30. Sumpah

2.8K 457 15
                                    

Happy reading!

Nadirnya rintik hujan turun membasahi tanah, hadir yang tak terduga disaat matahari pun belum mencuat. Bau tanah menyerbak, betapa harumnya alam ketika mengeluarkan wanginya yang khas. Melegakan indra penciuman yang sudah dugal akan amis aroma darah.

Aku menarik napas dalam-dalam,

Apa yang dilalui malam ini, berbagai peristiwa tak terselami tidak akan pernah akan terlupa. Bak menyaksikan drama kolosal, dimana peran terlibat saling bunuh-membunuh tanpa ada sirat keraguan. Bahkan Panji Gentala pun yang tidak pernah menunjukkan kekesalannya, jebrol begitu saja saat orang bernama Wasa mengintai karena rasa sukanya padaku.

Setidaknya itu yang bisa ku tebak.

Aku duduk termangu dibawah pohon lebat nan rindang, tak memudahkan air hujan mengenai pakaian yang sebagian telah basah. Mencermati sosok laki-laki kini bersamaku, tengah menyibukkan diri dengan kedua tangannya memegang sepasang batu.

"Kamu belum menjawab pertanyaanku tadi malam, Panji Gentala. Bagaimana dengan Dyah Ayu? Aku penasaran apa perempuan itu sama seperti ayahnya? Apa dia mengetahui hal ini semua?"

Kedua batu yang saling digesekkan itu akhirnya memunculkan bara api, sepercik pendar perlahan membesar tatkala Panji Gentala meniupnya telaten. Aku mendekat, jongkok disebelahnya upaya mendapat hangatnya api unggun baru saja dibuat. Meski begitu, masih menunggu pula apa yang akan dikatakan olehnya.

Panji Gentala lantas melungguh, bersila menghadap api unggun. Tangan kirinya menarik kepalaku untuk bersandar di dadanya, aku tidak menolak. Hanya saja perlakuan kecilnya itu menimbulkan rasa sipu, tak tertahankan bahwa bibirku bergetar untuk terus mengulum senyum.

"Dyah Ayu tidak tahu apa-apa hal ini, bahkan ia tidak mengerti alasan macam apa antara aku dengan ayahnya memiliki gesek percikan aura permusuhan. Yang perempuan itu tahu adalah, bahwa ayahnya tidak menyukaiku sebab tak ingin menikahinya,"

"Dan alasan kamu tidak ingin menikahinya karena kamu menganggapnya sebagai adikmu?"

"Menurutmu? Haruskah aku menikahinya sekalipun sepupuku sendiri? Apa tak ada pilihan perempuan lain selain dia?"

Lagi-lagi aku tak bisa untuk tidak tersenyum lebar, alunan suara Panji Gentala terasa tenteram didengar saat ini. Apakah Panji Gentala bisa menyanyi? Atau menembang dalam bahasa kuno?

"Kamu bisa memilih calon dari kalangan rakyat, mengapa tidak melakukannya?"

Kekehan pelan mengalun mengisi keheningan pagi, mengalahkan suara hujan kian bertambah deras. Tidak peduli pakaian perlahan kuyub, aku terus menyimak apa yang keluar dari bibir tipisnya.

"Awalnya memang begitu, tetapi mencari perempuan yang bisa ku andalkan itu tidak mudah Awisa. Bukankah kita sudah membahas hal ini?"

"Jadi, kamu memilihku karena satu alasan itu?" Kembali diriku berbalik tanya.

"Tidak. Melainkan karena aku tertarik padamu,"

Aku terbungkam mengindahkan. Berpikir, lelaki zaman kuno jauh lebih bernyali.

"Maka dari itu tidak segan-segan aku menikahimu, tidak pula menjadi kelemahanku kalau kamu saja memiliki ilmu kanuragan. Meski tak seberapa, namun itu cukup untuk melindungi dirimu sendiri."

Kalimatnya yang terlontar sanggup membuatku untuk tidak bergerak, pandangan mata fokus menatap wajahnya mulai menyendu.

"Ada sesuatu yang kamu khawatirkan?"

"Bisakah kamu tidak akan pernah meninggalkanku Awisa? Selamanya?"

Kedua netra legamnya telak bersibobrok dengan netraku, mencari sesuatu namun tak satu pun menemukan titik kebohongan. Hujan masih terus mengguyur, api unggun pun menyala tak sebesar biasanya. Namun aku merasa kehangatan saat Panji Gentala berucap demikian, rasa setrum ditubuhku itu kembali menjalar.

Cinta Bertakhta [TAMAT]Where stories live. Discover now