38. Sedu

2.2K 342 15
                                    

Pintu gebyok dari Balai Apit telah tertutup rapat, bersamaan Sanskara bangkit dari posisi menghilang ditelan malam diluaran sana. Hujan yang sempat pergi kini kembali singgah, menjadi ruangan yang penuh akan lontar berisi bacaan itu terasa cukup bising akibat bunyi dari derasnya air. Ditambah, guntur mulai terdengar menjadikan pembicaraan diadakan malam ini butuh ekstra untuk mengeluarkan suara.

Dalam ruangan tersebut bagiku tak ada yang spesial sekedar untuk ditilik, sekalipun beberapa guci porselen terpajang antik disetiap sudut. Rak-rak buku terbuat dari lontar tergulung rapi, atau pun meja panjang dempet pada dinding yang diatasnya terdapat beberapa mangkuk kecil terbuat dari tanah liat terisi minyak tanah sehingga memunculkan sepantik api.

Kemudian diseberang dari rak-rak tersebut terdapat kursi panjang, demikian ku dudukan bokong disana. Sejemang aroma akan kayu manis tercium, mengendus beberapa kali sebelum bau semerbak itu raib dari indra penciuman.

Apa kedaton ini terdapat dapur? Sama sekali aku tak mengetahui hal tersebut. Terlalu sibuk rasanya, terus-menerus terpaku pada permasalahan yang tak kunjung usai.

"Adinda, ku persilahkan kamu berbicara lebih dahulu." Laki-laki itu urung duduk bersamaku, justru ia bersandar pada rak tersebut sembari memandangku intens dalam keadaan temaram. Tanpa membuang waktu, ku buka suara dimulai berdeham kecil.

"Baiklah, ada beberapa hal yang ingin ku tanyakan padamu. Pertama, tentang pernikahan Dyah Ayu dengan Pangeran Winarseka. Kedua, ceritakan semua hal yang kamu sembunyikan terhadapku selama ini."

Untuk beberapa waktu Panji Gentala masih bergeming dari posisi, tiada niat selain gayanya dari berkacak pinggang kini melipat tangan di depan dada.

"Tentang Dyah Ayu, apa yang ingin kamu dengar dari ucapanku?"

"Mengapa kamu menikahinya tanpa meminta persetujuannya? Bahkan kamu tidak merundingkan hal ini bersamaku, padahal-,pernikahan ini belum lama terjalin sekitar dua bulan yang lalu bukan?"

Terdengar embusan napas panjang, wajahnya mendongak menatap senjata keris terpajang di dinding. Tangan kanan nan kekar itu meraih papan rak sebagai penopang.

"Dyah Ayu, dia hanya gadis polos tanpa tahu apa-pun. Aku yakin dirimu sendiri pasti belum bertanya tentang pernikahan ini padanya, bukan? Ia menyetujuinya, dan jika pun begitu hal itu tak menjadi masalah buatku."

"Kamu percaya pada Pangeran Winarseka?"

"Memangnya apa yang kamu tahu tentang pria itu?" Timpalnya rancap. Aku terbelalak pada pertanyaan yang diajukan, gelagapan akibat tidak tahu harus menjawab apa.

Tidak mungkin apa yang ku tahu dari Sanskara tadi ku beritahu padanya. Menduga, dua pria ini sedang memiliki hubungan yang tak baik.

"Ka-kamu tidak me-mengetahui apa-pun?"

Semakin tajam matanya menyipit ke arahku, ia bertingkah seperti ini benar-benar membuatku bingung harus bagaimana.

"Apa kamu tahu sesuatu, Awisa?" Kali kedua PanjI Gentala bertanya. Sebisa mungkin menahan ekspresi untuk merasa baik-baik saja, aku tahu betapa luar biasanya ia ketika aku tidak dapat menyembunyikan sesuatu darinya.

"Tidak, tapi aku merasa ada yang janggal. Sekalipun gadis macam Dyah Ayu terasa menyebalkan bagiku, bagaimanapun dia juga saudaraku. Jika Dyah Ayu tak mendapat hidup yang tak pantas, akankah aku harus diam?"

Panji Gentala tampak menimang sesuatu, kedua netranya terpaku menatap lampu cublik tergeletak diatas meja. Jari kanannya perlahan ia mainkan di bibir. Demikian ku tatap dengan perasaan gundah.

Apakah yang diucap Sanskara baru saja bertanda buruk? Pula berkaitan dengan kekasihnya itu? Kepergian Dyah Ayu tentu menjadi kelemahan sendiri untuk Sumbhara, perempuan licik macam Cutaka tentu tak akan membiarkan seorang calon raja tunggal hidup begitu saja.

Cinta Bertakhta [TAMAT]Where stories live. Discover now