3. Kelahi

10.6K 1.1K 14
                                    

Berjalan kaki di siang bolong rupanya tak begitu membosankan, bahkan tak merasa panas pula. Itupun karena aku sedang berada di hutan, beberapa kilometer dari gubuk laki-laki yang tak dikenal barusan. Aku menoleh sekilas, lalu menatap tak peduli. Ia laki-laki menyebalkan, lebih baik mencari kesenangan semata demi menghibur diri.

Hutan yang ku pijak dirasa nyaman, bahkan hutan mangrove kalah dari pemandangan yang ada di depan mata. Hutan mangrove belum seberapa di banding hutan ditumbuhi segala macam pepohonan, tampak hijau, bunga-bunga bermekaran liar, bahkan rerimbunan pohon menutupi sinar matahari yang begitu terik. Membuatku merasa di Surga duniawi.

Baru beberapa saat melangkah, dua kaki beralas sandal kayu berdiri kekar di hadapan. Aku mundur selangkah, agak terkejut. Lalu ku tatap tubuhnya yang kemudian merambat ke wajah menampilkan rautnya sungguh menyeramkan.

Aku meneguk saliva, laki-laki yang ku dorong tadi mencegatku hingga kemari.

"A-apa yang kamu lakukan?" Aku bertanya seketus mungkin, walau tak bisa dipungkiri aku merasa takut karena tatapan matanya yang tajam itu. Seakan melubangi perut menembus usus, terasa menggelitik sekaligus merinding.

"Dirimu masih bertanya? Gadis, tidak tahu, diri." Ujarnya tajam, dengan mata menyipit. Betapa menyebalkan nya Ia memasang ekspresi begitu. Ya Tuhan, sesekali izinkan aku menendang kemaluannya yang hanya tertutupi kain jarik itu. Agar Ia tahu rasanya bila berani-berani dengan seorang perempuan.

Aku menggeram tertahan, "Aku hanya sedang tidur, dan kamu-"

"Dasar perempuan liar, tidak tahu tata Krama." Potongnya. Dia menyinggungku, sialan. Tak akan ku biarkan ini terjadi.

"Lagi pula aku mana tahu. Jika aku terbangun di tempat antah-berantah ini, diriku sendiri pun tak ingin!" Aku membentak, lalu berlalu pergi. Ku lihat ia memejamkan mata, mungkin sedang menahan amarahnya padaku. Tidak tahu gerangan macam apa yang membuatnya begitu, hanya menerka-nerka.

"Kamu sebut apa tadi? Bisa kamu ulangi?" Aku terpaku dalam beberapa langkah. Ups, sepertinya aku salah mengambil resiko. Ku balikkan badan otomatis bertatap wajah dengannya langsung. Wajah garangnya semakin tampak. Tangannya yang kekar mengepal erat, bahkan aku bisa melihatnya secara jelas urat-urat yang menonjol di balik kulit eksotis nya itu. Melewati sikut, lengan, bahkan melampaui batas kelat bahu mewah yang terpasang di lengannya.

Ya Tuhan,

"Aku bertanya padamu! Gadis liar!"

Kembali tersentak, tampaknya Ia benar-benar marah. Tapi aku tidak peduli, bukankah tempat ini memang antah-berantah?

"Ya, jika pun aku bermimpi, diriku sendiri tak ingin ke tempat antah-berantah seperti ini!" Sialan, ucapanku sepertinya semakin mendekatkan diriku pada kematian. Melihatnya terus melangkah, menapakkan kakinya berjalan dengan gagah, lugas, serta wibawa. Sigap membuatku berancang-ancang, terlepas dari kekhawatiran sedari tadi yang rupanya terjadi.

Sebelum Ia ingin mencekam tanganku erat, lebih dulu aku menepisnya. Mundur beberapa langkah, dengan kedua tangan yang siap untuk berkelahi. Melihat ekspresinya berdecih remeh, semakin menambah kekesalan ku padanya.

Ia semakin berusaha mendekat, aku berusaha menghindar dengan kedua tangan. Saat tangan kananku menghadang tangan kirinya yang begitu kekar, membuatku sedikit meringis sakit. Sialan, rupanya ada yang lebih kuat dariku. Kakinya bergerak, memutarkan kaki kiri mencoba menjatuhkan keseimbanganku. Segera melompat, berputar lalu meninjunya tepat dibagian ulu hati, agak terpental lelaki itu beberapa meter.

Lagi-lagi dia membalas, diselingi ringisan. Kembali mengejar ku dan meninju wajahku, ya Tuhan betapa bersyukurnya aku. Segera aku memundurkan kepala ke belakang, lalu mendongak upaya menghindari pukulannya lumayan menakutkan.

Tak sampai disitu, sepertinya Ia benar-benar ingin balas dendam atas ucapanku. Kakinya yang lincah nan gesit terus bergerak. Benar-benar bar-bar. Baiklah, tak ada pilihan lain selain menghadapi lelaki satu ini.

"Tidak akan ku beri ampun," geramnya. Aku memiringkan kepala ketika sebuah kepalan tangan berhembus kencang melewati sebelah telinga kiri ku. Tampaknya ia benar-benar mengincar wajahku agar hancur tanpa bisa di kenali.

Kepalan tangan kanan di ikuti kaki kiri terus maju mencoba menyerangku. Lalu ia melompat dan berputar, begitu cepat hingga kaki yang ia angkat lurus sembilan puluh derajat dengan tubuh tegaknya mengenai perutku. Tidak begitu keras, tapi terasa sakit.

Aku terpental beberapa langkah, sembari batuk menahan nyeri sakit di ulu hati. Cairan merah pekat dari mulut tidak terhindarkan hampir mengenai wajahnya.

Tapi aku tak pantang menyerah.

"Dengan senang hati aku melayaninya tuan," aku menekan kata terakhir. Lagi-lagi aku membuatnya kesal, ini semakin menyenangkan. Kapan lagi aku bisa berkelahi selain kakakku dan teman-teman karate, tidak peduli meskipun diriku terluka. Toh, ini hanya dalam mimpi.

Giliranku untuk membalas. Ia tampak lelah karena emosinya yang meluap-luap. Sangat mencintai tanah kelahirannya hingga satu orang yang menghina pun akan segera ia habisi.

Seraya melompat, ku angkat kakiku dan berputar.

Krak!

Sialan, jarik ini benar-benar mengganggu. Membuatku tidak bisa mengangkang bebas. Segera ku sobek hingga se-paha, dan mengulang kembali gerakan yang tertunda. Sayangnya, ia segera menghindar dengan mundur beberapa langkah. Lalu membuang muka, wajah berwarna coklat eksotis itu tampak memerah. Membuatku bertanya-tanya.

Tapi, siapa peduli. Ia hampir merusak wajahku. Aku segera berlari dan berputar badan, ku angkat kaki kiri, dan.

Trap!

Aku masuk kedalam dekapannya, betisku memukul batang pohon. Tepat berada di sebelahnya. Terasa keras dan sakit, bahkan aku meringis. Sial, mengapa aku bisa salah target. Posisi seperti ini sungguh tidak mengenakan, aku benar-benar dalam dekapannya. Kedua tangan besarnya memegang lenganku erat-erat, kepalanya berada diatas kepalaku. Tidak tahu macam apa ekspresi yang tergambarkan, bahkan apa yang dipikirnya.

Sial, ini benar-benar memalukan.

Menepis kasar, ku tatap marah wajahnya tanpa ekspresi saat ini. Kurang ajar, selain ingin melukaiku rupanya ia ingin melecehkanku.

"Dasar bajingan! Aku marah padamu karena kamu berani mencoba melukai wajahku! Sampai kamu berani melakukan hal ini lagi! maka-," ucapan ku terpotong, meringis menahan sakit saat aku mencoba berjalan mundur menjauhinya. Tanpa melanjutkan kata, aku berbalik badan dan melangkah dengan kaki pincang.

Dipikir dirinya siapa? Ia sudah berani melukaiku, sesekali mengecam ku, andai aku memiliki kekuasaan di tempat antah-berantah ini. Tentu aku pasti akan memenggal kepalanya terlebih dahulu, dasar laki-laki!

Aku berjalan tertatih-tatih, menatap keadaan sekitar. Aku baru sadar bahwa aku-tersesat-tak punya rumah atau pun gubuk yang bisa ku tinggali. Di sini masih benar-benar asri, jarang orang lewat kecuali beberapa orang sedang memikul mulai dari singkong, cabai, hingga kayu bakar.

Aku mendekat perlahan, memperhatikan mereka yang tampak ulet bekerja. Terkagum kerja keras tanpa mengeluh, masih tersenyum gembira sembari tertawa ria.

Semakin mendekat, semakin mereka melihatku. Aku terdiam kaku ketika mereka berhenti tepat didepanku. Tersenyum kaku, sembari berkata.

"Hehe, hai." Itulah kata pertama yang terucap dari bibirku. Memperhatikan mereka saling melirik, lalu menatap waspada, tidak paham apa yang mereka pikirkan. Mengapa demikian?

"Ma-maaf menganggu, aku ingin meminta bantuan kalian. Bolehkah?" Sekali lagi mereka menatap diriku dari atas hingga bawah, aku hanya tersenyum canggung. Demi kerang ajaib, belum pernah seumur hidupku di intimidasi seperti ini oleh gadis-gadis desa menatap ku curiga.

"Kamu siapa? Dari mana asalmu?"

"Awisa, namaku Awisa Putri. Kalian bisa memanggilku Wisa atau Isa." Aku menjabat tangan, tapi tak ada respon. Dia menatapku tak mengerti. Lalu salah satu di antaranya angkat bicara.

"Aku yakin kamu bukan berasal dari sini, mengakulah!" Ia menatap ku tajam, aku terkejut mendengarnya. Kakiku seketika lemas, tak bisa menyangga diri. Jatuh bertekuk lutut sembari memikirkan semua hal yang ku alami hari ini.

Mimpi macam apa ini?

Cinta Bertakhta [TAMAT]Where stories live. Discover now