37. Hujan

2.1K 338 3
                                    

Double up! Maaf baru bisa sekarang.

Selamat membaca!

Sesaat senja mulai memudar, tergantikan segaris cakrawala dari ujung timur mulai menggelap. Obor istana yang semula mati, satu demi satu dinyalakan oleh para dayang. Tak terelak bau tanah menguar gegana, langit malam datang dengan pekatnya. Mendungnya awan datang menyelimuti memberikan setetes air jatuh meletis kulit.

Upacara sowan telah usai terlaksana. Dengan ritual khusus diberikan oleh seorang pendeta tua, sudah resmi Pangeran Winarseka menjadi calon suami Dyah Ayu. Para pejabat tua maupun muda tampak senang melihat salah satu anggota keluarga Kerajaan Sumbhara akan segera berkeluarga dan melahirkan keturunan.

Selepas menuruni siti hinggil Balai Agung aku mengadah ngawang, aroma hujan menguasai mengalahkan jejak debu yang berterbangan. Diikuti Panji Gentala baru saja memijak kaki keluar dari pintu, kejauhan sana ia memandangku dengan seutas senyum.

"Rindu hujan?" Ia mendekat, langkahnya tanpa suara tidak bisa ditebak sanya ia telah beridiri dibelakangku. Diriku yang masih menikmati aroma serta rintik hujan, sempat terhiraukan perkataannya.

"Jika pun hujan turun, kenangan macam apa yang terlintas dalam ingatanmu?"

glek.

Aku membeku, kedua mata tidak lama menikmati awan mendung kini menunduk menatap kedua kaki dirasa lebih layak dipandang. Turut netra berlarian kesana-kemari disergap kepanikan.  Bodohnya, peristiwa hujan saat ini justru mengingatkanku pada tragedi mengenaskan dimana dengan tega diriku membunuhnya. Bersamaan pula kedunguanku, dengan lugu kedua tangan ini sempat meraba-raba tanah mencari jejak darah kala itu. Dari sekedar mimpi, ternyata memang bukan mimpi. Menyedihkan.

"Bagaimana? Untuk tahun-tahun ini bersamamu aku cukup menikmati. Ketika meneduh diri di bawah pohon rindang, amat dirasa tenteram. Tidak lupa pula ditemani api unggun juga seorang istri." Aku terbelalak, demikian ia mengatakan sembari tangan kanan merangkul pundak. Dalam hati pun tidak jauh menertawai diri sendiri. Nyatanya semanis apapun kenangan tercipta, kenangan pahit akan terus teringat. Disertai rasa bersalah kembali lekat terbayang.

Lihatlah, ketika Panji Gentala terselami kenangan manisnya, mewujudkan seutas senyum timbul di bibir. Berbanding terbalik denganku tak kalah kejut menyadari bahwa aku juga pernah merasakan kenangan romantis bersamanya.

Panji Gentala ikut mendongak, menikmati rebas-rebas membasahi muka. Aku yang melihat wajahnya kini terpaku memandang. Meski terkadang menyebalkan, galak, apalagi kasar tak bisa sedikit pun menghilangkan ketampanannya terbekas dalam ingatan. Lelaki tepat berada disebelahku ini memang tak bisa ditentang, menyatakan ia adalah salah satu orang yang ku sayang.

"Demikian aku bersama suamiku di larut malam saat itu. Suara jangkrik menemani, disusul berbagai topik pembicaraan mengisi keheningan temaram."

Tidak lama mengucap kalimat itu, Panji Gentala menoleh. Timbul seringai disertai kekehan pelan. Untuk detik ini saja aku tidak ingin pergi dari tempat atau berpaling pandang meski hujan semakin deras. Senyumnya kali ini membuatku rela untuk bergeming selama hitungan jam.

"Adinda, terima kasih menerima kekuranganku. Serta memaafkan kesalahanku padamu di masa lalu. Aku bersyukur pada Sang Hyang Widhi, telah mempersatukan kita sekalipun terdapat kesenjangan waktu seiring cinta yang tumbuh." Kelugasannya dalam berkata, meruntuhkan keluluhan hati untuk tidak mengeluarkan air mata.

"Pertemuan awal memang memiliki kesan tak baik, atau justru dapat dikatakan terlampau buruk. Untuk itu, sebagai gantinya aku berharap kamu dan aku dapat menikmati tenangnya jiwa selama menjalani kehidupan ini bersama-sama."

Kesekian kali masing-masing netra bersitatap, menyelami rasa kasih saling terbagi. Kehangatan hati tengah menjalar, menimbulkan sejuta euforia menutupi kesedihan. Demikian pelukannya mengerat, seutas senyum lebar laun tercetak di wajah

Cinta Bertakhta [TAMAT]Where stories live. Discover now