22. Menolak

3.7K 546 34
                                    

Kepalaku pening, tergoyahkan kalau saja seseorang tak menopang sigap. Pandanganku memburam, tidak mengerti pada keadaan apa yang tengah terjadi.

Huh? Apa yang sebenarnya terjadi? Bukankah aku telah mati?

"Dimana ini?" Dalam posisi berdiri aku bertanya penuh gamang. Alur cerita macam apa pula tengah permainkanku kini?

"Kamu pikun? Kita masih dipusat perdagangan kota Sandari. Oh ayolah. Jangan membuatku bertambah repot. Oke?" Suara Cutaka mengalun khawatir, untuk detik ini ia dilanda keresahan, hilang sudah lagak arogannya sekejap.

Rasa gayang lamban membaik, pelan tapi pasti aku kembali berdiri tegak tanpa sanggahan. Mencerup napas dalam-dalam ku pendarkan mata dalam sekali tatap.

Langit sudah menggelap, lengang seperti yang ku lihat terakhir kali. Kembali alih bola retina memerhatikan tubuh, juga raut Cutaka sama sekali tak ada gurat histeris. Hanya kekhwatiran tercetak bayan.

Tak ada ubahnya sebelum insiden tragis itu datang.

Dimana kedua tanganku tega membunuh lelaki itu, menjadi makhluk yang tak layak disebut manusia.

Ku tatap lamat tanganku gelugut, ada apa dengan diriku? Apa yang salah?

Hanya mimpi, Yakinkah?

Atau imajinasiku-alias jelmaan hati yang tak lagi jernih?

"Kamu masih mampu berjalan? Ada apa denganmu?" Cutaka menyadarkanku pada realita, menepuk bahuku beberapa kali upaya terlepas dari lamunan.

"Tenanglah, aku tidak mati." Dalam kegetiran, masih sempat-sempatnya Cutaka tersenyum mendengar perkataanku jauh dari kata humor. Tertatih-tatih ia bersedia memapahku, hingga terduduk dibangku panjang terbuat dari bambu depan gerai yang terjajar. Di sana, aku terduduk pelan.

"Jika keadaanmu seperti ini, semakin diriku tidak yakin aku akan membelikan beberapa pakaian untukmu."

"Mengapa demikian?" Aku melempar tanya, tak tahan saking penasaran.

"Terasa sia-sia jika kamu lambat laun akan mati." Gagasnya, seraya memperlihatkan raut wajahnya menerka. Apa dia sedang membayangi diriku mati?

"Tidak masalah kalau kamu tidak membelinya untukku. Aku bisa sepuasnya memakai bajumu." Cutaka memberikan pelototan khasnya, tidak terima dengan pernyataanku akan memakai barangnya bisa dipakai kapan saja. Seorang Cutaka meski kaya raya pun nyatanya pelit dalam meminjam barang.

"Sudah ku bilang, lagi pula disini ada yang ingin ku lakukan. Dengan keadaanmu seperti ini mau tak mau kamu hanya mampu berdiam diri menungguku."

Aku mulai mencerna, sejak kapan Cutaka bilang kepadaku bahwa ia akan melakukan sesuatu?

"Kapan kamu bilang?"

"Baru saja, sebelum rasa gayang dikepalamu melanda."

Deg!

Apa kejadian baru saja ku alami adalah masa depan yang akan terjadi? Ditambah, luapnya diriku emosi tanpa gencat mampu melukai orang lain. Bukan, melainkan membunuh orang lain. Teramat keji dilakukan untuk makhluk berakal.

Tidak bisa dibiarkan.

"Bagaimana kalau kita kembali?" Terbesit sebuah usul, ku tatap Cutaka tengah duduk disebelahku sembari memandang situasi nyenyat selain kami berdua.

"Tapi.."

Aku menyela, tidak ku biarkan bayang-bayang makhluk biadab pada diriku terulang berwujud nyata.

"Tidak, sebaiknya kita pergi. Tidak peduli apa yang akan kamu lakukan itu."

Memasang tampang berpikir, Cutaka tampak ragu-ragu. Ia mengangkat dagu dengan tatapan mata yang tak fokus.

Cinta Bertakhta [TAMAT]Where stories live. Discover now