya tak bisa menahan panas saat tahu bulir air mata mulai banjir dari pelupuk yang sedari tadi tertahan. Tertatih-tatih, Panji Gentala mendekati tubuh gadis yang menurutnya sangat cantik jelita kini diam tak berdaya.

Anak panah itu masih menancap ditubuhnya, matanya yang menjadi sinar kebahagiaan Panji Gentala seakan musnah dari muka bumi. Tatkala bola mata kesukaannya untuk beradu pandang itu tertutup untuk selamanya.

Gemuruh langit perlahan datang, tak butuh waktu lama untuk mengeluarkan suara yang semula kecil bersahut-sahutan laun menggelegar dahsyat. Rintik demi rintik air hujan turun, turut memadamkan api besar yang menyala-nyala nyaris memakan kota Sandari teramat lahap.

Istrinya. Permaisurinya. Kini sudah tiada.

Apa yang bisa Panji Gentala lakukan setelah ini? Hatinya sudah berkeping-keping hancur. Gadisnya yang sudah dirinya anggap sebagai tempat singgah sekaligus rumah telah lenyap. Demikian merasakan sesak bukan main, Panji Gentala berteriak keras. Meraung marah sembari menyebut nama istrinya yang lebih dahulu tutup usia meski umurnya masihlah terbilang muda.

"AWISA! AWISA!!! AWISA!!!!"

Para prajurit baru saja menuntaskan tugasnya upaya mengambil alih Kota Sandari seketika mematung. Semuanya menoleh pada satu titik lurus di depan gerbang. Mendapati, calon raja yang mereka segani itu menangis di antara air hujan dan genangan darah tercampur membahasi tanah. 

Kedua netra tak bisa lepas dari wajah istrinya, senyum yang pernah merekah untuknya itu tak akan bisa kembali seperti sedia kala. Bahkan tawa dan suaranya membuat Panji Gentala sulit untuk memercayai sanya bintang dengan pendarnya yang mentereng miliknya itu telah sirna dari muka bumi.

"Aku mencintaimu! Apa kamu tahu itu!? Mengapa sangat sulit untuk mendengarkan suamimu ini, huh!? Apa cara ini berpisah denganmu begitu menyakitkan!!? Jika Aku bisa berkehendak pada Sang Hyang Jagat, amat sangat memohon agar kamu tidak pergi dariku! TIDAK DARI KEHIDUPANKU!"

Lantangnya suara, seakan mengiringi gemuruh guntur yang tetap bersahut-sahutan. Sesekali muncul kilat, Panji Gentala tidak peduli sekali pun tersambar petir. Hatinya hancur, bersamaan kebahagiaannya yang tak luput dari sosok istrinya.

Dadanya terasa mencelos, terlalu pedih sekadar merasakan sesak. Hatinya yang telah mencair karena Awisa, justru dibiarkan terluka. Tiada obat paling ampuh selain satu-satunya gadis aneh dan unik yang sudah meluluhkan perasaannya.

Dari turunnya hujan kian deras, mengingatkan Panji Gentala bahwa setiap hujan yang akan turun di esok-esok hari tiada lagi kenangan indah–apalagi kenangan manis yang tersisa. Tidak ada kenangan indah dibawah guyuran hujan sembari tertawa. Tidak ada kenangan manis sembari bertatap muka dengan perasaan berdebar. Tidak ada lagi ketika sang gadis, kekasih, atau pun tambatan hatinya lebih memilih pergi dari dunia ini untuk selamanya.

-

Beberapa hari setelahnya, pasukan segelar sepapan dari ujung Barat dari kejauhan terlihat dari gerbang ibukota. Membuat hampir sebagian rakyat yang tadinya asik bertransaksi dari sistem jual-beli sampai sistem barter teralihkan, tatkala melihat pimpinan mereka baru saja terlihat dengan raut wajah terpasang garang.

Cinta Bertakhta [TAMAT]Where stories live. Discover now