25. Murka

3.5K 492 13
                                    

Rasa sunyi datang melanda, menghantarkan diriku terpekur memandangi panorama dari lereng gunung tempat kaki berpijak.

Burung-burung kembali berkicau selepas langit menitikkan sedunya, namun hal itu tidak mengembalikan keadaan seperti semula. Selain hanya diam dalam hangatnya pelukan tanpa melakukan pergerakan, layaknya orang bisu.

Perkataannya beberapa waktu lalu membuatku memasang seulas senyum, membayangkan bagaimana jadinya kalau ia benar-benar menginginkanku untuk berada disisinya. Meski tahu posisi antara dirinya denganku amat jauh berbeda bagai langit dan bumi, dimana ia yang selalu dijunjung ketimbang diriku yang harus menyanjung.

Tetapi.. apa yang ku lakukan ini benar? Memperbaiki diri dengan mengalahkan ego, meluruskan kembali ikatan demi berdamai dengan masa lalu. Begitu? Aku tidak memikirkan persoalan macam ini sebelumnya, teruntuk diriku.

Usapan jempol pada rambutku terhenti, mengharuskanku melempar pandang menatap sang empu.

"Pikirmu, apa semua akan baik-baik saja setelah ini?" Sejemang, retinaku masih terpaku pada wajahnya yang tampan. Dengan minda kembali menilik, aku berpikir apa yang dikatakannya patut menjadi sebuah pertanyaan berbobot.

Apa setelah ini semua akan baik-baik saja? Terutama kepercayaanku padanya yang tak lagi dianggap main-main. Apa kabar dengan persaingannya dengan sang paman? Kuatkah diriku untuk merasa baik-baik saja? Hubunganku dengan Panji Gentala setidaknya.

"Sebenarnya, apa yang dinginkan Tuan Argapati darimu? Aku yakin bukanlah keputusan enteng agar kamu mau bersaing dengannya sekalipun terpaut sedarah." Aku berbalik tanya, mengharapkan sesuatu yang sesanggup mungkin diriku dapat melakukannya.

Panji Gentala berdehem keras, memecah senyap lebih mendominasi ketimbang percakapan kami yang terbilang singkat. Menelan saliva sebelum ia kembali berkata.

"Aku masih mencari tahu lebih detail apa yang diinginkan pamanku, kalau tidak dengan takhtaku kemungkinan beliau menginginkan kerajaanku untuk tunduk dibawah kekuasaan Kertha Wisesa."

Penjelasannya cukup memberiku keterkejutan. Dengan nanap mata tak percaya, aku memastikan.

"Apa ini.. berhubungan dengan mendiang ibunya?"

Mata setajam elang itu telak bersitatap padaku, mengulik tajam mencari sesuatu disana. Apa ia menganggapku kelewat pintar?

"Bagaimana kamu tahu? Dari teman perempuanmu itu?"

Aku melenggut mengiyakan, memutus kontak menatap arah lain. Beranggapan apa yang ku dengar tampak tidak senang jika hal ini berkesinambungan dengan Cutaka. Untuk menyebut nama gadis itu kali pertama saja sudah membuatku menggelengkan kepala.

"Kamu mengenalnya? Apa ada hal yang mengganggumu karenanya? Kamu bisa berbicara padaku mengenai hal itu." Ujarku meyakinkan. Kembali menduga jangan sampai mimpi burukku berubah arah, pertumpahan darah yang seharusnya terjadi padaku akan terlempar kepadanya sebagai pelaku pembantaian.

"Tidak apa, hanya saja jangan terlalu sering menyebut namanya. Tidak baik untuk kita berdua," katanya, sebelum seringai itu terbit lagi.

"Serentan itukah?"

"Bukan begitu, aku hanya tidak ingin menyebut nama perempuan lain selain namamu dalam perbincangan kita."

Terkesiap, aku terbungkam. Seumur-umur aku tidak pernah tahu definisi pacaran, bagaimana mereka berinteraksi. Bagaimana pula perbincangan mereka dari hal serius menjadi absurd, sampai-sampai sebagian orang tersenyum gila karenanya. Jadi.. apa ini yang disebut menggombal?

"Baiklah Awisa, aku akan berjanji pada diriku sendiri untuk tidak ingkar padamu. Apapun yang terjadi tak akan diriku membiarkanmu celaka walaupun untuk saat ini aku masih belum tahu situasi macam apa yang akan ku hadapi." Pada akhirnya, ketetapan yang dibuat teramat lugas terikrar kepadaku. Tiada sempat diriku lagi-lagi menahan kagetnya dari kenyataan, sebelum ia kembali menarik tanganku menuju halaman belakang tempat kamar Cutaka berada.

Cinta Bertakhta [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang