20. Dusta

3.8K 551 27
                                    

Melihat Cutaka meminum tehnya sesekali, membuatku tergoda untuk mencicipi. Pandangan matanya masih teralihkan, pada sepasang burung merpati dengan bulu seputih kapas terbang bebas di halaman depan balai utama.

Dilanjutkan kembali dengan kepakan sayap mereka menghampiri rindangnya pohon, tepat ditengah halaman. Menjadi tempat yang cocok untuk burung piaraan bersemayam. Bahkan saat ini keduanya bertengger disalah satu dahan sembari memadu kasih.

Baik, aku tidak peduli. Masa bodoh pula. Tidak ingin mengungkapkan bahwa Cutaka tengah iri menyaksikan adegan semacam ini sekarang.

Tatapanku turun meratap teh hitam pekat terhidang di atas meja. Mengapa warnanya sangat berbeda?

"Pagi ini, jatahmu minum obat. Maafkan aku membuatmu iri." Cutaka bercakap sarkas. Dimana karakter satu ini membuatku nyaman dengan perkataannya yang terus terang. Kali kedua ku hirup napas dalam, lalu membuangnya kasar.

"Kamu benar. Betapa aku menghargai dirimu telah bersusah payah membuat obat segetir ini." Tak kalah membalas bengis, Cutaka mendelik tidak terima.

"Aku mengagumi bagaimana dirimu menyegani seseorang."

Ucapannya mengundang kekehan ringkas dari bibirku. Pembicaraan ringan seperti ini membuatku melupakan sejenak masalah yang sedang tertumpuk dalam pikiran. Dalam hati pun berucap syukur, mengenal Cutaka adalah sebuah keberuntungan dalam dunia mimpi.

"Apa tidak bisa, ramuan yang kamu buat ini ditambah sedikit gula?"

Cutaka berdecap sinis, menyandarkan tubuhnya gemulai pada sebuah kursi pahat dengan bantalan randunya yang empuk.

"Awisa, aku sangat tidak berharap memiliki teman pecundang. Kamu tahu? Sangat rendah. Tidak bermentalkan baja."

"Jadi, kamu pikir keberanian seseorang dinilai dari bagaimana dia menyukai obat? Lelucon macam apa itu?"

Pada akhirnya Cutaka tak bisa membalas, wajahnya tersenyum masam. Menampilkan raut kekalahan yang belum ku lihat sebelumnya. Wow, hanya bicara begitu saja gadis itu sudah melengang pergi keluar.

"Cepat habiskan, setelah itu kamu harus membantuku. Hitung-hitung berbalas budi atas pertolonganku kemarin." Pungkasnya, membawa secangkir teh juga mengambil sebilah mata tombak. Terpajang di dinding tepat bersebelahan dengan sebuah lontar terlukis sepasang burung merpati.

Aku tak menjawab selain memandangnya penuh kelakar. Menertawakan bagaimana peringainya ketika telak menanggung malu kalah beradu lidah.

-

Tanpa terasa sang surya telah menetapkan diri tepat diatas kepala. Gerahnya dari dampak cahaya matahari tak ku rasakan sekali pun dengan rambut lurus tergerai. Sepoi-sepoi bahkan hadir memainkan panjangnya suraiku.

Lagi-lagi aku mensyukuri kemujuran tempat tinggal Cutaka yang berada di lereng ancala, kabut pun baru saja singgah menuruni gunung pada siang dini hari. Dalam perjalanan singkat menghampiri Cutaka, sebuah sungging tercetak di bibirku.

"Pecundang. Mandi tengah hari begini. Wanti -wanti, Awisa. Tubuhmu akan kedatangan seribu macam jenis tamu." Sindirnya, mengejek. Dia belum tahu saja betapa kulitku anti jamur meski tidak mandi seminggu.

Di Halaman belakang begitu luas, terisi hijaunya rumput juga beberapa macam bunga tertanam dekat pagar dinding menjulang tinggi. Memperlihatkan Cutaka perlahan mendudukan diri diatas bangku kayu, kemudian memulai pekerjaannya berupa menggosok mata tombak pada batu berbentuk persegi tergolek diatas tanah.

Aku menghampiri, sembari jongkok mengamati. Tidak heran mengelih pada kedua tangan Cutaka amat terampil mengasah senjata. Sejak beberapa hari lalu insiden menolongku kala itu, sudah cukup menjadi bukti nyata bahwa Cutaka bukan sembarang gadis yang bisa dianggap remeh-temeh.

"Apa yang harus ku bantu?"

Selama beberapa menit tak ada jawaban. Tergambar keseriusan pada raut wajahnya, betapa genturnya gadis molek ini tengah merancap kuat mata tombak lebih tajam dari pisau pada umumnya.

Apa ini pekerjaannya sehari-hari?

"Bagaimana? Nyaris mengasah dua pekan lamanya. Sangat menantikan mata tombak ini untuk berburu." Terdengar seperti bermonolog, tetapi aku tidak akan membiarkannya berbicara seperti orang sinting. Lagi pula, ku akui hasil dari perjuangannya membuat siapa pun menilik takjub.

"Aku merasa tidak keberatan bila kamu mengajakku. Kapan kita akan pergi?"

Mata tombak yang tengah dipandangnya teliti kini telah beralih memandangku. Kedua netranya menelisik tubuhku dari atas hingga bawah, lalu berlari menatap muka.

"Bukan tugasmu untuk yang satu ini. Seharusnya sedari pagi buta aku menyuruhmu menuruni lereng untuk membeli beberapa kebutuhan." Tersirat nada tak suka. Sedikit ku miringkan kepala ke kiri, dimana letak kesalahanku?

"Awisa, yang kamu kenakan adalah pakaianku. Aku tidak suka berbagi keperluan pribadi, lebih baik kamu membelinya sendiri. Dengan begitu sedikit mengurangi hutang budimu padaku."

Kali pertama aku mengetahui, pada dasarnya orang kuno juga tidak suka pakai secara bersama-sama ya?

"Uangnya?" Pertanyaanku yang kembali terlontar membuat Cutaka melempar tatapan tajam.

"Bagaimana dengan merampok?" Sindirnya. Lantas, ku pasang wajah tanpa dosa. Berwujud senyum ramah penuh simpatik.

"Aku akan memberimu beberapa kepeng, ku rasa cukup untuk membeli beberapa pakaian." Selepas mengatakan itu, sebuah kantong berwarna hitam dengan tali berwarna emas yang tersemat di pinggangnya dilemparnya kepadaku. Sigap, ku tangkap erat. Merabanya lalu menimangnya beberapa kali. Berat juga rupanya.

"Kamu bisa berkuda?" Aku terbungkam dalam menit waktu pada sebuah perbahasan simpel terlampau enteng untuk ditanggap. Tanpa melepas amatan gadis itu tetap melanjutkan kegiatan asahnya yang urung usai. Aku tidak ingin mengakui bahwa diriku tidak bisa menaiki kuda, rasanya sangat memalukan jika mengakuinya.

"Aku baru saja sembuh, untuk saat ini tidak ingin menunggangi kuda. Apakah jauh kalau jalan kaki dari sini?"

Senjata yang tengah diasahnya kini berupa cundrik lurus tanpa ukir. Menggosoknya untuk kedua kali, kemudian dicelupnya pada sebuah cangkir berisi cairan hijau gelap nan kental.

"Kamu bukan orang sini? Darimana asalmu sebenarnya? Apa orang yang menyekapmu punya dendam kesumat hingga membawamu kemari?"

Lagi, perkara yang dibahasnya benar-benar membuat diri tak bisa berkutik. Jelas aku bisa menebak siapa dalangnya yang sangat berhubungan dengan Panji Gentala. Dan.. masalah asal usul diriku? Tentunya hal satu itu aku sendiri pun tidak mengerti apa yang harus dikatakan!

"...A-aku, aku lupa Cutaka. Aku tidak bisa membaca." Cepat aku merangkai kata.

Sial, alasan macam apa itu? Sungguh, aku tidak sedang mencoba merendah diri sendiri sekarang. Apakah pada situasi semacam ini aku harus berbohong? Itu sama sekali bukan niatku.

Lebih menyeramkan tatkala Cutaka membelokkan tilikannya kepadaku. Tangannya yang terus mengikir seketika terhenti, cundrik yang dipegangnya lamban namun pasti ditaruhnya di atas batu berbentuk persegi.

"Uh,  apa yang kamu ingat tentang kampung halamanmu? Aku mau membantumu kembali ke tempat asalmu. Tapi, jika dirimu sendiri saja tidak ingat, mau sampai kapan kamu akan tinggal di paviliunku huh?" Pedasnya, kembali sarkas. Dilipatnya kedua tangan didepan dada, berterus terang betapa jengkelnya Cutaka menatapku.

Meski tengah memasang tampang dongkol pun, gerak-geriknya masih terlihat anggun untuk seorang Cutaka. Seakan menunjukkan bahwa ia ditakdirkan bersikap layaknya bangsawan.

"Baiklah, kalau begitu aku akan turun bersamamu. Sekiranya alasanku yaitu menemanimu yang belum sembuh total. Tidak ingin pula kamu disekap lagi oleh orang yang sama." Pungkasnya. Setelah itu Cutaka tak berkata apa-apa lagi, selain bangkit membereskan peralatannya kemudian berlalu pergi menuju balai apit dimana kamar tidurnya berada.

Ugh, apa aku terlampau tidak tahu diri? Tetapi itu lebih baik daripada gadis seperti Cutaka mengetahui identitasku sebenarnya. Apakah dengan begini sejarah tidak akan berubah? Atau sebaliknya karena kehadiranku?

Gais, kebayang gak sih gerak-gerik si tokoh? Tulisanku sudah jelaskah untuk membayangkan? Wkwkwk.

Cinta Bertakhta [TAMAT]Where stories live. Discover now